Peneliti PPIM M. Nida Fadlan saat mengisi diskusi di Islam Nusantara Center |
Ada ribuan manuskrip yang belum tersentuh penelitian. Masih ada yang beranggapan bahwa manuskrip itu adalah benda pusaka. Tetapi, seringkali anggapan demikian itu menghilangkan fungsi asli manuskrip tersebut, yakni sebagai pustaka. Salah satu tempat penyimpanan naskah terbesar di Nusantara adalah pesantren. Tetapi hal ini belum banyak terungkap ke permukaan.
Oleh karena itu, wartawan NU Online M. Syakir Niamillah Fiza menemui Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Muhammad Nida Fadlan, Kamis (1/2) di kantornya, di Kampus 2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jalan Kertamukti, Ciputat, Kota Tangerang Selatan. Filolog alumni Pondok Buntet Pesantren itu mengungkapkan pandangannya terkait pengkajian dan perawatan manuskrip (naskah kuno hasil tulisan tangan) pesantren.
Bagaimana anda melihat hubungan NU dan manuskrip?
NU merupakan penjaga gawang warisan naskah. Bukan tanpa alasan saya bilang seperti ini. Ada beberapa fakta yang melatarbelakangi. Pertama, tradisi Islam adalah tradisi literasi, tradisi tulis menulis. Manuskrip Islam sudah ada sejak abad 15. Dua abad setelahnya mengalami perkembangan. Puncaknya pada abad 18 dan 19. Banyak naskah yang ditemukan bertitimangsa pada sekitar dua abad tersebut. Kedua, di Indonesia terdapat ribuan pesantren yang berafiliasi dengan NU.
Setiap pesantren memiliki potensi besar menyimpan manuskrip. Tidak cuma satu. Bisa jadi dua, belasan, atau bahkan puluhan. Pesantren Sabilil Muttaqin, Takeran, Magetan, beberapa tahun silam pernah kita datangi dan beberapa naskahnya kita digitalisasi. Di pesantren tersebut saja ada ratusan naskah.
Apa pandangan anda melihat perkembangan pengkajian manuskrip oleh para santri?
Sampai saat ini, saya melihat manuskrip atau naskah kuno itu baru digunakan sebatas legitimasi untuk melihat peran ulama. Ini baik sebagai langkah awal. Tetapi, naskah tersebut juga harus didekati dengan filologi. Filologi sebagai pintu utama untuk meneliti naskah tersebut agar tidak hanya konten yang bisa diserap, tetapi konteks dan keterhubungan dengan naskah lainnya bisa tercipta.
Lebih dari itu, jika tulisan hasil dari penelitian filologis itu dapat dikaitkan dengan permasalahan terkini, tentu ini memiliki nilai plus tersendiri. Tulislah dengan mengaitkan antara sejarah dengan konteks kekinian sehingga lahir solusi untuk permasalahan terkini.
Santri juga harus kritis melihat manuskrip milik kiainya atau naskah yang ada di pesantren. Belum tentu naskah yang ada di suatu pesantren itu milik atau karya pengasuh pesantrennya. Ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, tamu yang berkunjung ke pesantren tersebut. Kedua, hal yang sangat mungkin terjadi adalah tulisan santrinya. Hal tersebut disebabkan santri hampir meniru keseluruhan dari diri kiainya, mulai dari gaya tulisan atau jenis khat yang digunakannya, hingga gaya bahasa tulisannya. Santri ada kecenderungan mengikuti kiainya persis.
Apa cukup dengan mengkajinya tugas santri dalam pernaskahan itu selesai?
Orang-orang pesantren tidak cukup sampai mengkaji naskahnya. Lebih dari itu, mereka harus merawat fisik naskahnya. Naskah akan mudah rusak jika sering dibuka. Oleh karena itu, teknologi harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Artinya, naskah tersebut harus dialihmediakan dalam bentuk digital dengan dipotret. Dengan begitu, para pengkaji tidak lagi perlu untuk membuka-buka fisik naskahnya untuk dapat membaca naskah tersebut, tetapi cukup membuka melalui gawai.
Selain itu, Indonesia berada di atas lempengan bencana. Beberapa hari belakangan juga kita merasakan gempa terjadi berturut-turut. Hal ini memungkinkan akan menghilangkan jejak naskah kita. Naudzubillah min dzalik, misalkan tempat penyimpanan naskah tersebut roboh, terkena banjir, atau kebakaran, tentu jejak para pendahulu juga akan rusak, hanyut, atau terbakar. Digitalisasi naskah dapat mengamankan jejak tersebut, meski fisiknya mungkin akan rusak dimakan usia, misalnya.
Dengan terawatnya naskah, kita punya pegangan bukti atas jejak para pendahulu yang kita yakini kebenarannya. Tidak melulu menuntut penghapusan atas ketiadaan peran ulama dalam sejarah pendirian bangsa, misalnya. Karena sejarah itu tergantung pada siapa yang menulisnya.
Apakah sudah ada yang mendigitalisasi manuskrip pesantren?
Setahu saya, baru ada satu program digitalisasi naskah pesantren, yakni Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM) yang dimotori oleh Amiq Ahyad, dosen UIN Sunan Ampel. Program ini dilaksanakan di beberapa pesantren di Provinsi Jawa Timur dengan hasil 300-an naskah yang didigitalisasi.
Baru-baru ini PPIM UIN Jakarta dan CSMC Universitas Hamburg Jerman menginisiasi program digitalisasi manuskrip yang berada di wilayah Asia Tenggara dengan nama DREAMSEA. Ini mestinya disambut baik oleh kalangan pesantren guna menjaga warisan manuskrip keislaman pesantren dan Nusantara.
Bagaimana harusnya sikap pesantren terhadap manuskrip miliknya?
Tidak setiap santri menaruh ketertarikan dalam dunia pernaskahan. Oleh karena itu, pesantren harus membuka diri agar para pengkaji dari luar pesantren dapat mengakses naskah tersebut. Tidak ada ruginya. Jika pun hasil penelitiannya dipublikasi, pesantren atau tokoh yang dikaji itu juga yang akan naik. Hal ini tentu berdampak pada peningkatan martabat pesantren sebagai sebuah institusi keagamaan.
Kenapa para pemilik naskah menyimpan beberapa naskah tertentunya?
Naskah-naskah yang masuk dalam privasi pemiliknya biasanya mengandung isi yang kemungkinan sulit dipahami oleh khalayak sehingga akan sia-sia jika pun naskah tersebut diperlihatkan. Hal lain yang memungkinkan naskah tersebut tidak boleh diakses oleh khalayak adalah karena mengandung rahasia atau kepentingan pribadi yang sifatnya sanagat personal.
Terkait hal tersebut, saya punya kisah unik. Pernah suatu ketika, tim kami diminta untuk berpuasa selama 40 hari dan menyembelih binatang demi untuk mendapatkan akses naskah kuno yang diyakini oleh pemiliknya mengandung hal gaib karena tidak boleh diperlihatkan oleh orang lain. Mitos tersebut dipegang betul oleh pewaris naskahnya. Tetapi, setelah dibuka dan dibaca, naskah tersebut berisi catatan hutang. (*)
NU Online