Our Feeds

Motto

Etik, Estetik, Puitik

Selamat Mengaji

Mengaji Sepanjang Hari

Sabtu, 26 Maret 2016

Syakir NF

Teror Hujatan

"Akulah Istri Teroris" oleh Abidah El Khalieqy

Praduga saya, membaca novel ini akan sangat seru dengan adanya pengejaran, pengeboman, dan cerita terorisme lainnya atau bahkan baku tembak yang sangat menegangkan. Saya salah sangka. Saya hanya terfokus pada kata Teroris di judulnya. Padahal sebelumnya ada kata Akulah Istri. Jadilah novel ini berkisah tentang kehidupan seorang istri teroris.

Eits, cerita tentang istrinya teroris juga tidak kalah seru dan menegangkan. Apalagi membaca ketegaran sikap tokoh utamanya yang dihujat habis-habisan oleh tetangganya. Kita bisa belajar banyak dari situ.

Melihat pakaian yang dikenakannya, langsung muncul stigma teroris di benak masyarakat. Begitulah yang digambarkan Abidah dalam karyanya ini. Tokoh utama berpakaian layaknya orang Arab, bercadar dan berpakaian longgar.

Suami Ayu, Ardianto, merupakan terduga teroris yang mati ditembak oleh satuan polisi saat ia salat di masjid Mujahidin. Penulis tidak langsung menceritakan asal mula Ardi ini ditembak mati. Bahkan dia membawa cerita itu ke mana-mana. Saya sebenarnya penasaran dengan sebabnya ia tertembak, tetapi justru tidak lagi mempedulikan itu karena terlalu asik dengan cerita percintaan Ayu dengan anggota Brimob, Bahrul Alam.

Bahrul Alam adalah ayahnya Aidil, temannya Aisyah anaknya Ayu. Keduanya sangat dekat karena hanya Aidil yang bisa jadi temannya Ayu, sementara teman yang lain selalu meledeknya dengan mengatakan anaknya tukang ngebom. Bahkan Aisyah tidak mau sekolah kalau tidak dengan Aidil dan ayahnya. Kesempatan itulah yang selalu digunakan Bahrul untuk bertemu ibunya Aisyah. Bahkan hubungan itu tidak saja antaranak, tapi merambat ke orangtuanya, yang satu janda dan yang satu lagi duda. Mereka akhirnya saling mencintai. Layaknya seorang remaja, Abidah menggambarkan percintaan keduanya yang dibumbui gombal dan kepenyairan yang mendadak. Kalau tak jumpa, sering kali mereka saling berhubungan melalui BBM atau bahkan telepon.

Dua kali Ayu lupa tak mengenakan cadar, hingga kecantikannya benar-benar terlihat oleh Bahrul. Hal ini menambah kecintaan Bahrul padanya. Kecantikannya digambarkan oleh kawan lamanya, Winda, seperti Kajol Devgan, aktris Bollywood. Ini dia yang kemudian dijadikan bahan yang pas untuk dimasak jadi gosip oleh Bigos (sebutan Ayu dan Bahrul untuk Bu Murti yang suka menggosipi mereka). Mereka menganggap, Ayu rela membuka cadarnya demi pacarnya yang anggota polisi itu. Bahkan anggapan itu semakin berkembang. Ayu malah dituduh oleh para penggosip itu membunuh suaminya sendiri dengan menyuruh Bahrul untuk menembaknya demi cintanya dengan Bahrul.

Saya semakin terlupakan dengan sebab ditembaknya Ardi karena pencarian jodoh untuk Ayu itu semakin ditambah dengan hadirnya Mahmud, teman lama Ayu yang menduda akibat istrinya yang meninggal sebab kanker payudara. Sebelumnya, bahkan kawan akrab lamanya, Winda, datang jauh-jauh dari Poso bersama suami, Ustadz Bahri, dan anaknya, Khadijah, selain bermaksud untuk silaturahmi dan turut berbela sungkawa, tetapi juga untuk mencarikan jodoh yang minimal sederajat dengan Ardi, sang mujahid.

Yang paling nyata selain hubungan percintaan Ayu dan Bahrul adalah hujatan tetangganya yang sangat luar biasa menghujamkan hujatan tanpa henti. Hebatnya, Ayu selalu menghadapinya dengan tanpa amarah sedikitpun meski hakekatnya sudah memuncak. Tapi itu hanya sampai di hatinya saja, tak sempat terucapkan, kecuali saat ia mengadu ke Bahrul dan saat ia mendengarnya langsung di suatu acara arisan. Di tengah memuncaknya hujatan-hujatan itu, Abidah memunculkan tokoh Bu Hana dan Bu Tati yang tidak berpikiran negatif terhadap Ayu, apalagi sampai menghujatnya. Mereka hadir sebagai penyejuk di tengah panasnya konflik tersebut. Di sini, rupanya penulis ingin menampilkan kuatnya kesabaran tokoh utama dalam menghadapi setiap konflik yang ada. Bahkan sampai akhir cerita pun, tidak diceritakan Ayu memilih siapa sebagai pendampingnya, justru malah fokus untuk kuliah dan menjalankan bisnis barunya.

Bahasa dan Kaidahnya

Ada banyak yang saya sesalkan dalam novel ini, terutama terkait penulisan dan pemilihan bahasa. Penulis lebih memilih kosa kata bahasa asing tenimbang bahasa Indonesia yang padahal ada yang semakna. Misal, penulis lebih memilih kata smart daripada pintar. Penulis juga memilih kata yang tidak baku, seperti tilpun padahal ada yang bakunya yakni telepon. Hal ini diperparah dengan tidak dimiringkannya kata-kata tersebut, semakin merasa kesal saat membacanya.

Selain itu, penulisan angka tunggal dengan simbol, bukan dengan kata. Padahal seharusnya dengan kata, seperti angka “2”, dalam penulisan harusnya dituliskan “dua”, bukan dengan simbol angkanya. Tetapi ada juga yang dituliskan dengan kata. Di sini timbul ketidakajegan penulis dalam menulis ataupun ini juga bisa kita limpahkan kesalahannya pada editor. Terlepas dari ada maksud tertentu atau tidak, pelanggaran kaidah dalam hal ini tidak dibenarkan.

Dalam novel tersebut juga masih banyak terdapat kesalahan penulisan. Bahkan ada salah satu yang saya anggap kesalahannya fatal, yakni sub judul Wildadun Mukhalladun, padahal yang benar adalah Wildanun Mukhalladun. Meskipun pada isi sub judul tersebut ada yang benar penulisannya, tetapi masih terdapat juga kesalahannya. Bagi pembaca awam, ini dapat menimbulkan kebingungan.

Muhammad Syakir Niamillah

Ciputat, 26 Maret 2016

Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »