Syakir NF
Tahniah tak terkira untuk karibku, Muhammad Ammar, atas capaian usianya yang sudah genap seperempat abad. Ya, 29 Agustus 1995 lalu, ia lahir dari rahim ibunya.
Mungkin tak terasa baginya, tetiba saja sudah 25 tahun umurnya. Perjalanan 300 bulan begitu singkat manakala ungkapan ulang tahun diiringi kalimat, "Sudah 25 aja."
Ia memang dilahirkan sebagai pemimpin. Fisik yang proporsional dan gaya bicara yang meyakinkan menjadi modal utama penampilannya sebagai seorang yang mampu mengatur segala hal, mulai dirinya sendiri, hingga organisasi dan masyarakat umum.
Tidak ujug-ujug ia demikian. Orang tuanya juga punya andil besar. Darah kepemimpinannya mengalir dalam dirinya. Sang ayah muncul sebagai ketua RT yang orang-orang enggan mengambil perannya tersebut. Sampai hari ini, jika kita berkunjung ke kediamannya di Jalan Percetakan Negara, persis depan rumahnya menempel plang Ketua RT. Ibunya yang menjadi guru juga tidak lepas menaruh pengaruh kepada putra bungsunya itu.
Secara formal, ia lahir sebagai pemimpin manakala terpilih sebagai Ketua Pondok Pesantren Al-Andalucia, lalu terpilih juga sebagai Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) Putra Buntet Pesantren, hingga menjadi Ketua Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PC IPNU) Jakarta Pusat.
Sebagai karibnya, rekan-rekannya pasti akan mengakui lelaki yang punya gigi kelinci ini sosok yang royal terhadap kerabatnya. Tak sedikit di antara kami yang kerap menginap di kamarnya. Bangun-bangun dibelikan sarapan dan teh manis.
Pernah bermalam di rumahnya untuk persiapan menuju Bali di tahun 2016 akhir. Ia dan Aru Elgete mengantarkan saya ke Bandara Halim Perdanakusuma.
Pernah juga saat esoknya hendak ke Padang pada akhir 2017, ia menjemput saya dengan mobilnya di Ciputat. Lalu, esoknya mengantarkan saya ke Bandara Soekarno Hatta.
Saya juga pernah merepotkannya pada Februari 2018. Saat hendak take off dari Lombok, saya menghubunginya untuk menjemput di Bandara Halim Perdanakusuma untuk langsung mengantarkan saya ke Stasiun Gambir. Pasalnya, pesawat delay beberapa jam sehingga jeda antara mendarat dan waktu keberangkatan kereta ke Bandung sangat tipis. Berkat bantuannya, saya tidak ketinggalan kereta. Pas duduk, saat itu juga kereta melaju ke tujuan.
Kemudian, ia juga membantu saya saat hendak mengikuti konferensi di Chiang Mai, Thailand. Saat itu, saya sudah mendapat Letter of Acceptance dari Christian Conference of Asia sebagai penyelenggara. Namun, saya belum bisa pesan tiket pesawat ke tujuan karena ketiadaan tabungan. Lagi-lagi Ammar menjadi tempat mengadu.
Ia yang baru merampungkan tugasnya dari panitia Asian Games pun mudah saja mengabulkan permintaan saya. Ia tidak mengirim saya uang, tapi langsung tiket. Malam itu juga selepas ngopi di Raden Saleh, kami pulang ke rumahnya. Di kamarnya, ia langsung memesankan tiket bolak-balik ke Thailand.
Ia juga mengajukan ajakan agar tidak langsung kembali ke Jakarta melainkan transit dulu di Malaysia. Saya pun mengiyakan. Selepas konferensi, saya terbang ke Kuala Lumpur. Di Bandara yang sama, kami jumpa sekitar pukul 11 malam.
Lalu, kami melanjutkan perjalanan ke Singapura pagi dengan menggunakan bus dari Terminal Bersepadu Selatan (TBS). Di imigrasi, kami pun ditinggal bus. Pasalnya, Ammar ditahan entah karena apa. Saya di situ dilema antara nunggu Ammar atau lanjut ke bus. Saya pikir, bus mengerti ada dua penumpangnya yang belum kembali. Tetapi tak lama Ammar keluar kami bergegas ke parkiran, betul saja dugaan kami, bus sudah melaju lebih dulu. Parkiran imigrasi kosong.
Dengan bahasa Inggris yang pas-pasan, Ammar pun menanyakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan untuk sampai ke Singapura. Kami menanyakan keberadaan tempat penukaran uang. Ternyata tidak ada. Ya, sebab, uang Ringgit kami menipis dan belum menukar Dollar Singapura.
Lalu, kami tetiba saja disuruh naik ke bus. Kami pun tidak langsung duduk, tetapi menanyakan perihal ongkosnya. Seorang ibu-ibu peranakan Tionghoa memberi isyarat tidak perlu dipikirkan. Ia rupanya membayarkan ongkos untuk kami.
Kami pun duduk tanpa mengetahui arah dan tujuan akhir bus ini. Saat tiba di tujuan akhir, kami pun turun. Kami mengetahui itu tujuan terakhir karena semua penumpang turun.
Selepas keluar dari bus tersebut, mata kami tercengang karena langsung menemukan sebuah masjid. Di situ, kami mandi dan mengglonggong serta mengisi botol minum. Ya, area publik di Singapura menyediakan air minum di kran secara gratis. Kami dapat meminumnya dengan gelas yang disediakan atau mengisi botol minum sendiri.
Kami mengunjungi patung Merlion, kemudian sedikit berguling-guling di Taman Victoria, dan mengakhiri perjalanan kami di Singapura dengan berziarah ke makam Habib Noh.
Dari situ, kami kembali ke Kuala Lumpur, tidur sejenak di masjid. Kemudian menginap di hotel seharga Rp180 ribu/malam. Dan terakhir menginap di bandara. Kami juga berkunjung ke ibukota Putrajaya, lalu menemui putri kiai kami di Universitas Putra Malaysia.
Selain itu, kami juga menghabiskan sebagian uang di Jalan Petaling. Di sana banyak ditemukan barang-barang dengan harga murah. Saya beli kaos, gantungan kunci, tas, san lainnya di sana.
Semua itu saya peroleh dengan uang pinjaman dari Ammar. Ya, begitulah dia royalnya terhadap kami kawan-kawan karibnya.
Saya pun mengangsur pinjaman itu hingga delapan bulan, dari Oktober 2018 sampai Juni 2019. Sebetulnya, saya pikir utang saya kepadanya masih ada. Tapi, ia mencukupkannya. Dianggap lunas begitu saja.
Sebelumnya, kami juga belajar bahasa Inggris bareng di Pare, Kediri pada Maret 2016. Memanfaatkan waktu libur, kami berkunjung ke bangunan tua di wilayah Pare itu dan berkeliling Jombang, menziarah kiai-kiai kami di Tebuireng, Peterongan, Tambak Beras, dan Denanyar.
Kami berkerabat sejak duduk bareng di Kelas X MANU Putra dan berorganisasi bareng di OSIS dan IPNU MANU Putra. Kami banyak terlibat bersama mengurus kegiatan-kegiatan kesiswaan di madrasah penuh berkah itu. Beruntung saya bersekolah di sana.
Sekali lagi, saya ucapkan selamat ulang tahun. Segala cita semoga lekas tercipta.