Sarapan pagi dengan K.H. D. Zawawi Imron di sekitar Hotel Ciputat |
Catatan Sehari Bersama K.H. D. Zawawi Imron
Setengah enam pagi saya sudah keluar kamar kontrakan. Tak seperti
biasanya yang baru keluar jam setengah delapan. Pagi itu memang pagi yang
istimewa. Setelah seminggu lalu bertemu dan minta foto bersama di tengah
desakan banyak orang, kali ini beliau sendiri yang meminta untuk foto bersama
karena beliau mungkin berpikiran bahwa kami malu memintanya. Kesempatan langka
ini tentu tak disia-siakan saya. Foto bersama saat menikmati sarapan di kantin
hotel Ciputat. Pun saat usai sarapan, beliau minta foto saat berjalan bersama.
Ternyata beliau juga bukan saja seorang penyair, tetapi juga
pelukis. Beliau menunjukkan hasil lukisannya yang subhanallah, sangat
luar biasa. Gambar laut saat senja tiba, sinar mentari yang mewarnai
kebiruannya. Selain itu, beliau juga menunjukkan hasil lukisannya yang
bergambar seorang perempuan yang begitu persis dengan objek aslinya. Hampir
tidak ada yang beda.
Jam tujuh beliau meminta diri untuk istirahat karena perjalanan
jauh dari Jombang. Beliau minta nanti siang ditemani untuk jalan-jalan ke pasar
Ciputat. Saya mengiyakan. Setelah itu, saya berangkat ke kampus untuk mengikuti
kuliah sampe dzuhur tiba, tepatnya jam setengah satu.
Jam setengah dua saya kembali menemani beliau untuk jalan-jalan ke
pasar Ciputat. Beliau mencari batu mulia. Di sana beliau terkesan begitu akrab
dengan orang-orang yang tidak mengenalinya siapa. Sungguh, beliau sangat
merakyat, menyatu dengan rakyat, menyatu dengan segenap elemen masyarakat.
Beliau merupakan sosok yang sangat kagum dengan Bung Karno. Dalam
pidato kebudayaannya saat memperingati Hari Sumpah Pemuda di UIN Jakarta,
malamnya, beliau meniru gaya pidato Bung Karno dengan sangat berapi-api, penuh
semangat yang begitu membara. “Ini baru saya,” kata beliau. Apalagi kalau lihat
dan mendengar langsung Bung Karno sedang pidato, orang mana yang tidak tertarik
untuk mendengarkan. Orang mana yang tidak terkesan. Orang mana yang tidak
memperhatikan dengan seksama.
Begitulah beliau dalam nasionalisme. Beliau juga sosok yang begitu
agamis. Selain dikenal sebagai tokoh agama di kampungnya di Madura, beliau dalam
beberapa bait syairnya mengungkapkan rasa takzimnya kepada ibu. Bahkan Jamal D.
Rahman, Pimpinan Redaksi Majalah Horison, menilai bahwa puisi Ibu karya
Kiai Zawawi adalah puisi tentang ibu yang terbaik selama ini. Di samping itu,
saya mendengar sendiri, bagaimana beliau dalam setiap langkahnya melantunkan
salawat. Salla (A)llahu ‘ala Muhammad. Begitu setiap kali melangkah.
Yang saya dengar itu saat turun dari mobil menuju hotel. Tapi mungkin, bisa
jadi beliau tiap langkah demikian dalam hatinya. Saya tidak tahu.
Setelah sepanjang hari saya mengikuti keseharian beliau, saya
merasa seolah sedang ditebas dengan celurit emasnya. Beliau dikenal sebagi Sang
Celurit Emas. Perilakunya adalah celurit emas bagiku yang menebas segala
keburukan yang selalu menghantuiku. Oh iya, entah kenapa beliau sendirian saja
tanpa ditemani anak atau asistennya. Di balik sisi negatifnya itu yang membuat
saya sendiri khawatir karena beliau sudah cukup sepuh, ada sisi positifnya
yakni mandiri. Dari situlah saya melihat beliau sangat mandiri. Artinya, beliau
mungkin tidak mau merepotkan orang lain.
Muhammad Syakir Niamillah
Ciputat-Cirebon, November 2015-Februari 2016
2 komentar
Write komentarTerimakasih..
ReplyUntuk kesekian kali menginspirasi😊☺
Terimakasih..
ReplyUntuk kesekian kali menginspirasi😊☺