Our Feeds

Motto

Etik, Estetik, Puitik

Selamat Mengaji

Mengaji Sepanjang Hari

Senin, 14 September 2020

Syakir NF

Tak Mampu Kuliah karena Biaya, Biar Allah yang Bayar!

 

 

Satu pertanyaan tetiba terlontar kepada saya saat berbincang dengan suatu keluarga. Pertanyaan itu entah timbul dari keheranan, kebingungan, atau entah merendahkan. Saya sepenuhnya yakin bukan yang terakhir. Begini pertanyaannya.

 

“Lalu, itu siapa yang membiayai?”

 

Pertanyaan itu timbul sesaat setelah saya ditanya mengenai saya dan enam adik saya disertai pendidikan yang ditempuhnya saat ini. Saya tentu saja menjawab apa adanya, tanpa mengada-ada, bahwa saya tengah menempuh pendidikan magister, adik saya sedang mendaftar program magister, adik kedua tengah studi keperawatan di Jakarta, adik ketiga tengah menghafal Al-Qur’an di sebuah pesantren di Jawa Timur, adik selanjutnya sudah studi pendidikan menengah atas, kemudian menengah pertama, dan terakhir masih duduk di bangku sekolah dasar.

 

Padahal, saya kuliah dari sarjana hingga magister saat ini mendapat beasiswa dari pemerintah melalui program Bidikmisi (ya, saya miskin) dan beasiswa Kemenpora. Saat menempuh program sarjana, saya masih kerap dikirimi oleh orang tua. Sebab, biaya dari pemerintah yang Rp600 ribu/bulan (kemudian ada perubahan nomenklatur Rp6juta dikurangi biaya pendidikan Rp1,2 juta/semester) tentu tidak cukup untuk membiayai makan, kos, buku, pencetakan dokumen kuliah, dan sebagainya.

 

Adik saya pertama lebih kerap berpuasa karena mengetahui kemampuan orang tuanya dan kakaknya yang tak seberapa. Sementara adik kedua, setidaknya tidak banyak jajan karena biaya buku dan peralatan kesehatan cukup menguras atm emak.

 

Pertanyaan itu keluar karena latar belakang orang tua saya yang ‘di rumah saja’. Ya, emak dan bapak saya hanya di rumah saja, mendampingi bocah-bocah yang hendak memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru, khususnya perihal keagamaan. Terlebih secara fisik, bapak saya tidak sempurna karena matanya sudah buram sama sekali sejak beberapa tahun lalu dan rabun sejak kecilnya, ditambah saat ini telinganya semakin ‘jauh’.

 

Bagi saya, tidak aneh pertanyaan itu bisa keluar, karena memang latar belakang keluarga demikian. Jualan alat-alat baca tulis juga tak seberapa keuntungannya, hanya sesekali saja pada momen tertentu bisa lumayan meraup untung. Pasalnya, selain sudah lebih banyak penjual produk yang sama, juga tidak jarang yang langsung borongan beli di tempat yang kami juga membelinya. Ya, bagaimanapun, kami harus rela dengan fakta demikian. Padahal, saya ingat betul ada yang menitip beli kitab kepada kami untuk santri-santrinya yang berjumlah puluhan. Bahkan, beliau langsung membayarnya kontan di muka, atau setidaknya sudah membayar sebagian.

 

Kembali ke pertanyaan awal. Jangankan itu pertanyaan muncul dari orang jauh, orang-orang yang dekat dan hampir saban hari ketemu juga sepertinya aneh. Sebab, saya dan adik-adik dikirinya dibiayai oleh seseorang yang secara keuangan lebih mampu.

 

Mendengar semua itu, saya dan keluarga hanya tertawa. Sebetulnya, pertanyaan awal saya jawab apa adanya, “Ya, kami urunan,” kata saya. Ya bagaimanapun setelah saya bekerja, tentu adik-adik saya juga bagian dari tanggung jawab saya.

 

Namun, ketika saya cerita ke orang tua, mereka mengatakan, “Harusnya kamu jawab, Ya Gusti Allah.”

 

Ya, kok saya bisa lupa demikian. Saya memang rupanya masih pengen berbangga diri dengan pribadi. Bagaimanapun, sebuah prestasi bagi saya dapat membantu mereka.

 

Mendengar jawaban emak bapak, saya jadi teringat petuah guru saya. “Yang mewajibkan kita belajar tuh Allah. Biarkan Allah yang membiayai kita belajar,” kira-kira demikianlah beliau berkata ke saya dalam suatu perbincangan.

 

Ya, bagaimana tidak, beliau menempuh doktor di Jakarta. Setiap pekan bolak-balik ke ibukota dari tanah kelahirannya setidaknya menghabiskan 700 ribu sepekan hanya untuk ongkos saja, karena kereta sekali jalan 200 ribu dikali dua Rp400 ribu, ditambah biaya sewa mobil dari stasiun ke rumah tinggal dekat kampusnya Rp100 ribu dikali dua, serta biaya ke kampusnya. Sementara gaji mengajar hanya sekitar 2 juta perbulan. Kalau dihitung-hitung, tentu mana cukup.

 

Kita tentu kerap mendengar, matematika kita dan matematika Allah itu beda. Biar kita pasrahkan saja kepada-Nya soal biaya pendidikan kita. Tentu saja harus tetap realistis melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada tanpa berhenti berjuang demi menggapai cita-cita. Kita memang sejatinya tidak mampu. Makanya, biar Allah yang bayar!

 

Semangat belajar!

 

Syakir NF


Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »