"Sangat gampang beres-beres pindah kos-kosan, Kekasih, yang susah itu membersihkan kenangannya… " Sudjiwo Tedjo, 24 April 2013
Apa yang ditulis Presiden Jancukers di atas sebetulnya kurang tepat. Apa pasal? Keduanya bagi saya sama-sama susah.
Lepas dari itu, klausa kedua pada twit Mbah Tedjo memang tak bisa terbantahkan. Sudah lebih dari tiga bulan saya angkat kaki dari kosan. Semua barang sudah saya angkut bawa pulang aecara nyicil. Saban minggu selama dua bulan, saya membawa dua kardus berisi barang. Bahkan, pernah saya bawa tiga kardus dan sejumlah tas jinjing atau goodiebag. Isinya sama, kalau tidak buku, ya pakaian. Untuk membawanya, saya dengan sangat terpaksa memesan sewa mobil daring sampai terminal. Barang-barang itu, semuanya dilalap bagasi bus.
Sampai titik akhir semua barang sudah dikemas dan dibawa pulang, ternyata ada yang tidak bisa terangkut dan bahkan berserakan di satu petak kamar yang diisi dua orang itu. Tidak ada lain, yaitu kenangan.
Kosan tempat saya menghabiskan waktu selama 5 tahun terletak di Jalan Solo, Kampung Utan, Kelurahan Cempaka Putih, Kecamatan Ciputat Timur, Tangerang Selatan. Untuk menuju kosan saya, titik patokannya adalah Warteg Jaya, destinasi pengisi perut saya jika malas berjalan jauh untuk menikmati porsi yang lebih banyak.
Kosan saya terletak di pojokan. Meski hanya satu petak kamar berukuran 2x2,5, kosan saya bisa menjadi tempat apa saja yang diinginkan bagi saya yang masih menyandang status mahasiswa, mulai dari kamar tidur yang sudah pasti, perpustakaan berisi koleksi buku saya dan rekan, majelis taklim tempat kami mengaji bersama, masjid tempat kami berjamaah, hingga restoran.
Untuk yang terakhir ini, restoran, kami memang menyediakan aneka minuman dan makanan siap saji. Saban pulang, kami dibawai teh, gula, madu, hingga kopi. Untuk minuman, kami melengkapinya dengan jahe yang dibeli dari pasar atau warung bahan-bahan masakan terdekat. Tak lupa juga susu kental manis cap Bendera dengan dua varian, cokelat dan putih. Hal yang tak tertinggal adalah jeruk nipis atau melon.
So, setiap ada teman yang mampir, kami selalu menawari pilihan minuman itu. Jika teh, kami sajikan secara khusus dengan menggunakan teko dan cangkir poci yang didatangkan langsung dari kota kelahiran roommate saya, Tegal. Teh itu kadang dibiarkan pahit, atau bisa juga langsung dilengkapi gula. Kami gunakan gula batu sehingga manis teh itu terasa beda.
Oh ya, air panas untuk menuangkan itu kami masak secara langsung di kompor gas yang dibawa tetangga kami dan memang disediakan untuk bersama. Secara tidak langsung, kami urunan. Saya dan rekan menyediakan bahan minuman, dia menyediakan peralatan masak. Soal gelas, oleh-oleh dari kondangan memenuhi lemari yang dibuat tetangga kami itu.
Airnya juga bukan dari keran kamar mandi. Untuk minum, kami menggunakan air galon Aqua. Wajib Aqua asli. Kami hampir tak pernah membeli isi ulang. Kami mesti membeli air itu dengan menukar galonnya.
Selain persediaan menu minuman yang lengkap, kami juga menyiapkan mie instan Indomie dengan ragam varian rasa, mulai ayam bawang, ayam spesial, soto ayam, kari ayam, hingga goreng.
Persediaan mie instan ini juga terkadang dilengkapi dengan telur dan sawi. Soal saus, kecap, garam, cabai, hingga merica juga hampir tidak pernah absen.
Beras sudah pasti selalu siap sedia. Ini juga jadi bahan yang kerap kami bawa dari rumah. Orang tua kami yang membawakannya. Bahkan, kami sendiri yang kerap meminta agar beras yang dibawa itu dikurangi agar bawaan tidak terlalu berat.
Senangnya, semua bahan makanan dan minuman itu tersedia di luar kamar. Siapapun boleh mengambilnya tanpa harus meminta izin. Dan, jika habis, setiap penghuni pun langsung inisiatif mengisi tanpa menunggu komando.
"Wah, itu mah masih kelas warkop, bukan restoran."
Mungkin anggapan pembaca demikian karena hanya melihat menu makanan berupa mie dan telur. Namun, saat kami menemukan waktu bersama, langsung saja bagi tugas, ada yang ke warung atau pasar untuk beli bahan masakan, ada yang masak nasi, ada pula yang memasak. Tetangga kami yang lain adalah seorang koki rumah makan. Tentu saja, masakannya sudah terjamin enaknya.
Di saat itulah, kosan mungil kami menjelma menjadi restoran. Setelah makan ikan dan sayuran, kami minum air putih hangat. Setelah itu, dilanjutkan dengan minuman pilihan lain sebagaimana disebut di atas, sembari chit-chat tentang isu terkini, persoalan yang tengah dihadapi, hingga yang tak pernah ketinggalan adalah ledek-ledekan sebagai guyonan kami melepas tawa dan lelah setelah bekerja ataupun studi.
Kedekatan antarpenguni ini yang membuat saya tak ragu menyebut sepetak kamar itu sebagai rumah. Ya, tidak berlebihan jika itu disebut rumah karena kehangatan yang dibangun di dalamnya.
Syakir NF