Our Feeds

Motto

Etik, Estetik, Puitik

Selamat Mengaji

Mengaji Sepanjang Hari

Sabtu, 27 Februari 2016

Syakir NF

Analisis Memuji Dikau Karya Amir Hamzah


Amir Hamzah
(sumber: Indonesiasastra.org)
Amir Hamzah merupakan salah satu penyair Indonesia yang masyhur akan puisi-puisinya yang bernuansa agamis. Meskipun demikian, bahasa yang digunakan tidak menunjukkan keagamaannya, malah terkesan romantis dan bahkan merujuk ke erotis.

Penyair kelahiran 28 Februari 1911 ini salah seorang sufi. Oleh karenanya, “engkau” dalam puisi-puisinya ditujukan pada Tuhan. Kecintaannya terhadap Tuhan dituangkan dalam bentuk puisi. Puisi karya Raja Penyair Pujangga Baru ini berbeda dengan karya penyair-penyair sebelumnya. Seperti yang diungkapkan Soni Farid Maulana, Amir Hamzah sebagaimana kita ketahui dalam menulis sejumlah puisinya, telah membebaskan diri dari pantun, dalam hal ini pantun Melayu, yang di dalam penulisannya terdapat sampiran (dua larik pertama) da nisi (dua larik kedua) dengan rima akhir a-b-a-b.[1] Dengan demikian, Amir Hamzah berarti sudah terlepas dari ikatan puisi-puisi lama dan termasuk dalam golongan puisi modern. Tidak hanya bentuknya yang tidak lagi seperti pantun, model penulisan atau tipografi puisi Amir Hamzah pun sudah sangat berbeda dengan puisi-puisi sebelumnya seperti karya Muhammad Yamin ataupun Sutan Takdir Alisyahbana.

Membaca puisi-puisinya, penyair yang wafat pada 20 Maret 1946 ini terlihat seperti orang yang senang akan berkhalwat, menyendiri untuk fokus berzikir pada Tuhan. Terungkap dalam bait puisinya berikut.
Kalau aku memuji dikau, dengan mulut tertutup, mata terkatup,
Sujudlah segalaku, diam terbelam, di dalam kalam asmara raya.
Turun kekasihmu, mendapatkan daku duduk bersepi, sunyi sendiri.
Dikucupnya bibirku, dipautnya bahuku, digantunginya leherku,
hasratkan suara sayang semata.
                                                                                       (Memuji Dikau)

Amir Hamzah memuji engkaunya dalam keadaan diam, hanya hati saja yang bernyanyi. Diam ini terlihat dari dari kata-kata yang dituangkan, seperti mulut tertutup, mata terkatup, diam terbelam, mendapatkan daku duduk bersepi, dan sunyi sendiri. Bernyanyi saya artikan dengan berzikir menyebut-nyebut namaNya. Engkau yang dimaksud di sini adalah Tuhan, si aku adalah sang penyairnya atau Amir Hamzah, dan kekasihmu itu malaikat sebab bahasa yang digunakan adalah turun. Mungkin bila datang ini dapat berarti nabi.

Berbeda dengan puisi-puisi sebelumnya yang lebih menggambarkan tentang alam, Amir Hamzah yang menurut Rahmat Djoko Pradopo merupakan penyair masa Jepang[2] ini lebih menggambarkan suasana kejiwaannya atau dapat disebut juga beraliran ekspresionisme, yakni menyatakan perasaan cintanya, bencinya, rasa kemanusiaannya, rasa ketuhanannya yang tersimpan di dalam dadanya.[3] Dapat kita lihat pada bait puisinya berikut.
Selagi hati bernyanyi, sepanjang sujud semua segala,
bertindih ia pada pahaku, meminum ia akan suaraku …

Saat hatinya berzikir, seluruh jiwa dan raganya akan fokus untuk turut berzikir. Diksi bertindih digunakan oleh Amir Hamzah sebagai wujud pemberian beban. Tentu maknanya akan berbeda jika Amir Hamzah ini memilih diksi berpangku atau duduk. Paha merupakan penopang badan yang menanggung bebannya. Penyair ini memilih diksi tersebut karena beban ini diberikan langsung pada penopang hidupnya. Selain itu, ia memilih diksi meminum itu sebagai kata yang maksudnya sama dengan mendengar. Artinya, mendengar akan pujian-pujiannya.

Pembacaan Heuristik

Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaannya atau secara semiotic adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.[4] Untuk memperjelas arti bilamana perlu diberi sisipan kata atau sinonim kata-katanya ditaruhkan dalam tanda kurung. Begitu juga, struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif); bilamana perlu susunannya dibalik untuk memperjelas arti.[5] Hal demikian dalam karangan bahasa Arab biasa disebut dengan syarh atau hasyiyah. Berikut pembacaan heuristik Memuji Dikau.

Kalau aku memuji dikau (berzikir), dengan mulut tertutup (tanpa berucap), mata terkatup  (matanya tertutup),
Sujudlah segalaku (seluruh jiwa dan raga fokus berzikir), diam terbelam (tak bersuara dan hanyut dalam zikirnya), di dalam kalam asmara raya (dalam percintaan yang amat luar biasa).
Turun kekasihmu (makhluk yang tak pernah membangkang perintahNya, malaikat), mendapatkan daku duduk bersepi, sunyi sendiri.
Dikucupnya bibirku (dicium, diberi kenikmatan tanpa harus protes akan pemberiannya, terima dengan sepenuh pasrah), dipautnya bahuku (diberi beban akan tanggung jawabnya sebagai manusia), digantunginya leherku (bahwa kematian itu datang kapan saja),
hasratkan suara sayang semata (itu semua merupakan wujud kasih sayang Kau (Tuhan) terhadapku (Amir Hamzah).
Selagi hati bernyanyi (berzikir), sepanjang sujud semua segala (selama seluruh jiwa dan raganya fokus berzikir),
bertindih ia pada pahaku (memberikan cobaan padaku), meminum ia akan suaraku…. (mendengar pujian-pujiannya)
Dan,
Ia pun melayang pulang, (kekasihmu, malaikat pun hilang, kembali ke Tuhan)
Semata cahaya, (semata hanya penerang untuk hatinya)
Lidah api dilingkung kaca, (segala apapun yang diucapkan itu akan berbalik terhadap pengucapnya)
Menuju restu, sempana sentosa. (untuk mencapai restu dan berkat sentosa).

 Analisis Sinonimi

Sinonimi merujuk pada penggunaan kata-kata yang maknanya kurang lebih sama atau mirip. Di dalam puisi, sinonimi berfungsi memberi penekanan kepada makna kata tertentu seperti yang dimaksud oleh si penyair.[6] Keberadaan sinonimi dalam Memuji Dikau secara eksplisit ada pada kata-kata: tertutup dan terkatup, bersepi dan sunyi, aku dan daku, serta melayang dan pulang.

Sinonimi sama dengan padan kata, sehingga efek yang dihasilkan sudah bisa diprediksi yakni menghasilkan variasi kosakata.[7] Selain itu, pemunculan sinonimi juga seringkali untuk membuat puisi berima, padahal jika tidak dihadirkan diksi tersebut juga tidak menghilangkan makna puisi. Berikut analisis sinonimi tersebut.

(1)   Kalau aku memuji dikau, dengan mulut tertutup, mata terkatup,
Kedua kata tersebut sebenarnya tidak mempunyai makna yang sama sebab masing-masing kata memiliki arti yang berbeda. Tertutup dalam KBBI berarti tidak terbuka atau tidak terlihat isinya, sedang terkatup berarti tertutup rapat-rapat. Keduanya merujuk pada ketidakterbukaan. Secara fungsi puitis, kedua kata tersebut saling berkaitan sebab selain memberikan rima sehingga indah dibaca dan nikmat didengar, juga memberikan penekanan bahwa semua anggota tubuh yang berlubang itu tidak terbuka, termasuk di antaranya telinga dengan  indra pendengarannya, dan hidung dengan indra penciumannya, dan sebagainya. Dua frasa di atas telah cukup mewakili semuanya, sebab bila pun semuanya dihadirkan malah khawatir akan merusak keindahan puisi sebab hilangnya rima tersebut.

(2)   Turun kekasihmu, mendapatkan daku duduk bersepi, sunyi sendiri.
Sepi dan sunyi meskipun berbeda tapi memiliki maksud yang sama. Sunyi sendiri dihadirkan sebagai penegas bahwa ia dalam kesunyiannya itu sendiri saja.

(3)   Kalau aku memuji dikau, dengan mulut tertutup, mata terkatup,
(4)   Turun kekasihmu, mendapatkan daku duduk bersepi, sunyi sendiri.
Aku dan daku sebenarnya sama. Dalam KBBI, penggunaan daku seringkali dipakai ketika terletak setelah kata yang berakhiran huruf n. Hal ini sesuai dengan penggunaan daku pada baris puisi di atas, mendapatkan daku. Penggunaan aku dan dalam baris selanjutnya dengan daku sebagai variasi diksi.

(5)   Ia pun melayang pulang,
Kata melayang dan pulang sangat berlainan arti, tetapi keduanya memiliki satu referen yang sama, yakni hilang atau pergi. Bunyi yang dihasilkan oleh dua kata tersebut menghasilkan euphonious, yakni enak didengar. Penulisan diksi tersebut juga sebagai wujud konsonansi bukan sekadar sinonimi biasa.

Simpulan

Pada akhirnya, simpulan yang menutup tulisan singkat tentang puisi Memuji Dikau buah tangan Amir Hamzah adalah gagasan inti dari puisi tersebut. Memuji Dikau adalah wujud perngungkapan perasaan Amir Hamzah saat memuji Tuhannya. Nuansa pornografi yang dibangun dalam puisinya merupakan realisasi keintiman yang terjalin antara si penyair dan si Kau yang dimaksud sebagai Tuhan. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh J.S. Badudu, bahwa untuk melukiskan sesuatu yang berhubungan dengan hubungan yang sangat intim manusia tidaklah perlu pengemukaannya sampai kepada hal-hal yang sangat mendetail, hal-hal yang sebenarnya masih dapat dirahasiakan. Pengemukaan samar-samar tetapi sugestif sifatnya kadang-kadang sudah cukup mengungkapkan apa yang dimaksudkan oleh pengarang.[8]

Muhammad Syakir Niamillah
Ciputat, 2015
Daftar Pustaka
Badudu, J.S. Sari Kesusastraan Indonesia 1. Bandung: Pustaka Prima. 1984.
Badudu, J.S. Sari Kesusastraan Indonesia 2. Bandung: Pustaka Prima. 1984.
Maulana, Soni Farid. Apresiasi dan Proses Kreatif Menulis Puisi. Bandung: Nuansa. 2012.
Pradopo, Rachmat Djoko. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya. 2003.
Pradopo, Rahmat Djoko. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013.
Siswantoro. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2014.




[1] Soni Farid Maulana, Apresiasi dan Proses Kreatif Menulis Puisi, (Bandung: Nuansa, 2012), hal. 53
[2] Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hal. 43
[3] J.S. Badudu, Sari Kesusastraan Indonesia 1, (Bandung: CV. Prima, 1984), hal. 68
[4] Rachmat Djoko Pradopo, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta, Hanindita Graha Widya, 2003), hal. 96
[5] ibid
[6] Siswantoro, Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hal. 201
[7] ibid
[8] J.S. Badudu, Sari Kesusastraan Indonesia 2, (Bandung: Pustaka Prima, 1984), hal. 68

Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »