Syakir NF
Dengan maksud meledek, tawa gadis Sunda itu meledak. Ia terbahak
manakala kekasihnya kalah telak. Ya, mereka tengah mengkhidmati sebuah
permainan. Meski tak berdampingan, mereka tetap bisa berkasih-kasihan.
Tentu tak ada niatan saya sama sekali untuk menyimak keduanya. Saya
yang asik membaca buku Di Kaki Langit Gurun Sinai karya Hassanein Heikal
yang diterjemahkan Mahbub Djunaidi memang mau tidak mau ya harus mendengar itu.
Tidak mungkin juga kedua insan yang tengah dimabuk cinta itu diganggu begitu
saja.
Ya, habis mau gimana lagi? Gak mungkin juga kan meminta mereka
untuk menghentikan aktifitasnya. Jika pun saya di posisi yang sama, tentu juga
enggan diganggu. Jika demikian, pastilah ada pikiran bahwa orang tersebut
sirik, dalam arti iri melihat aktifitas kita. Karena saya enggan dikatakan
demikian, lebih baik saya diam saja toh.
Memang, siapa sih yang enggan berkasih-kasihan? Tentu siapa saja
memiliki hasrat demikian, terhadap apa atau siapa pun yang tentu tercurah kasih
sepenuhnya. Tetapi siapa yang bisa menolak takdir? Bukan saya menyalahkan
ketentuan, tetapi memang sudah garisnya demikian. Beberapa kali saya menjalin
hubungan dengan perempuan, hal sama yang selalu didapatkan, kekecewaan.
“Kenapa?” pasti pertanyaan yang hendak diajukan adalah itu.
Ya, kalau saya sering mendengar perempuan mengatakan, “Laki-laki
itu sama (merujuk pada hal negatif dalam jalinan hubungan),” maka saya hampir
mengatakan demikian juga. Tapi tentu tidak. Saya meyakini, masih ada perempuan
yang tidak bersikap seperti mereka yang pernah dekat denganku.
Tidak perlu kau utarakan pertanyaan selanjutnya, langsung saya akan
jawab di sini. Ada yang memilih lelaki lain di saat saya masih menaruh kasih,
ada juga yang berjanji tidak akan berpacaran karena itu hasutan setan, tetapi
di waktu berikutnya, dia melakukan hal tersebut dengan seorang kawan sendiri. Macam-macam
begitulah.
Ya sudah, memang itu hak mereka. Tak ada hak saya memaksa orang
memiliki perasaan yang sama. Hal tersebut menjadi pelajaran penting bagi saya
mengenai perempuan.
Mungkin, ada kesalahan yang pernah saya perbuat. Bisa jadi. Saya perlu instropeksi diri. Saya tentu ingin seperti mereka yang melempar tawa meledek, tetapi yang diterima orang yang tengah menjadi lawan mainnya itu justru kasih. Mungkin belum saatnya atau waktu sekarang belumlah tepat.
Ketimbang menggenang dalam hati, rasa ingin berkasih-kasihan itu saya tuangkan dalam catatan ini.
Selamat malam, kasih!