Our Feeds

Motto

Etik, Estetik, Puitik

Selamat Mengaji

Mengaji Sepanjang Hari

Rabu, 07 November 2018

Syakir NF

Belajar Perencanaan Bahasa dari Pesantren Tradisional

Masjid Agung Buntet Pesantren, Cirebon


Muhammad Syakir Niamillah Fiza

Lebih dari 20 ribu pesantren tersebar di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia, pesantren patut menjadi teladan bagi pendidikan, kebangsaan, bahkan kebahasaan. Pada bidang terakhir ini, pesantren memiliki perencanaanya yang sangat matang. Pesantren yang penulis maksud di sini adalah pesantren tradisional.

Di pesantren, para pelajar yang biasa disebut sebagai santri tidak hanya mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an atau bahasa asing yang perlu dikuasai. Tetapi, mereka juga diberi teladan oleh kiainya untuk senantiasa mengutamakan bahasa Indonesia dan melestarikan bahasa daerah.

Pesantren Buntet, Cirebon, misalnya. Ada ribuan santri dari berbagai daerah menempuh studi di sana. Kedatangan mereka di suatu komunitas yang sudah memiliki bahasa sendiri tentu mengalami kontak bahasa. Praktis, setidaknya ada tiga bahasa yang biasa digunakan di pesantren tersebut, yakni bahasa Indonesia, bahasa Arab, dan bahasa Jawa dialek Cirebon.

Bahasa Jawa dialek Cirebon selain digunakan dalam praktik keseharian, juga digunakan sebagai bahasa terjemahan atas kitab-kitab yang dikaji. Tujuannya agar para santri mudah mengetahui fungsi kalimat bahasa Arab yang menjadi bahasa pengantar dalam literatur yang mereka pelajari. Sementara itu, bahasa Indonesia digunakan oleh kiai untuk memberikan keterangan atas materi yang telah ia baca dan terjemahkan. Hal ini bertujuan agar semua santri yang memiliki latar belakang bahasa ibu yang berbeda itu memahami kandungan materi yang sedang mereka pelajari mengingat bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan. Bahkan, jika ada satu makna yang tak dapat diwakili dalam bahasanya, maka ketiganya saling melengkapi.

Oleh karena itu, penting kiranya perencanaan kebahasaan kita, khususnya dalam dunia pendidikan, belajar dari pesantren mencanangkan pendidikan kebahasaannya. Bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing itu harus punya pos masing-masing sehingga tidak ada yang dieliminir. Ketiganya justru menjadi saling menguatkan.

Penulis adalah santri Pondok Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat
Tulisan ini pernah diajukan sebagai syarat keikutsertaan dalam Kongres Bahasa Indonesia XI





Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »