Imam Ghazali begitu banyak menulis kitab dalam berbagai bidang keilmuan. Karyanya tersebar ke penjuru dunia. Tak terkecuali ke Indonesia. Sanad keilmuan para ulama Nusantara bersambung sampai padanya melalui Syekh Nawawi Al-Bantani yang berguru pada Syekh Abdusshamad Al-Falimbani.
Setidaknya, ada tiga pemikiran ulama yang berkunyah Abu Hamid itu dalam penentuan hukum di Indonesia. Hal itu disampaikan oleh Mukti Ali Qusyairi saat mengisi kajian rutin Islam Nusantara Center, Ciputat, Tangerang Selatan, Sabtu (3/2).
Pertama, dukungan ulama Nahdlatul Ulama terhadap kepresidenan Soekarno. Kiai NU mendukung penuh, menyatakan bahwa Bung Karno adalah presiden yang sah secara hukum. Hal itu merujuk pada konsep yang ditawarkan oleh Imam Ghazali, waliyyul amri ad-dlaruri bis syaukah.
“Sangat susah untuk mencari pemimpin Muslim yang sempurna. Syarat pemimpin yang ditetapkan ulama terdahulu itu di antaranya harus mujtahid mutlak, harus hafal Al-Quran, hafal ribuan hadits, harus bisa istinbath dan menggali hukum sendiri. Ini tidak mungkin,” ujar Mukti merangkum pernyataan Imam Al-Ghazali dari beberapa kitabnya yang ia baca.
Oleh karena itu, Bung Karno sah karena darurat kepemimpinan. “Dengan pertimbangan, kalau tidak ada pemimpin akan menimbulkan chaos (kekacauan),” lanjutnya.
Kedua, tradisi tarian Nusantara. Dalam diskusi yang bertema “Pengaruh Imam Ghazali dalam Akselerasi Peradaban Nusantara” itu, Mukti menyampaikan bahwa pada tahun pertama didirikan, NU membolehkan tarian tradisional. Hal itu didasarkan pada pandangan Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin pada bab al-ghina.
Dalam bab tersebut, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa Nabi Muhammad pernah melihat kaum Habasyah menyanyi dan menari. Nabi tidak menegur dan melarangnya. Dalam riwayat lain, Sayyidina Umar pernah menanyakan kepada Nabi perihal menyanyi dan menari yang dilakukan Kaum Habasyah di hari raya. Nabi membiarkan mereka karena mensyukuri hari raya.
Tetapi hal tersebut boleh dilakukan dengan satu catatan. “Selama tidak ada itu (kemungkaran), maka tidak apa-apa,” kata pria asal Cirebon itu.
Bahkan, Syekh Murtadla dalam Ithaf Sadatil Muttaqin, syarah Ihya Ulumiddin, menyamakan tarian dengan olahraga. Ia melihatnya keduanya sama-sama bergerak. “Mestinya, jika menari dilarang, maka olahraga juga dilarang,” begitu pandangan Syekh Murtadla yang dikutip oleh Mukti.
Menurutnya, kebolehan itu juga atas dasar hal tersebut merupakan identitas budaya. “Itu adalah bagian dari kekayaan kesenian kita,” katanya.
Ketiga, kebolehan program Keluarga Berencana (KB). KH Ibrahim Hosen adalah salah seorang yang mendukung KB. Hal itu, menurut Mukti, dikiaskan pada konsep ‘azl (menumpahkan sperma di luar vagina) ala Imam Al-Ghazali. Hal itu diulas dalam kitab Ihya Ulumiddin.
“Sebenarnya pembatasan tidak boleh. Tapi yang boleh itu pengaturan. Azl sendiri tujuannya adalah mengatur,” lanjutnya. (Syakirnf/Alhafiz K)
NU Online