Syakir NF
Dunia politik selalu menarik diperbincangkan. Terlebih saat ini
tengah musim Pilkada serentak. Meskipun gelarannya sudah usai, tapi suasananya
masih terasa. Tak terkecuali oleh Ahmad Tohari, seorang sastrawan yang pernah
mendapatkan penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan atas novel
pertamanya yang berjudul Kubah.
Malam itu, Jumat (29/6), ia tengah menanti
keberangkatan kereta dari Stasiun Gambir menuju Purwokerto guna mengantarkannya
kembali ke kediamannya di sana. Di situlah saya menemuinya bersama rekan saya
Muhammad Ammar, Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) cabang Jakarta
Pusat.
“Ini pakai peci ini pasti anak IPNU,” begitu langsung ia menebak
saya yang kebetulan mengenakan peci.
Kader NU, katanya, jangan semuanya berpolitik. Ada yang mesti
mengambil peran intelektualnya. Ia pun mengambil contoh KH Masdar Farid Masudi,
Ahmad Baso, dan Imam Aziz. Ketiganya mengambil sisi tersebut, tidak turut
berpolitik.
Meskipun demikian, ia tentu tidak mutlak melarang kami dan kader NU
lainnya untuk berpolitik. Pria yang sempat berkuliah pada jurusan kedokteran
itu pun memberi syarat yang cukup berat, yakni harus menjadi sosok mandiri.
Artinya, jika dilepas semua identitasnya, orang-orang tetap meliriknya.
“Jangan berlindung di jaket NU!” tegasnya.
Pak Tohari memberi contoh dua sosok politisi yang demikian, yakni
KH Abdurrahman Wahid dan Joko Widodo. Jika pun baju partai keduanya dilepas,
mereka akan tetap menjadi tokoh.
Singkatnya, ia menegaskan, “Jadilah politisi yang negarawan. Jangan
jadi politisi partai!”
Ia terlihat geram sekali dengan mereka yang terjun di dunia
politik, tetapi dengan membawa rasa hausnya akan kekuasaan. Hal ini pula yang
ia tuangkan dalam cerpennya yang berjudul Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya.
Cerpen yang terbit pada 5 Februari 2017 itu menjadi salah satu cerpen terbaik Kompas
2017 dari 21 cerpen.
“Seperti peluit sebagai simbol
kekuasan itu berbau busuk karena tidak pernah dicuci. Kalau kekuasaan menuruti
tabiatnya yaitu semakin berkuasa semakin korup, ibarat peluit yang tidak pernah
dicuci,” kata Pak Tohari sebagaimana dilansir NU Online pada Kamis
(28/6) malam di Jakarta.
*Santri Pak Ahmad Tohari, Pengurus
Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama