Rindu tidak saja muncul lepas temu. Ia bisa saja menyeruak tanpa sekalipun pernah sua. Ya, bisa. Siapa bilang tidak? Jika perlu bukti, kerinduan kita pada Nabi adalah satu di antaranya. Kita yang tak pernah tahu wujudnya, tak pernah memandang rupanya, tetapi siapa pula Muslim yang tak merindukannya.
Adakah kata selain rindu untuk mengungkapkan rasa seperti itu?
Rasa yang sama juga tumbuh dalam benak calon-calon orang tua yang selalu menanti kapan tibanya garis dua, kapan masanya bahagia melihat tangis bayi sedemikian lama dinanti, kapan waktunya menimang buah cinta yang begitu didamba.
Itulah yang kini aku rasa. Apalagi, orang-orang selalu bertanya tentangnya. Menjawab itu, saya selalu menyampaikan satu permintaan, "Mohon doanya."
Saudara-saudara yang baru menikah sudah dapat kabar kandungan buah hatinya. Apalagi yang H+1 saya mengucap "Qobiltu", putrinya tampak makin lucu.
Menjelang akhir-awal bulan, harap-harap cemas selalu muncul paling depan. Tak ada angin, tak ada hujan, tak ada mendung, tapi halilintar biasanya datang menggelegar. Bidadari yang bernama istri memberi kabar, darah dari alat vitalnya keluar.
Tak ada kata tersiar. Ia hanya mengirim gambar tangkapan layar aplikasi berwarna merah segar. Kami harus kembali merindu lengkap dengan bumbu bernama sabar.
Hampir dua tahun kami mengikat janji suci. Bukan waktu yang lama di hadapan mereka yang sudah puluhan tahun saling berikrar sehidup-semati. Namun, sependek apapun menanti, tetaplah perasaan lama itu terpatri.
Meskipun bukan penyakit, tapi rindu memang selalu berhasil menyakitkan. Tanpa dipaksa, tulisan ini hampir saja dihujani air mata yang saya tahan-tahan agar tak tumpah-ruah.
"Rabbi hab lii minasshalihin" begitu doa Nabi Ibrahim yang tak pernah absen kupanjatkan.
"Duhai Tuhanku, karuaniakanlah daku anak-cucu yang saleh."
Berkat doa itu, lahirlah Nabi Ismail dari rahim Sayyidah Hajar.
"Rabbi hab lii min landunka dzurriyatan thayyibah" demikian doa Nabi Zakariya yang selaku kulangitkan.
"Wahai Tuhanku, anugerahilah hamba dari-Mu, keturunan yang baik."
Berkat doa itu, lahirlah Nabi Yahya as dari rahim ibunya yang kala itu telah berusia 80-90 tahunan dan sudah distempel mandul.
Dengan niat mengikuti doa-doa orang saleh, dengan keberkahan melalui mereka, kami selalu berharap Allah swt mengamini apa yang tak pernah berhenti kami panjatkan saban hari.
Syakir NF