Our Feeds

Motto

Etik, Estetik, Puitik

Selamat Mengaji

Mengaji Sepanjang Hari

Kamis, 25 Februari 2016

Syakir NF

Merasakan Tajamnya Tebasan Sang Celurit Emas

Sarapan pagi dengan K.H. D. Zawawi Imron di sekitar Hotel Ciputat

Catatan Sehari Bersama K.H. D. Zawawi Imron
Setengah enam pagi saya sudah keluar kamar kontrakan. Tak seperti biasanya yang baru keluar jam setengah delapan. Pagi itu memang pagi yang istimewa. Setelah seminggu lalu bertemu dan minta foto bersama di tengah desakan banyak orang, kali ini beliau sendiri yang meminta untuk foto bersama karena beliau mungkin berpikiran bahwa kami malu memintanya. Kesempatan langka ini tentu tak disia-siakan saya. Foto bersama saat menikmati sarapan di kantin hotel Ciputat. Pun saat usai sarapan, beliau minta foto saat berjalan bersama.
Ternyata beliau juga bukan saja seorang penyair, tetapi juga pelukis. Beliau menunjukkan hasil lukisannya yang subhanallah, sangat luar biasa. Gambar laut saat senja tiba, sinar mentari yang mewarnai kebiruannya. Selain itu, beliau juga menunjukkan hasil lukisannya yang bergambar seorang perempuan yang begitu persis dengan objek aslinya. Hampir tidak ada yang beda.
Jam tujuh beliau meminta diri untuk istirahat karena perjalanan jauh dari Jombang. Beliau minta nanti siang ditemani untuk jalan-jalan ke pasar Ciputat. Saya mengiyakan. Setelah itu, saya berangkat ke kampus untuk mengikuti kuliah sampe dzuhur tiba, tepatnya jam setengah satu.
Jam setengah dua saya kembali menemani beliau untuk jalan-jalan ke pasar Ciputat. Beliau mencari batu mulia. Di sana beliau terkesan begitu akrab dengan orang-orang yang tidak mengenalinya siapa. Sungguh, beliau sangat merakyat, menyatu dengan rakyat, menyatu dengan segenap elemen masyarakat.
Beliau merupakan sosok yang sangat kagum dengan Bung Karno. Dalam pidato kebudayaannya saat memperingati Hari Sumpah Pemuda di UIN Jakarta, malamnya, beliau meniru gaya pidato Bung Karno dengan sangat berapi-api, penuh semangat yang begitu membara. “Ini baru saya,” kata beliau. Apalagi kalau lihat dan mendengar langsung Bung Karno sedang pidato, orang mana yang tidak tertarik untuk mendengarkan. Orang mana yang tidak terkesan. Orang mana yang tidak memperhatikan dengan seksama.
Begitulah beliau dalam nasionalisme. Beliau juga sosok yang begitu agamis. Selain dikenal sebagai tokoh agama di kampungnya di Madura, beliau dalam beberapa bait syairnya mengungkapkan rasa takzimnya kepada ibu. Bahkan Jamal D. Rahman, Pimpinan Redaksi Majalah Horison, menilai bahwa puisi Ibu karya Kiai Zawawi adalah puisi tentang ibu yang terbaik selama ini. Di samping itu, saya mendengar sendiri, bagaimana beliau dalam setiap langkahnya melantunkan salawat. Salla (A)llahu ‘ala Muhammad. Begitu setiap kali melangkah. Yang saya dengar itu saat turun dari mobil menuju hotel. Tapi mungkin, bisa jadi beliau tiap langkah demikian dalam hatinya. Saya tidak tahu.

Setelah sepanjang hari saya mengikuti keseharian beliau, saya merasa seolah sedang ditebas dengan celurit emasnya. Beliau dikenal sebagi Sang Celurit Emas. Perilakunya adalah celurit emas bagiku yang menebas segala keburukan yang selalu menghantuiku. Oh iya, entah kenapa beliau sendirian saja tanpa ditemani anak atau asistennya. Di balik sisi negatifnya itu yang membuat saya sendiri khawatir karena beliau sudah cukup sepuh, ada sisi positifnya yakni mandiri. Dari situlah saya melihat beliau sangat mandiri. Artinya, beliau mungkin tidak mau merepotkan orang lain.

Muhammad Syakir Niamillah
Ciputat-Cirebon, November 2015-Februari 2016

Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »

2 komentar

Write komentar
Unknown
AUTHOR
22 Agustus 2016 pukul 21.05 delete

Terimakasih..
Untuk kesekian kali menginspirasi😊☺

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
22 Agustus 2016 pukul 21.05 delete

Terimakasih..
Untuk kesekian kali menginspirasi😊☺

Reply
avatar