Tak sedikit orang yang mempersoalkan hadits-hadits dhaif dan maudhu yang termaktub dalam kitab Ihya Ulumiddin Imam Al-Ghazali. Hal itu kerap kali dijadikan peluru yang biasa dilancarkan oleh Salafi-Wahabi terhadap Muslim Suni.
Ditanya demikian, Mukti Ali Qusyairi menjawab bahwa sufi memiliki kacamata tersendiri dalam memandang hadits. Berbeda dengan ahli hadits, mereka tidak mengkritisi hadits dari rawi dan sanadnya dengan al-jarh wat ta’dil, tetapi dari matannya sebagai substansinya.
“Lebih kepada substansi yang terkandung dalam teks,” katanya saat mengisi kajian dengan tema Pengaruh Imam Al-Ghazali dalam Akselerasi Peradaban Nusantara di Islam Nusantara Center, Ciputat, Tangerang Selatan, Sabtu (3/2).
Hal ini menunjukkan kebolehan merujuk pada hadits maudhu atau daif. Tetapi tidak untuk semua hal. Pengambilan hadits-hadits tersebut hanya boleh digunakan untuk keutamaan amal.
“Kita boleh saja mengambil hadis maudhu, hadits palsu. Tapi li fadhailil a’mal, untuk keutamaan amal,” ujarnya.
Di samping itu, Imam Al-Ghazali merupakan seorang sufi yang tidak bertarekat. Pada zamannya, belum ada pelembagaan spiritualitas. Baru sekitar 50-100 tahun setelahnya, muncul Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Pandangan sufi yang digelari sultanul auliya terhadap hubungan murid dan guru itu dipengaruhi oleh pendapatnya Imam Al-Ghazali. Hal tersebut bisa dicek pada Tarekat Qadiriyah wa Naqasyabandiyah.
“Syekh Abdul Qadir Al-Jailani adalah orang Baghdad, sama seperti Imam Al-Ghazali. Meskipun terjadi perbedaan pendapat apakah Syekh Abdul Qodir Al-Jailani itu berguru langsung kepada Imam Al-Ghazali atau tidak, atau berguru pada muridnya Imam Al-Ghazali, konsep sufismenya itu begitu banyak mengadopsi dari konsepnya Imam Al-Ghazali.”
Selain itu, Penulis buku Kisah-kisah Ajaib Imam Al-Ghazali itu juga mengatakan bahwa kehebatan Imam Al-Ghazali adalah mampu menarasikan kisah spiritualnya dengan bahasa yang mudah dicerna. Hal ini berbeda dengan Imam Ibnu Athaillah yang karyanya, Al-Hikam, sangat filosofis. Menurutnya, hal tersebut memungkinkan adanya kesalahpahaman.
Dalam kajian tersebut, alumnus Universitas Al-Azhar itu juga mengungkapkan tiga butir pemikiran Imam Ghazali yang berpengaruh di Indonesia, yakni pada dukungan NU atas kepresidenan Sukarno, tradisi tarian Nusantara, dan dukungan ulama atas program Keluarga Berencana (KB). (Syakirnf/Alhafiz K)
NU Online