Sesi di Sen-C, Kamis (16/5/2024). |
Setelah kunjungan ke British Council di bilangan Senopati, pada Kamis (16/5/2024), rekan-rekan mengajak ke Sensi. Saya tak paham apa itu Sensi? Ternyata itu akronim dari Senayan City (Sen-C). Menuju ke sana, kami berjalan kaki sekitar 20 menit, sebagian ibu-ibu menaiki mobil yang dipesan secara daring.
Waktu istirahat tiba, pujasera Sen-C semakin penuh. Sebagai seorang yang masih menantikan cairnya living allowance beasiswa, saya berekspektasi demikian jauh terhadap mereka yang memenuhi ruang dengan warung-warung bermenu makanan luar negeri itu. Tentu saja soal how many sallary did they get from their job? Terlebih malam sebelumnya, saya sempat mengantar rekan dari Timor Leste yang mendapat pekerjaan di Jakarta dan menempati sebuah kosan dengan harga perbulannya di atas Rp2 juta. Apalah hamba yang cuma bayar Rp300 ribu saja untuk kosan satu petak isi berdua.
Saya pribadi lebih memilih untuk menikmati suasananya dengan menatap tab. Bukan saja karena harga makanan yang bisa berkali lipat dari Warteg Bahari yang biasa di Ciputat saya hampiri, tetapi juga karena lidah yang tak selera dengan rasa dari beda negara. Entah karena indra pengecap ini yang kampungan atau karena belum biasa saja mencecap betapa masakan ala-ala Asia Timur itu bisa disebut sebagai kenikmatan. Namun yang pasti, sejumlah makanan yang pernah dicicipi tidak malah masuk ke perut, malah keluar lagi dari mulut.
Wal hasil, sebagaimana disebut di atas, saya memilih untuk menatap tab sembari menahan kantuk yang sudah sedemikian lama mengetuk. Berbeda dengan saya, Bapak dari Air Molek yang duduk di samping saya sudah meletakkan kepalanya di meja. Matanya sempurna terpejam sepertinya. Bedanya lagi, ia tidak makan bukan karena tak selera, tetapi karena memang sedang menikmati puasa.
Setelah hampir 30 menit lepas dari jam dua belas, kami memutuskan kembali ke kelas.