Syakir NF
Saya beberapa kali membagikan buku, kepada saudara, teman, sahabat, dan lainnya. Tidak saja mereka yang dekat secara keakraban, tetapi juga kepada mereka yang cukup jauh secara geografis, seperti di Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, hingga di Sulawesi sana. Orang yang di Sulawesi ini, sampai sekarang saya belum bertemu dengannya.
Laku demikian ini saya serap betul dari guru saya di kampus, tepatnya di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yakni Ibunda Mahmudah Fitriyah ZA. Bunda, biasa mahasiswa dan dosen-dosen di jurusan menyapanya, merupakan pengajar yang sangat lemah lembut. Mahasiswa yang pernah diampu olehnya, pasti mengesankan sosoknya demikian.
Suatu ketika, saat saya masih semester empat, saya menulis status di Facebook pada tanggal 24 Maret 2015, tentang membaca sastra dengan mengutip pernyataannya, bahwa dengan membaca sastra, kita melatih kepekaan hati. Dalam status tersebut, saya menandai beliau.
Di kolom komentar, beliau merespons untuk datang ke rumahnya yang
terletak persis di belakang kampus. Katanya, jika ada dua buku di rak
perpustakaannya, beliau akan sukarela memberikannya kepada saya. Sontak saya
langsung mengiyakan untuk sowan langsung ke kediamannya. Beliau menjadwalkan
keesokan harinya di waktu sore.
“... Kalau masih kurang bukunya di rumah saya ada beberapa koleksi
angkatan 20 sampai 66, juga koleksi Pram... boleh dipinjam, kalau ada dua boleh
nanti saya kasih,” tulisnya.
Sore itu tiba. Selepas Ashar menjelang Maghrib, saya melangkah
sendiri menuju rumahnya untuk kali pertama. Saat tiba, beliau langsung mengajak
saya menuju raknya di ruang tamu dan mengambil satu di antara dua judul yang
sama.
Buku-buku pemberian Ibunda Mahmudah Fitriyah ZA |
Di antara yang saya ambil saat itu adalah buku-buku karya Pramoedya
Ananta Toer. Tentu buku original ya, bukan KW. Beberapa judul di antaranya
adalah, (1) Rumah Kaca, (2) Midah Si Manis Bergigi Emas, (3) Larasati,
(4) Sekali Peristiwa di Banten Selatan, (5) Gadis Pantai, (6) Cerita
Calon Arang, (7) Bukan Pasar Malam, (8) Mangir, (9) Menggelinding
1, dan (10) Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer.
Selain itu, ada juga buku Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis,
Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka, Sastra Indonesia dalam Enam
Pertanyaan karya Ignas Kleden, Sastrawan Malioboro 1945-1960 karya
Farida Soemargono, Tata Kalimat Bahasa Indonesia karya Ida Bagus Putrayasa,
Bahasa Mencerminkan Bangsa karya Alif Danya Munsyi, dan buku-buku
lainnya. Total, saya memboyong tiga tas buku dari kediamannya. Itu belum di
tahun berikutnya saya juga memboyong satu tas, di antaranya buku Sejarah
Indonesia karya Sanoesi Pane dan Dari Pojok Sejarah karya Emha Ainun
Nadjib.
Siapa yang tidak senang menerima buku-buku yang sedemikian
pentingnya secara cuma-cuma pula. Saya pun menulis status lagi setelah menerima
buku-buku itu. Saat membagikan ulang di tahun 2016, ada satu komentar yang di
luar dugaan saya. Betul-betul tidak kepikiran saya sama sekali. Sebab, umumnya,
orang ketika melihat orang lain menerima pemberian, pasti berkeinginan untuk
diberi hal yang sama juga. Komentar yang satu ini beda. Adalah Kang Kusni Waluyo
yang menulis komentar berharap bisa meniru laku Bunda.
“Melu bungah yakkin. Muga2 ibu dosen uripe bahagia berkah tentrem
ayem... muga2 isun bosa (bisa) kayak bu Dosen,” tulisnya dibubuhi emoticon
senyum.
Sejak saat itu, saya jadi tersentil agar bisa membagikan buku-buku
yang pernah saya baca atau jika punya dua judul yang sama. Atau paling tidak,
saya meminjamkannya agar orang lain juga bisa membaca apa yang saya baca. Ini biasanya
berlaku untuk buku-buku yang sulit didapatkan, baik sulit karena memang langka
atau sulit karena harganya yang cukup fantastis.
Saya belum bisa mengikuti jejak penggerak literasi yang memajang
bukunya dalam suatu tempat dan waktu tertentu. Atau bahkan sampai berkeliling,
seperti rekan saya di Cirebon, Muhammad Assegaf, yang mengayuh sepedanya ke
beberapa tempat dengan membawa buku-buku bacaan bagi anak-anak di sana. Sebagaimana
kita ketahui, banyak sekolah yang tidak memberikan ruang baca bagi siswanya. Ruang
perpustakaan terkunci selama-lamanya, kecuali hendak akreditasi. Koleksi bukunya
pun hanya berisi buku paket bantuan dari pemerintah. Tidak lebih.
Karenanya, jalan gerak literasi saya saat ini bisa dilakukan dengan
berbagi buku-buku yang saya miliki. Bagi buku ini saya lakukan tidak tentu. Yang
pasi, saya kerap berbagi buku ketika mengisi acara. Misalnya yang terbaru, saat
mengisi Masa Penerimaan Anggota Baru (Mapaba) yang digelar secara virtual oleh
Pengurus Rayon Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Komisariat Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (Komfaktar),
Cabang Ciputat. Tiga peserta yang mengajukan pertanyaan, saya minta alamatnya
untuk dikirimkan masing-masing sebuah buku. Kebetulan, saya hanya memiliki dua
buku yang masih dibungkus plastik, yakni Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
dan Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer. Bingung karena kurang
satu, sore itu juga saya ke toko buku. Dapat satu buku cukup baik. Tapi karena
tidak terbungkus plastik, saya urung mengirimkan buku tersebut. Akhirnya, saya
lihat beberapa belas buku yang masih dibungkus plastik layaknya baru di rak
buku rekan sekosan saya, M Ilhamul Qolbi. Atas izinnya, saya minta satu buku
berjudul Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari untuk saya kirimkan ke
satu peserta lagi.
Pernah juga saya lakukan itu saat mengisi Alumni Pulang Kampus
yang digelar oleh pihak jurusan untuk menyambut mahasiswa baru tahun lalu,
2019. Saat itu, saya pegang dua buku kalau tidak salah. Saya berikan satu untuk
salah satu penanya, pun teman seangkatan saya, Tri Wibowo, juga memberikan
sebuah buku untuk peserta lain. Tahu masih ada satu buku di tangan saya, Bunda yang
melihat itu langsung memintanya. Tentu saja saya serahkan karena memang sudah
saya niatkan untuk dibagikan.
Sebagai penutup catatan ini, saya mendapat ceritakan satu kisah yang saya dengar dari Kang Wahid, salah seorang yang pernah mengenyam pendidikan di Bayt Al-Qur'an. Saat berkunjung ke Prof Quraish Shihab, katanya, KH Ahmad Bahauddin Nur Salim atau yang akrab disapa Gus Baha memberikan hadiah buku 'semobil' yang dibawanya. Sebaliknya, Prof Quraish juga membawakannya buku-buku satu mobil juga.
Penulis adalah pencinta buku
1 komentar:
Write komentarMantap ka sangat menginspirasi 😊 perjalanan yang begitu panjang namun berujung baik Alhamdulillah :) Tetap semangat dan terus berkarya :)ehehe
Reply