"Akulah Istri Teroris" oleh Abidah El Khalieqy |
Praduga saya, membaca novel ini akan sangat seru dengan adanya
pengejaran, pengeboman, dan cerita terorisme lainnya atau bahkan baku tembak yang sangat menegangkan. Saya salah sangka. Saya hanya terfokus
pada kata Teroris di judulnya. Padahal sebelumnya ada kata Akulah
Istri. Jadilah novel ini berkisah tentang kehidupan seorang istri teroris.
Eits, cerita tentang istrinya teroris juga tidak kalah seru
dan menegangkan. Apalagi membaca ketegaran sikap tokoh utamanya yang dihujat
habis-habisan oleh tetangganya. Kita bisa belajar banyak dari situ.
Melihat pakaian yang dikenakannya, langsung muncul stigma teroris
di benak masyarakat. Begitulah yang digambarkan Abidah dalam karyanya ini.
Tokoh utama berpakaian layaknya orang Arab, bercadar dan berpakaian longgar.
Suami Ayu, Ardianto, merupakan terduga teroris yang mati ditembak
oleh satuan polisi saat ia salat di masjid Mujahidin. Penulis tidak langsung
menceritakan asal mula Ardi ini ditembak mati. Bahkan dia membawa cerita itu ke
mana-mana. Saya sebenarnya penasaran dengan sebabnya ia tertembak,
tetapi justru tidak lagi mempedulikan itu karena terlalu
asik dengan cerita percintaan Ayu dengan anggota
Brimob, Bahrul Alam.
Bahrul Alam adalah ayahnya Aidil, temannya Aisyah anaknya Ayu.
Keduanya sangat dekat karena hanya Aidil yang bisa jadi temannya Ayu, sementara
teman yang lain selalu meledeknya dengan mengatakan anaknya tukang ngebom.
Bahkan Aisyah tidak mau sekolah kalau tidak dengan Aidil dan ayahnya.
Kesempatan itulah yang selalu digunakan Bahrul untuk bertemu ibunya Aisyah.
Bahkan hubungan itu tidak saja antaranak, tapi merambat ke orangtuanya, yang
satu janda dan yang satu lagi duda. Mereka akhirnya saling mencintai. Layaknya
seorang remaja, Abidah menggambarkan percintaan keduanya yang dibumbui gombal
dan kepenyairan yang mendadak. Kalau tak jumpa, sering kali mereka saling
berhubungan melalui BBM atau bahkan telepon.
Dua kali Ayu lupa tak mengenakan cadar, hingga kecantikannya
benar-benar terlihat oleh Bahrul. Hal ini menambah kecintaan Bahrul padanya.
Kecantikannya digambarkan oleh kawan lamanya, Winda, seperti Kajol Devgan,
aktris Bollywood. Ini dia yang kemudian dijadikan bahan yang pas untuk dimasak
jadi gosip oleh Bigos (sebutan Ayu dan Bahrul untuk Bu Murti yang suka
menggosipi mereka). Mereka menganggap, Ayu rela membuka cadarnya demi pacarnya yang anggota
polisi itu. Bahkan anggapan itu semakin berkembang. Ayu malah dituduh oleh para
penggosip itu membunuh suaminya sendiri dengan menyuruh Bahrul untuk
menembaknya demi cintanya dengan Bahrul.
Saya semakin terlupakan dengan sebab
ditembaknya Ardi karena pencarian jodoh untuk Ayu itu semakin ditambah dengan
hadirnya Mahmud, teman lama Ayu yang menduda akibat istrinya yang meninggal
sebab kanker payudara. Sebelumnya, bahkan kawan akrab lamanya, Winda, datang
jauh-jauh dari Poso bersama suami, Ustadz Bahri, dan anaknya, Khadijah, selain
bermaksud untuk silaturahmi dan turut berbela sungkawa, tetapi juga untuk
mencarikan jodoh yang minimal sederajat dengan Ardi, sang mujahid.
Yang paling nyata selain hubungan percintaan
Ayu dan Bahrul adalah hujatan tetangganya yang sangat luar biasa menghujamkan hujatan tanpa henti. Hebatnya, Ayu selalu menghadapinya dengan tanpa amarah sedikitpun
meski hakekatnya sudah memuncak. Tapi itu hanya sampai di hatinya saja, tak
sempat terucapkan, kecuali saat ia mengadu ke Bahrul dan saat ia mendengarnya
langsung di suatu acara arisan. Di tengah memuncaknya hujatan-hujatan itu,
Abidah memunculkan tokoh Bu Hana dan Bu Tati yang tidak berpikiran negatif
terhadap Ayu, apalagi sampai menghujatnya. Mereka hadir sebagai penyejuk di
tengah panasnya konflik tersebut. Di sini, rupanya penulis ingin menampilkan
kuatnya kesabaran tokoh utama dalam menghadapi setiap konflik yang ada. Bahkan sampai akhir cerita pun, tidak diceritakan Ayu memilih siapa
sebagai pendampingnya, justru malah fokus untuk kuliah dan menjalankan bisnis
barunya.
Bahasa dan Kaidahnya
Ada banyak yang saya sesalkan dalam novel ini,
terutama terkait penulisan dan pemilihan bahasa. Penulis lebih memilih kosa
kata bahasa asing tenimbang bahasa Indonesia yang padahal ada yang
semakna. Misal, penulis lebih memilih kata smart daripada pintar.
Penulis juga memilih kata yang tidak baku, seperti tilpun padahal ada
yang bakunya yakni telepon. Hal ini diperparah dengan tidak dimiringkannya
kata-kata tersebut, semakin merasa kesal saat membacanya.
Selain itu, penulisan angka tunggal dengan
simbol, bukan dengan kata. Padahal seharusnya dengan kata, seperti angka “2”,
dalam penulisan harusnya dituliskan “dua”, bukan dengan simbol angkanya. Tetapi
ada juga yang dituliskan dengan kata. Di sini timbul ketidakajegan penulis
dalam menulis ataupun ini juga bisa kita limpahkan kesalahannya pada editor.
Terlepas dari ada maksud tertentu atau tidak, pelanggaran kaidah dalam hal ini
tidak dibenarkan.
Dalam novel tersebut juga masih banyak terdapat kesalahan
penulisan. Bahkan ada salah satu yang saya anggap kesalahannya fatal, yakni sub
judul Wildadun Mukhalladun, padahal yang benar adalah Wildanun
Mukhalladun. Meskipun pada isi sub judul tersebut ada yang benar
penulisannya, tetapi masih terdapat juga kesalahannya. Bagi pembaca awam, ini
dapat menimbulkan kebingungan.
Muhammad Syakir Niamillah
Ciputat, 26 Maret 2016