Kukira, dokter itu
pahlawan bagi segenap pasiennya. Dengan tangannya, orang-orang dituntun dari
masa-masa kritisnya menuju kesehatan yang prima. Dengan resep obat yang
diberikannya, orang-orang bisa kembali menjalani kesehariannya seperti sedia
kala sebelum sakit datang menghampirinya. Dengan keikhlasannya, pasien lekas
sembuh dari pelbagai penyakit yang menghinggapinya. Namun, semua itu tidak
berlaku bagi Risma.
Angin mengalir
semilir, rimbun dedaunan menari-nari. Mentari bersinar terik jum’at pagi itu.
Seperti biasa, pukul 07.45 Risma telah sampai di kampus. Seperempat jam sebelum
perkuliahan dimulai. Ya, dia anak yang rajin. Selalu datang sebelum perkuliahan
dimulai. Aku sendiri seringkali datang hampir berbarengan dengan dosen. Dia
juga mahasiswi yang aktif. Aktif bicara di setiap diskusi dan kajian, juga
aktif berorganisasi.
Mata kuliah pagi
itu Landasan Pendidikan. Saat itu, perkuliahan diisi dengan diskusi tentang
hasil pemikiran pendidikan oleh ilmuwan barat, mana yang cocok untuk diterapkan
di negara kita? Diskusi ramai dengan argumen-argumen pribadi masing-masing
mahasiswa di kelas. Ada yang lebih mengunggulkan pendapatnya Paulo Freire
karena berpihak kepada rakyat kecil. “Seperti kita-kita.” katanya. Ada lagi
yang lebih memilih pendapatnya John Dewey, karena pendidikan itu harus melihat
peserta didik dari segi kejiwaan dan lingkungannya. Berbeda dengan sebelumnya,
aku lebih memilih pendapatnya Benjamin S. Bloom, karena melihat peserta didik
tidak hanya satu sisi, tetapi dari tiga sisi sekaligus, yakni afektif, kognitif
dan psikomotorik. Teman-teman yang lain ada juga yang memilih pendapat dari
ilmuwan yang sama tetapi dengan alasan yang berbeda.
Riuh celoteh
diskusi pagi itu hampa di telinga Risma. Dia hanya memandang kosong ke tengah
lingkaran diskusi itu. Sendiri di tengah keramaian. Entah apa yang ada di
benaknya. Tak seperti biasanya yang selalu mengacungkan tangan untuk
menyampaikan pendapat dengan jelas, lugas dan alasan yang cukup kuat.
Mentari beranjak
naik ke titik zenit. Panasnya mengalirkan bulir-bulir keringat dari
pori-poriku. Mungkin yang lain juga sama, merasa gerah dengan suasana yang
panas ini. Padahal, seharusnya ini musim hujan. Tapi, entah kenapa belum juga
turun hujan.
Setiba Risma di
kosan, ia langsung mempersiapkan pakaian yang akan dibawa menuju Bogor. Di
sana, dia bersama teman-teman organisasinya, termasuk aku, akan mengadakan
santunan untuk anak-anak yatim.
Waktu terasa cepat
berlalu, senja telah menjelang di ufuk barat. Jingganya membuat siapa saja
penikmatnya terpesona. Ditambah semilir angin yang mengalir lembut, jiwa-jiwa
semakin hanyut akan keindahan Sang Pencipta. Dari sudut kampus, Risma mencoba
menikmati lebih dalam keindahan Tuhan dengan senjaNya. Terlihat dari matanya
yang tak kunjung berkedip. Tarikan napasnya diatur sedemikian rupa sehingga menambah
kenikmatan pandangannya. Senyum tak kunjung lepas dari bibirnya, berkat
keindahan tiada kira yang menjamah matanya.
Lima motor telah
menderu mesinnya. 5 mahasiswa dan 5 mahasiswi telah memakai helm. Semua telah
siap berangkat. Risma duduk di belakang Pandi. Aku sendiri bersama Farhah.
Teman-teman yang lain juga berpasangan. 2 jarum jam di tanganku menginjak angka
6. Pada saat itulah, 5 motor itu melaju meninggalkan kampus. Macet, kanan-kiri
semuanya kendaraan. Tapi, pengendara-pengendara motor selalu bertingkah, melaju
di tengah himpitan mobil-mobil. Rawan sekali kecelakaan. Namun bagi para
pengendara itu, waktu menjadi alasan utama untuk cepat sampai di tempat tujuan.
Walaupun dengan mengorbankan keselamatan.
Di tengah
perjalanan, adzan maghrib berkumandang. Pimpinan rombongan yang melaju di depan,
mencari pom bensin. Bukan untuk mengisi bahan bakar, melainkan untuk menunaikan
sholat.
Tidak ada ular kendaraan
di pom bensin yang kami hampiri. Ya, BBM masih tersedia banyak dan harga pun
tidak lagi menjadi permasalahan yang dibesar-besarkan seperti beberapa bulan
yang lalu. Sesampainya di pom bensin itu, Risma tampak tidak lekas mengambil
wudlu. “aku sedang datang bulan.” Katanya. Risma sendiri di luar musholla,
menjaga barang-barang yang mungkin bisa saja dijarah oleh orang-orang yang jail
dan tak bertanggungjawab. Aku dan teman-teman yang lain sholat berjama’ah.
Seusai sholat,
kami langsung melaju lagi dengan motor masing-masing, meninggalkan pom bensin
itu menuju tempat santunan. Jalanan ramai lancar, membuat rombongan
memberanikan diri mengatur kecepatannya di atas rata-rata.
Posisiku di
belakang Pandi. Terkadang, kecepatan motor kunaikkan sehingga menyalip Pandi. “huww.
Kebalap, huww” ledek Farhah kepada Risma. Yang diledek hanya tersenyum tipis.
Namun Pandi menambah kecepatan motornya, hingga aku dan Farhah kembali di
belakangnya.
Angin malam mulai
berhembus kencang, sampai menembus jaket yang kupakai dan helm yang kukenakan.
Rembulan bersinar penuh. Hari begitu cerah. Bintang mulai genit, saling
berkedip. Farhah rupanya mengantuk. Terbaca dari gelagatnya, kepalanya
tiba-tiba bersandar ke punggungku. Bahkan ia berpegang erat pada jaket yang
kukenakan. Berbeda dengan Farhah, kulihat Risma tak berpegangan pada badan
motor ataupun jaket yang dikenakan Pandi.
Pandi melaju cepat
di belakang mobil yang sama cepatnya pula. Seketika mobil di depannya berhenti
mendadak. Motor Pandi lepas kendali, dan...
“Brakk!!!.”
Waktu menunjuk
pukul 7 lewat 15 menit, adzan isya menggema dari masjid-masjid.
Risma terpental ke
tengah jalan. Aku yang di belakangnya langsung menghentikan sepeda motorku. Tak
peduli menghalangi laju mobil-mobil di jalan raya itu. Suara klakson
bersahutan. Seketika jalanan ramai dengan jeritan klakson. Desing mesin kalah
nyaring.
“Tin! Tin!”
“Pim! Pim!”
Entahlah bunyinya
seperti apa, sementara aku bergegas lari menuju Risma yang tergolek tak berdaya
di tengah jalan, Farhah masih duduk diam di atas motor. Kantuk yang
menyerangnya membuat ia tak mengetahui apa yang sedang dialami karibnya.
Pandi tak mampu
berpindah dari tempatnya, di pinggir trotoar. Kulihat sepeda motor yang
dikemudikannya menindihinya.
“Masya Allah
Risma” teriakku. Darah bercecaran di muka jalan, begitupula di muka Risma
sendiri. Helm yang dipakainya terlepas dari kepalanya, dan kepalanya menghantam
aspal jalanan begitu keras, hingga darah tak lagi dapat bertahan di kepalanya,
keluar mengalir.
Teman-teman yang
lain juga langsung menghentikan motornya di pinggir jalan. Setelah mendengar
suara aneh (seperti hantaman kendaraan) dari depan atau belakang mereka. Mereka
lari, ada yang menuju Risma, ada pula yang menuju Pandi.
Aku langsung
hentikan taksi yang kebetulan lewat, seketika aku dan Raihan yang baru saja
tiba, membawa Risma masuk ke taksi. Aku turut di dalamnya langsung menuju rumah
sakit terdekat. Entah bagaimana keadaan Pandi saat itu. Tanganku berubah merah,
penuh darah. Mata Risma tak lagi terbuka. Sempurna tertutup. Kupegang
tangannya, denyut nadi masih terasa. Namun aku tetap khawatir dengan
keadaannya. Aku terus memanggil-manggil namanya, mencoba tuk membangunkannya.
Namun nihil. Tak ada respon darinya.
Taksi langsung
berhenti di depan UGD, aku langsung bawa lari Risma masuk ruang UGD, tanpa alat
bantu apapun. Perawat datang langsung melaksanakan tugasnya, namun tetap saja
perawat, tidak seahli dokter.
“Mba, mana
dokternya?’ tanyaku dengan nada tinggi.
“Semua dokter
sedang mogok kerja, dengan alasan bentuk toleransi terhadap sesama dokter yang
divonis penjara oleh Mahkamah Agung karena dianggap lalai sehingga
mengakibatkan meninggalnya seorang pasien.” Jawabnya.
Salah apa Risma dan
pasien-pasien yang lain sehingga ditelantarkan begitu saja? Aku tak habis
pikir.
Aku disuruh
meninggalkan ruang tindakan, menunggu di luar ruangan. Semakin gelisah saja aku.
Sendiri kebingungan tak mengerti apa yang harus dilakukan. Mau menghubungi kerabat,
namun ponselku tertinggal di tas. Sedangkan tasnya tak terpikirkan untuk dibawa
mengingat kritisnya Risma. Dalam hati terus berdoa, semoga tidak terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan.
Perawat keluar
dengan wajah lusuh, mengguratkan kabar kesedihan. Buru-buru aku langsung
bertanya, “gimana suster keadaan Risma? Baik-baik saja kan?”. Perawat itu hanya
menggelengkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku. Aku tak lagi
butuh penjelasan perawat itu, bergegas aku menuju ruang UGD. Dan...
“Innaa lillaahi
wa innaa ilaihi raji’un”, teriakku menggema di ruangan itu.
Muhammad Syakir Niamillah
Ciputat, penghujung November 2013
Cerpen ini pernah dimuat di sini