Satu pertanyaan tetiba terlontar kepada saya saat berbincang dengan
suatu keluarga. Pertanyaan itu entah timbul dari keheranan, kebingungan, atau
entah merendahkan. Saya sepenuhnya yakin bukan yang terakhir. Begini
pertanyaannya.
“Lalu, itu siapa yang membiayai?”
Pertanyaan itu timbul sesaat setelah saya ditanya mengenai saya dan
enam adik saya disertai pendidikan yang ditempuhnya saat ini. Saya tentu saja
menjawab apa adanya, tanpa mengada-ada, bahwa saya tengah menempuh pendidikan
magister, adik saya sedang mendaftar program magister, adik kedua tengah studi
keperawatan di Jakarta, adik ketiga tengah menghafal Al-Qur’an di sebuah
pesantren di Jawa Timur, adik selanjutnya sudah studi pendidikan menengah atas,
kemudian menengah pertama, dan terakhir masih duduk di bangku sekolah dasar.
Padahal, saya kuliah dari sarjana hingga magister saat ini mendapat
beasiswa dari pemerintah melalui program Bidikmisi (ya, saya miskin) dan
beasiswa Kemenpora. Saat menempuh program sarjana, saya masih kerap dikirimi
oleh orang tua. Sebab, biaya dari pemerintah yang Rp600 ribu/bulan (kemudian
ada perubahan nomenklatur Rp6juta dikurangi biaya pendidikan Rp1,2
juta/semester) tentu tidak cukup untuk membiayai makan, kos, buku, pencetakan
dokumen kuliah, dan sebagainya.
Adik saya pertama lebih kerap berpuasa karena mengetahui kemampuan
orang tuanya dan kakaknya yang tak seberapa. Sementara adik kedua, setidaknya
tidak banyak jajan karena biaya buku dan peralatan kesehatan cukup menguras atm
emak.
Pertanyaan itu keluar karena latar belakang orang tua saya yang ‘di
rumah saja’. Ya, emak dan bapak saya hanya di rumah saja, mendampingi
bocah-bocah yang hendak memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru, khususnya
perihal keagamaan. Terlebih secara fisik, bapak saya tidak sempurna karena
matanya sudah buram sama sekali sejak beberapa tahun lalu dan rabun sejak
kecilnya, ditambah saat ini telinganya semakin ‘jauh’.
Bagi saya, tidak aneh pertanyaan itu bisa keluar, karena memang
latar belakang keluarga demikian. Jualan alat-alat baca tulis juga tak seberapa
keuntungannya, hanya sesekali saja pada momen tertentu bisa lumayan meraup
untung. Pasalnya, selain sudah lebih banyak penjual produk yang sama, juga
tidak jarang yang langsung borongan beli di tempat yang kami juga membelinya. Ya,
bagaimanapun, kami harus rela dengan fakta demikian. Padahal, saya ingat betul
ada yang menitip beli kitab kepada kami untuk santri-santrinya yang berjumlah
puluhan. Bahkan, beliau langsung membayarnya kontan di muka, atau setidaknya
sudah membayar sebagian.
Kembali ke pertanyaan awal. Jangankan itu pertanyaan muncul dari
orang jauh, orang-orang yang dekat dan hampir saban hari ketemu juga sepertinya
aneh. Sebab, saya dan adik-adik dikirinya dibiayai oleh seseorang yang secara
keuangan lebih mampu.
Mendengar semua itu, saya dan keluarga hanya tertawa. Sebetulnya,
pertanyaan awal saya jawab apa adanya, “Ya, kami urunan,” kata saya. Ya
bagaimanapun setelah saya bekerja, tentu adik-adik saya juga bagian dari
tanggung jawab saya.
Namun, ketika saya cerita ke orang tua, mereka mengatakan,
“Harusnya kamu jawab, Ya Gusti Allah.”
Ya, kok saya bisa lupa demikian. Saya memang rupanya masih pengen
berbangga diri dengan pribadi. Bagaimanapun, sebuah prestasi bagi saya dapat
membantu mereka.
Mendengar jawaban emak bapak, saya jadi teringat petuah guru saya. “Yang
mewajibkan kita belajar tuh Allah. Biarkan Allah yang membiayai kita belajar,”
kira-kira demikianlah beliau berkata ke saya dalam suatu perbincangan.
Ya, bagaimana tidak, beliau menempuh doktor di Jakarta. Setiap
pekan bolak-balik ke ibukota dari tanah kelahirannya setidaknya menghabiskan
700 ribu sepekan hanya untuk ongkos saja, karena kereta sekali jalan 200 ribu
dikali dua Rp400 ribu, ditambah biaya sewa mobil dari stasiun ke rumah tinggal
dekat kampusnya Rp100 ribu dikali dua, serta biaya ke kampusnya. Sementara gaji
mengajar hanya sekitar 2 juta perbulan. Kalau dihitung-hitung, tentu mana
cukup.
Kita tentu kerap mendengar, matematika kita dan matematika Allah
itu beda. Biar kita pasrahkan saja kepada-Nya soal biaya pendidikan kita. Tentu
saja harus tetap realistis melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada tanpa
berhenti berjuang demi menggapai cita-cita. Kita memang sejatinya tidak mampu.
Makanya, biar Allah yang bayar!
Semangat belajar!
Syakir NF