Sumber: Kemendikbud |
Muhammad Syakir Niamillah Fiza
Dep. Bahasa dan Sastra
HMJ Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hadirnya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dapat mendorong perekonomian bangsa Indonesia. Tetapi bagaimana dengan bahasa kita? Melimpahnya bangsa asing yang bekerja di Indonesia tanpa adanya syarat dapat berbahasa Indonesia dapat mengancam kedaulatan kita dalam penggunaan bahasa Indonesia. Pemerintah dalam hal ini tidak mewajibkan mereka melewati tes UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia) dengan dalih demi cepat tumbuhnya perekonomian Indonesia.
Sosiologi Bahasa Indonesia
Globalisasi kembali memakan korban. Salah satunya adalah bahasa. Indonesia sebagai negara berdaulat dengan bahasa yang dimilikinya sendiri semakin ditinggalkan oleh seluruh warga lapisan masyarakat.
Hal ini diperparah dengan bahasa yang digunakan oleh tokoh masyarakat kita yang semakin mencerminkan ketidaksetiaan terhadap bahasa sendiri. Sampai pun presiden dalam pidato-pidatonya di luar negeri, dia menggunakan bahasa asing, bukan bahasa Indonesia. Padahal Undang-Undang No. 24 tahun 2009 Pasal 28 mengamanatkan bahwa Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain wajib menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya di dalam maupun di luar negeri.
Alif Danya Munsyi mengatakan banyak tokoh masyarakat kita yang memakai gincu nginggris. Mereka yang sering tampil di depan publik sering menggunakan bahasa yang tidak konsisten, mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris seolah itu keren. Padahal bahasa Indonesia memiliki padanan kata yang pas dengan bahasa Inggris yang mereka ucapkan itu.
Perilaku demikian menjadi pusat perhatian masyarakat sehingga mereka menirunya. Semakin tidak beraturanlah bahasa Indonesia kita dan semakin asinglah kosa kata bahasa Indonesia karena seringnya masyarakat menggunakan bahasa Inggris. Inilah yang perlu kita pikirkan. Bagaimana mengatasi agar bahasa Indonesia tidak asing bagi bangsanya sendiri?
Di atas baru disampaikan mengenai perkataan ataupun ucapan masyarakat. Kita belum masuk pada dunia tulis menulis. Di situ juga tidak kalah mengerikan pengikisannya. Saat ini banyak media yang menggunakan bahasa asing begitu saja meski bahasa Indonesia sendiri memiliki kosa kata yang sepadan maknanya. Selain itu, masyarakat pelajar pun masih banyak yang belum begitu menguasai kaidah penulisan berdasarkan EBI (Ejaan Bahasa Indonesia). Ini terbukti saat pembuatan makalah, banyak mahasiswa yang keteteran dan mendapat teguran.
Era modern ini benar-benar sudah menyumpahi sumpah pemuda pada tahun 1928 silam. Bahasa yang diimpikan menjadi sesuatu yang suci guna mempersatukan bangsa, kini malah dikotori oleh penggunanya sendiri dengan hadirnya gincu nginggris dan kealpaannya dalam memahami kaidah.
Ada yang salah dalam perencanaan bahasa kita sehingga demikian adanya. Oleh karena itu, kita perlu perencanaan yang matang agar bahasa Indonesia tidak terjajah oleh bahasa lain. Sampai saat ini juga, kita tak menampik bahwa bahasa Indonesia menyimpan banyak serapan, bahkan jauh lebih banyak daripada kaidah aslinya. Tapi para ahli telah memberikan ketetapan berupa aturan-aturan bahasa yang kita sebut kaidah itu. Itulah yang harus kita taati saat ini.
Keadaan ini diperparah dengan terpolarisasinya masyarakat menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah kelompok masyarakat kosmopolit, yaitu masyarakat yang terlena dalam realitas dunia yang serba modern. Mereka inilah masyarakat yang seperti disebutkan oleh Alif Danya Munsyi, yakni masyarakat yang bergincu nginggris.
Kedua adalah masyarakat sektarian yaitu masyarakat yang terjebak dalam komunalisme dengan cara pandang yang sempit dan bersifat lokal. Ini terjadi akibat ketidakmampuan mereka mengikuti desakan arus globalisasi. Mereka cenderung memandang perubahan dan globalisasi dunia sebagai ancaman yang mesti dijawab dengan sikap mengasingkan diri (asketisme), dengan cara kembali romantisme dan fanatisme sektarian yang berlebihan, seperti keangkuhan pada etnis, agama, dan kultur. Kelompok ini juga membawa bahasa asing yang bahasa Indonesia sendiri memiliki kosa kata padanannya.
Melihat dua kelompok besar ini ternyata bahasa dapat menghancurkan nasionalisme. Ketidakcintaan pada bahasa sendiri, atau taruhlah kecintaan terhadap bahasa asing melebihi kecintaan terhadap bahasa sendiri itu menjadi faktor ketidakcintaan pada budaya sehingga mengakibatkan cinta terhadap bangsa dan negara sendiri itu kian memudar.
Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi bergesernya bahasa kita adalah situasi kedwibahasaan atau kemultibahasaan kita. Sumarsono (1993: 3) menyatakan bahwa industrialisasi dan urbanisasi dipandang sebagai penyebab utama bergeser atau punahnya sebuah bahasa yang dapat berkait dengan keterpakaian praktis sebuah bahasa, efisiensi bahasa, mobilitas sosial, kemajuan ekonomi dan sebagainya. Faktor lain misalnya adalah jumlah penutur, konsentrasi pemukiman dan kepentingan politik.
Perubahan masyarakat agraris menjadi industrialis dengan hadirnya bangsa asing dengan membawa bahasanya masing-masing jelas termasuk apa yang dimaksudkan Sumarsono. Pernyataan Sumarsono tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ayatrohaedi. Awalnya bahasa tersebut digunakan oleh orang-orang pasar. Namun karena orientasi pendidikan berubah ke daerah perkotaan di Bandung, pada akhirnya bahasa Indonesia lebih dominan. Hanya terlihat satu dua saja anak-anak yang menggunakan bahasa Jawa Cirebon. Abdul Chaer mengambil kesimpulan dari penelitian Ayatohaedi, bahwa penggunaan B1 oleh sejumlah penutur dari suatu masyarakat yang bilingual atau multilingual cenderung menurun akibat adanya B2 yang mempunyai fungsi yang lebih superior.
Penggunaan bahasa Inggris di semua sisi tersebut menjadikan dirinya superior dan kian mengikis penggunaan bahasa Indonesia di kalangan masyarakat, terutama akademisi. Secara tidak langsung, sangat miris karena justru kalangan akademisi dan jalur pendidikan yang menjadi agen pertama pengikisan penggunaan bahasa Indonesia. Bukan tidak mungkin, bahasa Indonesia akan bernasib sama dengan penelitian yang dilakukan Ayatrohaedi tersebut.
Bahasa Indonesia dalam MEA
Kapan kita menjadi tuan di negeri sendiri? Bahkan ruang yang dulu masih bisa kita isi, kini telah penuh juga oleh bangsa asing. Kesepakatan antarnegara ASEAN satu dasawarsa lalu di Provinsi Bali akankah membawa maslahat atau justru membawa mafsadat bagi kita?
Melalui Permenaker No 16/2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA, pemerintah menghapus syarat berbahasa Indonesia bagi TKA yang ingin bekerja di Indonesia. Penghapusan keharusan berbahasa Indonesia bagi TKA ini tentu patut dikritisi, mengingat kebijakan ini sangat kontraproduktif bagi identitas bangsa dan nasib tenaga kerja lokal.
MEA bukan saja soal ekonomi. Tapi kebudayaan, meski tidak terlibat secara langsung, juga turut serta di dalamnya. Oleh karena itu, kita tidak bisa menafikan keberadaannya dalam masa bebasnya pertukaran bangsa ini. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Maka sudah sepatutnya pemerintah memikirkan juga hal ini di era kesepakatan itu. Kita tidak bisa membiarkan mereka bekerja di negara kita, tetapi dengan seenaknya berkomunikasi dengan kita menggunakan bahasa asing. Negara ini negara berdaulat, bukan negara bebas.
UKBI Menjawab MEA
Uji Kemahiran Bahasa Indonesia pertama kali digagas saat Kongres Bahasa Indonesia IV tahun 1983. Pada kongres selanjutnya, muncul gagasan tentang perlunya tes bahasa Indonesia yang standar. Baru pada awal tahun 1990-an melalui rangkaian instrumen evaluasi, lahirlah bayi yang dinamai Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI).
Meski sampai saat ini usianya sudah cukup matang, UKBI masih belum banyak dikenal oleh masyarakat. Tidak hanya orang-orang di lapisan bawah, bahkan pejabat pun tidak semuanya tahu. Sampaipun mahasiswa yang jurusan bahasa Indonesia, tidak banyak yang mengetahui mengenai UKBI ini.
Melihat statistik peserta dan perolehan nilainya yang diunggah Badan Bahasa cukup memprihatinkan. Bahkan dalam kurun waktu dua tahun terakhir semakin menurun, bukan malah meningkat. Berikut tabel presentase statistik yang diunggah Badan Bahasa dalam laman resminya.
Peserta yang mengikuti UKBI ternyata kurang dari 5000 orang. Bahkan turun setengahnya dua tahun terakhir. Selain itu, hasil yang didapatkan pun jauh dari kesempurnaan. Lebih banyak yang berada di tingkatan madya. Jarang sekali di tingkatan istimewa. Bahkan ada yang mendapatkan nilai di tingkat terbatas dan tidak ada yang mendapatkan istimewa.
Hal tersebut bukan tanpa sebab tentunya. Salah satu faktor di antaranya adalah tidak adanya kewajiban mengikuti atau mendapatkan sertifikat UKBI sebagai syarat berprofesi ataupun memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Seperti yang kita ketahui bersama, salah satu syarat melamar kerja pada profesi tertentu dan syarat lulus perguruan tinggi adalah menunjukkan sertifikat tes TOEFL dengan nilai minimum 450-550. Tidak heran bila masyarakat kini berlomba-lomba berbahasa Inggris demi posisi strategis.
Melihat TOEFL yang sangat superior dan dikejar-kejar oleh bangsa Indonesia, kita harus belajar darinya. Kita perlu menerapkan tes standar yang sejajar dengan kedudukan TOEFL sebagai syarat masuk kerja ataupun menempuh pendidikan tinggi. Hal ini penting dilakukan sebagai langkah membumikan bahasa Indonesia. Jika bahasa Indonesia telah menjadi syarat di semua lini, tentu banyak masyarakat kita, minimalnya, dan bangsa asing dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Hal ini akan otomatis menjaga kedaulatan bahasa Indonesia kita.
Pensyaratan UKBI dalam pekerjaan dan pendidikan tinggi, juga bagi bangsa asing yang akan bekerja di Indonesia, tentu akan memacu mereka untuk mempelajari bahasa Indonesia dengan serius agar mendapatkan nilai terbaik, atau minimalnya dapat memenuhi standar yang ditetapkan oleh lembaga yang ingin dimasukinya. Hal ini juga akan berdampak dalam kesehariannya, dalam komunikasi, presentasi, ataupun dalam kegiatan lainnya sehingga bahasa Indonesia dapat benar-benar terjaga kuat di bumi pertiwi.
Simpulan
UKBI sudah sangat wajib untuk ditetapkan sebagai syarat untuk melamar kerja dan memasuki jenjang perguruan tinggi. Ini sudah sangat darurat mengingat bangsa asing telah masuk dengan membawa bahasa masing-masing tanpa menggunakan bahasa Indonesia di negeri kita. Hal ini pun diperparah dengan gincu nginggris seperti yang disampaikan Alif Danya Munsyi. Apalagi hampir seluruh instansi pendidikan, perusahaan, dan lembaga-lembaga tertentu telah menetapkan hasil tes TOEFL sebagai syarat pemberkasan. Bahkan dalam wawancara pun, para pelamar pekerjaan juga diwajibkan berbahasa Inggris.
*Tulisan ini dikirimkan pada panitia Kongres V IMABSII di Untirta, Banten.