Penulis saat di Asakusa, Tokyo, Jepang. |
Syakir NF
Saya meyakini betul bahwa silaturahim menjadi kunci yang membuka
pintu-pintu rezeki. Setidaknya saya memiliki tiga pengalaman pribadi yang
semakin meyakinkan teori tersebut. Maka jika disebut silaturahim memanjangkan
umur, saya juga percaya. Sebab, hal itu bukan maksudnya dalam arti umurnya
semakin panjang, tetapi dalam arti yang lebih prinsip lagi, yakni membuka jalan
rezeki guna melangsungkan kehidupan berkelanjutan.
Hal tersebut sesuai dengan hadis Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, bahwa siapa yang hendak dilapangkan rezekinya dan ditangguhkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), maka hendaklah bersilaturahim, sebagaimana disebutkan di NU Online.
Baiklah, saya gak hendak menjelaskan hadis tersebut. Hanya sekadar sebagai referensi saja bahwa keyakinan saya itu berdasar. Di sini saya ingin bercerita tiga pengalaman pribadi tentang silaturahim sebagai kunci pembuka pintu rezeki.
Ceritanya, Februari 2019 lalu, alhamdulillah saya bisa main-main ke Jepang
berkat lolos seleksi program Jenesys batch 23, sebuah ajang konferensi pelajar Jepang,
Asia Tenggara, dan Timor Leste. Di sana, kami membicarakan enam tema, saya
mendapat tema tentang Lansia.
Tapi dalam tulisan ini saya tidak membahas bagaimana konferensi itu
berlangsung. Sebagaimana tercantum di judul, saya akan cerita tentang sebuah
keyakinan bahwa rezeki itu gak bakal lari dari pemiliknya.
Sampai hari H-1 keberangkatan saat karantina, saya hanya pegang uang Rp 200 ribu. Persoalan
tiket dan makan memang sudah ditanggung oleh pihak panitia. Tapi untuk sekadar
jajan atau beli buah tangan, tentu uang segitu merupakan jumlah yang sangat
tidak cukup.
Jangankan sampai di Jepang, di tempat penukaran uang (money
changer) saja (mungkin) belum bisa berganti menjadi Yen karena memang ada
batasan minimal dalam penukaran tersebut karena ada keterbatasan jumlah uangnya
yang tidak sampai ke 'receh-receh'.
Minta-minta ke orang tua sudah bukan lagi waktunya. Saya malu
karena mestinya juga saya yang sudah berkeharusan membantu mereka. Apalagi sampai
hutang-hutang, saya sangat tidak berani hanya untuk perkara skunder atau bahkan
mungkin tersier ini. Akhirnya, saya pasrah sepasrah-pasrahnya. Saya siap
berangkat ke Jepang dengan hanya berpegang Rp 200 ribu itu.
Di H-1 keberangkatan, saya dihubungi oleh seorang rekan. Dia meminta
saya untuk menghubungi salah satu guru kami yang juga dosen di salah satu
kampus ternama. Karena ini perintah untuk menghubungi guru, maka langsung saya
turuti saja. Saat itu, saya tengah karantina di sebuah hotel di Blok M.
Beliau pun menanyakan keberangkatan saya ke Jepang, kapan dan
berapa hari di sana. Usai saya mejawab pertanyaan tersebut, beliau
menyampaikan hendak menitip sesuatu yang khas Jepang. Belum tahu apa yang hendak
beliau titipkan kepada saya, sudah ada transferan masuk ke rekening saya pada malam hari.
Siang hari esoknya, transferan tersebut langsung saya tarik dari Anjungan
Tunai Mandiri (ATM) dan ditukarkan ke tempat penukaran uang terdekat. Alhamdulillah,
saya beruntung masih mendapat bagian uang Yen. Beberapa rekan yang terlambat
harus menggigit jari.
Usai menukar, beliau mengabarkan dua barang yang diinginkan, yakni 2 kotak Koyo Jepang Tokuhon isi 140 dan 6
kotak Biskuit Tokyo Milk Cheese Factory isi 10.
Saya cek harga dua barang tersebut di internet, uang pemberiannya
masih sisa lebih sangat banyak. Sisanya itu saya gunakan untuk beberapa
keperluan di sana, membeli dua buah kaos, satu untuk saya pribadi dan satu lagi
untuk rekan saya yang telah meminjamkan jaket tebalnya untuk saya bawa, dan
beberapa biskuit dan cemilan khas Jepang lainnya, serta ongkos bepergian di sana.
Alhamdulillah, berkat itu, saya bisa bersua saudara-saudara saya
orang-orang NU di sana. Bisa tahlil bersama mereka. Kumpul bareng mereka
laksana melingkari api unggun, hangat di tengah udara Jepang yang begitu
dingin. Terlebih sebagaimana di tanah air, usai tahlilan kami makan bareng khas
Indonesia pula yang kaya rasa usai menyantap berbagai makanan Jepang yang aneh
di lidah. Saya pun membawa pulang makanan tersebut untuk rekan-rekan saya di
hotel.
Saya pun matur kepadanya, bahwa saya menggunakan sisa uang yang ada. Saya pun belum bisa mengembalikan sisa uang
yang terpakai itu. Ternyata, beliau menyerahkan sepenuhnya untuk
saya. Alhamdulillah.
Memang, sebelumnya saya kerap berkunjung ke rumah beliau berbincang lama dari siang hingga petang membicarakan berbagai hal. Saya banyak menyerap ilmu dan pengalaman beliau yang telah melanglang buana. Hehe
Penulis saat di Denpasar, Bali. |
Sebelumnya, saya juga pernah mengalami hal yang sama 3 tahun
sebelumnya, saat hendak ke Bali. Jangankan untuk oleh-oleh, tiket pun belum
terbeli waktu itu. Saya pun matur ke salah seorang paman say,a memohon doa
keselamatan dan kelancaran agenda saya ke Bali dalam rangka menghadiri dan
mengikuti Rakernas Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia
(IMABSII) di Universitas Udayana.
Beliau yang begitu loman itu mengirimi saya sejumlah uang yang
sangat cukup untuk bekal di sana. Tentu beliau sangat mengerti kondisi
mahasiswa miskin yang menanti cairnya beasiswa.
Saya juga tidak berkunjung hanya sekali itu saja. Di waktu-waktu sebelum itu, saya sering sowan kepada beliau, bahkan menginap di rumahnya. Beberapa kali juga membersamainya ke kantor sekaligus saya pulang ke kosan. Dalam perjalanan itu, saya menyerap banyak ilmu kehidupan darinya.
Penulis di sebuah tempat peribadatan di Bangkok, Thailand. |
Pernah juga saya sampai berhutang ke sahabat dekat untuk membeli tiket
bolak-balik ke Thailand. Saya memberanikan diri berhutang karena uang tiket itu
akan diganti oleh pihak panitia kegiatan yang saya bakal ikuti itu, yakni Young
Ambassador of Peace in Asia (YAPA) 2018 yang digelar oleh Christian Conference
of Asia (CCA).
Kebetulan saat itu, sahabat saya baru saja menuntaskan tugasnya
mengawal sebuah perhelatan akbar sehingga sedang memiliki banyak tabungan. Pada
sebuah malam, saya menyampaikan maksud saya untuk meminjam uangnya untuk
keperluan tersebut. Di malam itu juga, ia langsung pesankan tiket untuk saya.
Persahabatan kami bermula saat duduk di bangku sekolah Aliyah. Meski berbeda kampus saat kuliah, tetapi kami semakin akrab. Beberapa kali jumpa untuk sekadar berbincang lepas dan berwisata spiritual dengan ziarah ke wali-wali para ulama di ibukota.
Bisa kita simpulkan, bahwa banyak silaturahim, banyak rezeki. Tapi rezeki
itu bukan sekadar uang belaka. Hal yang paling penting adalah jalinan
persaudaraan yang tetap terjaga.
Penulis adalah orang yang tengah belajar gemar bersilaturahim
1 komentar:
Write komentarNama: __ Hendi Zikri Didi
ReplyBandar: _______________ Melacca
pekerjaan: _ Pemilik perniagaan
Sebarang notis: ____ hendidi01@gmail.com
Halo semua, sila berhati-hati tentang mendapatkan pinjaman di sini, saya telah bertemu dengan banyak peminjam palsu di internet, saya telah menipu saya hampir menyerah, sehingga saya bertemu seorang rakan yang baru saja memohon pinjaman dan dia mendapat pinjaman tanpa tekanan, jadi dia memperkenalkan saya kepada legitamate AASIMAHA ADILA AHMED LOIR FIRM, saya memohon Rm1.3 juta. Saya mempunyai pinjaman saya kurang dari 2 jam hanya 1% tanpa cagaran. Saya sangat gembira kerana saya diselamatkan daripada mendapatkan hutang miskin. jadi saya nasihat semua orang di sini memerlukan pinjaman untuk menghubungi AASIMAHA dan saya memberi jaminan bahawa anda akan mendapat pinjaman anda.
Pusat Aplikasi / Hubungi
E-mail: ._________ aasimahaadilaahmed.loanfirm@gmail.com
WhatsApp ____________________ + 447723553516