Our Feeds

Motto

Etik, Estetik, Puitik

Selamat Mengaji

Mengaji Sepanjang Hari

Kamis, 25 Februari 2016

Syakir NF

Tidak bagi Risma


           Kukira, dokter itu pahlawan bagi segenap pasiennya. Dengan tangannya, orang-orang dituntun dari masa-masa kritisnya menuju kesehatan yang prima. Dengan resep obat yang diberikannya, orang-orang bisa kembali menjalani kesehariannya seperti sedia kala sebelum sakit datang menghampirinya. Dengan keikhlasannya, pasien lekas sembuh dari pelbagai penyakit yang menghinggapinya. Namun, semua itu tidak berlaku bagi Risma.
          Angin mengalir semilir, rimbun dedaunan menari-nari. Mentari bersinar terik jum’at pagi itu. Seperti biasa, pukul 07.45 Risma telah sampai di kampus. Seperempat jam sebelum perkuliahan dimulai. Ya, dia anak yang rajin. Selalu datang sebelum perkuliahan dimulai. Aku sendiri seringkali datang hampir berbarengan dengan dosen. Dia juga mahasiswi yang aktif. Aktif bicara di setiap diskusi dan kajian, juga aktif berorganisasi.
            Mata kuliah pagi itu Landasan Pendidikan. Saat itu, perkuliahan diisi dengan diskusi tentang hasil pemikiran pendidikan oleh ilmuwan barat, mana yang cocok untuk diterapkan di negara kita? Diskusi ramai dengan argumen-argumen pribadi masing-masing mahasiswa di kelas. Ada yang lebih mengunggulkan pendapatnya Paulo Freire karena berpihak kepada rakyat kecil. “Seperti kita-kita.” katanya. Ada lagi yang lebih memilih pendapatnya John Dewey, karena pendidikan itu harus melihat peserta didik dari segi kejiwaan dan lingkungannya. Berbeda dengan sebelumnya, aku lebih memilih pendapatnya Benjamin S. Bloom, karena melihat peserta didik tidak hanya satu sisi, tetapi dari tiga sisi sekaligus, yakni afektif, kognitif dan psikomotorik. Teman-teman yang lain ada juga yang memilih pendapat dari ilmuwan yang sama tetapi dengan alasan yang berbeda.
            Riuh celoteh diskusi pagi itu hampa di telinga Risma. Dia hanya memandang kosong ke tengah lingkaran diskusi itu. Sendiri di tengah keramaian. Entah apa yang ada di benaknya. Tak seperti biasanya yang selalu mengacungkan tangan untuk menyampaikan pendapat dengan jelas, lugas dan alasan yang cukup kuat.
            Mentari beranjak naik ke titik zenit. Panasnya mengalirkan bulir-bulir keringat dari pori-poriku. Mungkin yang lain juga sama, merasa gerah dengan suasana yang panas ini. Padahal, seharusnya ini musim hujan. Tapi, entah kenapa belum juga turun hujan.
            Setiba Risma di kosan, ia langsung mempersiapkan pakaian yang akan dibawa menuju Bogor. Di sana, dia bersama teman-teman organisasinya, termasuk aku, akan mengadakan santunan untuk anak-anak yatim.
            Waktu terasa cepat berlalu, senja telah menjelang di ufuk barat. Jingganya membuat siapa saja penikmatnya terpesona. Ditambah semilir angin yang mengalir lembut, jiwa-jiwa semakin hanyut akan keindahan Sang Pencipta. Dari sudut kampus, Risma mencoba menikmati lebih dalam keindahan Tuhan dengan senjaNya. Terlihat dari matanya yang tak kunjung berkedip. Tarikan napasnya diatur sedemikian rupa sehingga menambah kenikmatan pandangannya. Senyum tak kunjung lepas dari bibirnya, berkat keindahan tiada kira yang menjamah matanya.
            Lima motor telah menderu mesinnya. 5 mahasiswa dan 5 mahasiswi telah memakai helm. Semua telah siap berangkat. Risma duduk di belakang Pandi. Aku sendiri bersama Farhah. Teman-teman yang lain juga berpasangan. 2 jarum jam di tanganku menginjak angka 6. Pada saat itulah, 5 motor itu melaju meninggalkan kampus. Macet, kanan-kiri semuanya kendaraan. Tapi, pengendara-pengendara motor selalu bertingkah, melaju di tengah himpitan mobil-mobil. Rawan sekali kecelakaan. Namun bagi para pengendara itu, waktu menjadi alasan utama untuk cepat sampai di tempat tujuan. Walaupun dengan mengorbankan keselamatan.
            Di tengah perjalanan, adzan maghrib berkumandang. Pimpinan rombongan yang melaju di depan, mencari pom bensin. Bukan untuk mengisi bahan bakar, melainkan untuk menunaikan sholat.
            Tidak ada ular kendaraan di pom bensin yang kami hampiri. Ya, BBM masih tersedia banyak dan harga pun tidak lagi menjadi permasalahan yang dibesar-besarkan seperti beberapa bulan yang lalu. Sesampainya di pom bensin itu, Risma tampak tidak lekas mengambil wudlu. “aku sedang datang bulan.” Katanya. Risma sendiri di luar musholla, menjaga barang-barang yang mungkin bisa saja dijarah oleh orang-orang yang jail dan tak bertanggungjawab. Aku dan teman-teman yang lain sholat berjama’ah.
            Seusai sholat, kami langsung melaju lagi dengan motor masing-masing, meninggalkan pom bensin itu menuju tempat santunan. Jalanan ramai lancar, membuat rombongan memberanikan diri mengatur kecepatannya di atas rata-rata.
            Posisiku di belakang Pandi. Terkadang, kecepatan motor kunaikkan sehingga menyalip Pandi. “huww. Kebalap, huww” ledek Farhah kepada Risma. Yang diledek hanya tersenyum tipis. Namun Pandi menambah kecepatan motornya, hingga aku dan Farhah kembali di belakangnya.
            Angin malam mulai berhembus kencang, sampai menembus jaket yang kupakai dan helm yang kukenakan. Rembulan bersinar penuh. Hari begitu cerah. Bintang mulai genit, saling berkedip. Farhah rupanya mengantuk. Terbaca dari gelagatnya, kepalanya tiba-tiba bersandar ke punggungku. Bahkan ia berpegang erat pada jaket yang kukenakan. Berbeda dengan Farhah, kulihat Risma tak berpegangan pada badan motor ataupun jaket yang dikenakan Pandi.
            Pandi melaju cepat di belakang mobil yang sama cepatnya pula. Seketika mobil di depannya berhenti mendadak. Motor Pandi lepas kendali, dan...
            “Brakk!!!.”
            Waktu menunjuk pukul 7 lewat 15 menit, adzan isya menggema dari masjid-masjid.
            Risma terpental ke tengah jalan. Aku yang di belakangnya langsung menghentikan sepeda motorku. Tak peduli menghalangi laju mobil-mobil di jalan raya itu. Suara klakson bersahutan. Seketika jalanan ramai dengan jeritan klakson. Desing mesin kalah nyaring.
            “Tin! Tin!”
            “Pim! Pim!”
            Entahlah bunyinya seperti apa, sementara aku bergegas lari menuju Risma yang tergolek tak berdaya di tengah jalan, Farhah masih duduk diam di atas motor. Kantuk yang menyerangnya membuat ia tak mengetahui apa yang sedang dialami karibnya.
            Pandi tak mampu berpindah dari tempatnya, di pinggir trotoar. Kulihat sepeda motor yang dikemudikannya menindihinya.
            “Masya Allah Risma” teriakku. Darah bercecaran di muka jalan, begitupula di muka Risma sendiri. Helm yang dipakainya terlepas dari kepalanya, dan kepalanya menghantam aspal jalanan begitu keras, hingga darah tak lagi dapat bertahan di kepalanya, keluar mengalir.
            Teman-teman yang lain juga langsung menghentikan motornya di pinggir jalan. Setelah mendengar suara aneh (seperti hantaman kendaraan) dari depan atau belakang mereka. Mereka lari, ada yang menuju Risma, ada pula yang menuju Pandi.
            Aku langsung hentikan taksi yang kebetulan lewat, seketika aku dan Raihan yang baru saja tiba, membawa Risma masuk ke taksi. Aku turut di dalamnya langsung menuju rumah sakit terdekat. Entah bagaimana keadaan Pandi saat itu. Tanganku berubah merah, penuh darah. Mata Risma tak lagi terbuka. Sempurna tertutup. Kupegang tangannya, denyut nadi masih terasa. Namun aku tetap khawatir dengan keadaannya. Aku terus memanggil-manggil namanya, mencoba tuk membangunkannya. Namun nihil. Tak ada respon darinya.
            Taksi langsung berhenti di depan UGD, aku langsung bawa lari Risma masuk ruang UGD, tanpa alat bantu apapun. Perawat datang langsung melaksanakan tugasnya, namun tetap saja perawat, tidak seahli dokter.
            “Mba, mana dokternya?’ tanyaku dengan nada tinggi.
            “Semua dokter sedang mogok kerja, dengan alasan bentuk toleransi terhadap sesama dokter yang divonis penjara oleh Mahkamah Agung karena dianggap lalai sehingga mengakibatkan meninggalnya seorang pasien.” Jawabnya.
            Salah apa Risma dan pasien-pasien yang lain sehingga ditelantarkan begitu saja? Aku tak habis pikir.
            Aku disuruh meninggalkan ruang tindakan, menunggu di luar ruangan. Semakin gelisah saja aku. Sendiri kebingungan tak mengerti apa yang harus dilakukan. Mau menghubungi kerabat, namun ponselku tertinggal di tas. Sedangkan tasnya tak terpikirkan untuk dibawa mengingat kritisnya Risma. Dalam hati terus berdoa, semoga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
            Perawat keluar dengan wajah lusuh, mengguratkan kabar kesedihan. Buru-buru aku langsung bertanya, “gimana suster keadaan Risma? Baik-baik saja kan?”. Perawat itu hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku. Aku tak lagi butuh penjelasan perawat itu, bergegas aku menuju ruang UGD. Dan...
            “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji’un”, teriakku menggema di ruangan itu.


Muhammad Syakir Niamillah
Ciputat, penghujung November 2013
Cerpen ini pernah dimuat di sini

Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »