“Kamu sore ini nanti ke Jalan Amil, Pejaten Barat. Dari Lebak Bulus
kamu naik kopaja P 20 nanti turun di halte buncit indah. Setelah itu kamu jalan
aja ke arah kanan dari halte. Nanti kirim pesan aja ke saya atau telepon kalau
sudah sampai”.
Begitulah pesan yang dikirim sopir pribadi kiai. Dia mengabarkanku
untuk datang membantu dan mendampingi kiai saat di Jakarta.
“Nggih”, begitulah pesan yang saya kirim sebagai jawaban
singkat. Saya tak perlu bertanya ada perlu apa. Saya pun saat itu sedang tidak
memiliki uang sama sekali, meski hanya untuk ongkos ke Pejaten. Iya. Beasiswa saya
belum turun beberapa bulan. Saya pun terpaksa, untuk makan sehari-hari harus
meminjam ke teman-teman dengan jaminan uang beasiswa saya yang (mungkin) akan
cair langsung dirapel beberapa bulan. Namun saya tidak menjadikan itu sebagai
alasan untuk menolak undangan kiai. Ini adalah sebagai wujud khidmat kepada
seorang guru. Kewajibanku hanya manut saja. Saya yakin, kalaupun tidak
sekarang, nanti akan dapat berkahnya. Kiai pernah dawuh dalam suatu pengajian
yang pernah saya ikuti saat saya masih di pesantren dulu, kalau tidak salah,
saat itu saya masih kelas satu tsanawiyah, masih hangat menjadi santri,
“Barokah atau yang biasa kalian sebut berkah itu artinya adalah ziyadatul
khoir, tambahnya kebaikan”, begitu dawuh beliau. Aku masih sangat ingat
beliau berbicara di depan ratusan santrinya saat itu.
“Yu, bisa pinjam uang lagi gak? Untuk ongkos ke Pejaten saja”, pinta
saya dengan memelas.
“Emang ada apa di Pejaten?”
“Ada kiaiku Yu. Tolong banget. Saya dipanggil beliau.”
Wahyu mengeluarkan dompet hitamnya yang terlihat tetap baru
semenjak saya lihat pertama setahun lalu ketika perkenalan di masa awal kuliah.
“Berapa?” tanya Wahyu.
“Saya gak tahu Yu. Yang penting ongkos ke sana aja. Soalnya saya
juga belum pernah ke sana”
“Terus pulangnya bagaimana?”
“Ya, maksudnya sekalian, pulang pergi gitu.”
Wahyu selalu berbaik hati meminjamkan jatah
jajan dari orangtuanya yang kaya itu untuk saya. Dia
pun hampir tak pernah menagih uangnya kembali. Asal alasannya jelas untuk
kebaikan, dia tak pernah keberatan untuk memberikan atau meminjamkan uang sakunya
ke temannya. Selagi masih ada untuk dirinya, kenapa tidak? Begitulah pikirnya.
Tapi, saya selalu mengingat hutang-hutangku. Jumlahnya pun sangat saya ingat.
Pokoknya, kalau nanti cair, saya harus segera menggantinya, meski sepertinya Wahyu
pun tak menagih atau bahkan tak membutuhkannya.
***
Malam itu bulan bersinar penuh. Langit pun sangat cerah. Terlihat
bintang-bintang saling berkedipan. Berbeda dengan perasaanku yang keruh. Saya
bingung, ke mana saya harus melangkah atau jalan mana yang saya harus pilih. Saya
masih memandang langit sembari terus berpikir tak jelas ke mana arahnya.
“Hayo!!!”, Ahmad mengagetkanku sembari kedua tangannya menepuk
pundakku keras-keras.
“Lagi mikirin siapa sih? Hani yah? Atau Via yang putri kiai Basyar
itu?”
“Apaan sih. Sudahlah. Tugas kita di sini itu ngaji dan manut kiai.
Itu saja. Ngomongin perempuan.”
“Eh, iya. Ngomong-ngomong tentang kiai, kamu dipanggil beliau. Sore
tadi aku bertemu beliau dan minta kamu menghadapnya”
“Kenapa gak bilang dari tadi?!”, ucapku sembari melangkah meninggalkan
Ahmad. Kini dia yang gantian memandangi langit.
Saya duduk berlutut sembari
kepala terus menunduk penuh takzim. Tak berani sebutir huruf pun saya ucap
sebelum saya diminta bicara oleh kiai.
Beliau menanyakan perihal pengajian-pengajian yang telah saya ikuti
sampai kelas tiga aliyah ini. Saya telah berhasil
mengkhatamkan Alfiyyah ibn Malik dan hafal seluruh nazamnya di hadapan
beliau sendiri. Saya pun semenjak duduk di bangku Aliyah disilakan untuk
mengikuti pengajian di kiai yang lain dalam lingkup pesantren itu. Iya.
Pesantren yang saya huni itu merupakan komplek yang terdiri lebih dari lima
puluh pondok. Bahkan masih ada pula kiai yang tidak memiliki pondok dan
beliau-beliau ini mengajarkan santri-santri pondok lain yang berkeinginan
memiliki tambahan pengetahuan guna nanti berdiri di tengah masyarakat.
Mulai aliyah kelas satu, karena siang tidak ada kegiatan di pondok,
saya mengikuti pengajian falak dan faroid yang diadakan kiai Mansur di rumah
beliau sendiri. Setiap pulang sekolah, saya berangkat menuju rumah beliau yang
berada di ujung paling barat komplek pondok yang menyatu dengan rumah-rumah
masyarakat biasa. Saya harus melewati beberapa rumah kiai, dan setiap kali
melewati rumah kiai, saya selalu menunduk. Orang lain pun sama. Begitulah para
santri menghormati gurunya. Kecuali saat berpapasan dengan kiai, saya dan pasti
para santri yang lain pun langsung mendekati dan mencium tangan beliau yang
pasti sangat wangi. Wangi surga sepertinya. Saat itu saya merasa masalah lenyap
seketika. Terlebih seringkali setiap kali aku mencium tangan kanan beliau dan
tentu dengan membungkukkan badan, tangan kiri beliau menepuk-nepuk punggungku
seraya mendoakan kesuksesanku. Selain melewati rumah kiai, saya juga
harus melewati pemakaman para sesepuh. Biasanya sepulang mengaji dari kiai Mansur,
aku sempatkan ziarah dahulu. Terkadang, aku juga menghafalkan kitab ataupun
al-Quran di pemakaman ini. Selain tempatnya sepi sehingga menghadirkan
ketenangan dan mudah untuk menghafal, saya pun beranggapan kalau menghafal di
makam ini, kiai yang menghuni makam itu akan mengetahui betapa gairah saya
untuk bisa itu sangat besar. Dengan mengetahui keinginan saya, maka bukan tidak
mungkin, beliau yang meski raganya telah meninggal, tapi ruhnya tetap hidup dan
saya percaya beliau tidak bakal meninggalkan santrinya begitu saja. Meski aku
tidak talaqi dengan beliau, tapi mestinya beliau akan tetap menganggapku
sebagai santrinya karena saya mesantren di wilayah yang menjadi binaan beliau,
karena saya pun mengaji langsung ke murid-murid beliau yang sekarang menjadi
kiai yang saya temui untuk dimintai ilmunya. Pengajian itu sudah saya
khatamkan.
Setiap hari jumat yang meski menjadi hari libur untuk wilayah
pesantren saja, itu tidak berlaku bagi saya. Saya mengisinya dengan mengaji
tilawah al-Quran dan belajar kaligrafi pada kiai Rifai. Saya pun tiap tahun
selalu diajak kiai Rifai untuk mengikuti Musabaqah Tilawatil Quran tingkat
kabupaten. Bahkan, saya pernah menjadi utusan provinsi untuk tampil di kancah
nasional. Hanya terpaut satu poin saja dari peringkat ketiga, saya tidak
berhasil menjadi juara. Tapi, ini saya jadikan motivasi supaya saya dapat
belajar dan berlatih lebih giat lagi.
Kiaiku kini semakin sepuh. Tapi, wajah beliau semakin teduh.
Setiap kali bertemu, aku tak berani menatapnya. Wajahnya memancarkan cahaya
yang membuatku menunduk begitu saja. Saat masih tak
paham kenapa saya mesti diundang oleh beliau. Pokoknya, saya manut saja,
titik, tanpa koma apalagi tanda tanya.
Saat itu, saya ingin sekali matur hendak merantau,
melanjutkan studi di jenjang strata satu. Namun, sebelum pernyataan itu
mengalir, beliau lebih dulu mempersilakanku untuk mengembara dengan penuh rida
dan limpahan doa.
***
Sesaat setelah jamaah asar, kami bertiga berangkat dengan mobil
pribadi kiai yang masih sama seperti saat saya masih tinggal di pesantren dulu,
bahkan sebelum saya tinggal di pesantren. Saya membukakan pintu depan dan
membantu kiai masuk. Kiai dan sopir duduk di bagian depan, saya membawa tas
kiai yang entah isinya apa, duduk di bagian belakang sendirian.
Setelah melewati kemacetan, akhirnya kami tiba di sebuah hotel.
Sebelumnya, aku tak pernah sekalipun menginjakkan kaki di hotel. Terlebih hotel
bintang lima seperti ini.
Kami pun masuk dan langsung disambut oleh orang yang bakal kiai
temui. Beliau langsung cium tangan kiai dan memeluk kiai begitu erat dan
seperti orang-orang besar bertemu, kiai dan entah siapa yang beliau temui itu
cium pipi kanan dan pipi kiri.
Aku mengekor saja di belakang kiai bersama pak sopir. Aku pun tetap
mengekor tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Pokoknya manut saja.
Kami masuk ke sebuah ruangan yang
di dalamnya terdapat meja bundar dan telah hadir pula beberapa orang yang
kemudian langsung melakukan hal yang sama seperti orang pertama tadi, mencium
tangannya, memeluk dan cium pipi kanan dan kiri. Aku tak turut dalam lingkaran
meja bundar itu. Aku dan pak sopir duduk di belakang.
“Mau minum apa mas?”, seorang perempuan berkemeja putih dilapisi
rompi hitam dan bercelana panjang hitam menawarkan kepada kami berdua.
“Kopi hitam aja Mba”, jawab pak sopir tanpa pikir panjang.
“Kalau mas?”
“Samakan saja mba”
Saya dan pak sopir sama-sama terdiam. Kami tak saling mengobrol
khawatir mengganggu obrolan di meja bundar.
“Silakan mas”, pelayan itu menyajikan kopi yang kami pesan.
Saya tak mengerti orang-orang besar itu sedang membicarakan rencana
apa, yang pasti, sepertinya mereka membincangkan negara ke depan harus seperti
apa. Entahlah, saya tak sengaja mendengarnya, bukan saya mau menguping.
Setelah kurang lebih satu jam dan kopiku telah habis seperempat jam
yang lalu, akhirnya, mereka meyelesaikan perbincangannya. Kiai diminta memimpin
doa untuk kemaslahatan bangsa dan negara. Saya dan pak sopir di belakang turut
menengadahkan tangan, mengamini segala yang dipanjatkan kiai.
“Al-Fatihah”, kiai mengakhiri doanya. Setelahnya, kiai dan
seluruh orang yang duduk melingkari meja bundar itu saling bersalaman.
Aku dan pak sopir tetap mengekor di belakang. Sebelum kami keluar
ruangan, kami dicegat oleh seseorang yang juga aku tak tahu siapa. Dia
berperawakan tinggi dan kekar. Menyalamiku dan pak sopir.
“Terima kasih, Pak”.
“Terima kasih, Mas”, ucapnya sembari menyelipkan amplop cokelat ke
tanganku.
“Apa ini Pak?”, tanyaku kaget.
“Sudah mas, terima saja. Ini anggap saja sebagai rasa
terima kasih kami, mas telah mengantarkan kiai ke mari”.
Pak sopir menyampaikan senyum kepadaku. Saya pun menjawabnya dengan
senyum pula. Kami langsung melangkah ke tempat parkiran. Membawa mobil ke depan
pintu keluar hotel.
Setelah saya membuka pintu depan mobil sebelah kiri, saya langsung
menuntun kiai masuk ke mobil. Tak lama, mobil langsung melaju mengejar matahari
terbenam. Kami kembali ke rumah.
“Besok kuliah gak, Han?” tanya kiai di dalam mobil.
“Iya, kiai”.
Sesampainya di rumah, saya menawarkan diri untuk memijat kiai. Puji
syukur beliau kersa untuk dipijat. Setelah memijat beliau, saya meminta
diri pamit.
“Mohon izin pamit kiai. Mohon doanya dan bimbingannya selalu kiai”
“Iya. Pulangnya bareng pak Fandi ya”
“Fan, tolong antarkan Farhan ke asramanya”.
Di asrama, saya langsung membuka amplop cokelat pemberian orang
yang berterima kasih telah mengantarkan kiai ke hotel itu, dengan seraya
mengucapkan lafal basmalah.
“bismillahirrohmanirrohim”
Saya melongo. Kaget bukan kepalang. Uang ratusan ribu masih terikat
dengan kertas putih yang di atasnya tertera nominal Rp. 10.000.000.
Muhammad Syakir Niamillah
Ciputat, Sabtu, 21 Maret 2015