Sebenarnya Sabtu tidak kelas. Namun karena jadwal yang begitu
sempit, akhirnya tutor berinisiatif untuk memberikan additional class
agar saat ujian nanti, tidak ada materi yang tertinggal. Hal itu tidak
menyurutkan saya untuk tetap gathering and hang out dengan teman-teman
alumni Buntet Pesantren yang saat ini sama-sama sedang mendalami bahasa Inggris
di Kampung Inggris Tulung Rejo, Pare, Kediri.
Jam delapan malam, saya dan Ammar berangkat bersama menuju Gedhe,
warung yang berbentuk saung yang terletak sebelah barat atm Mandiri, Jl.
Brawijaya. Tempat yang minimalis elegan dengan dinding dan dasar dari bamboo
memberikan kesan alami, meski letaknya di samping jalan raya. Angin yang sepoi
menambah cita rasa alami itu. Seperti kebiasaan di pondok dulu, tentu saja
pesan kopi. Karena kami belum sempat makan sore, kami pun memesan makanan.
Sesaat setelah makan, teman-teman kami yang lain satu persatu
datang. Akhirnya lengkaplah kami setelah warung yang kami tempati itu sudah
mulai dirapikan kembali karena waktu sudah mendekati jam 11. Tak terasa dua jam
lebih kami di tempat tersebut, membicarakan bus, karena dua di antara kami
memang maniak bus. Dan beberapa hal lain.
Belum puas, kami beranjak dari tempat tersebut, mencari tempat lain
untuk melampiaskan rasa rindu, membicarakan masa lalu dan tentu masa depan. Biel
Café, menjadi tujuan kami. Meski tidak 24 jam, tetapi cukup membuat rasa
kangen itu bisa terhapuskan.
Awalnya, kami tidak bincang bersama. Masing-masing memiliki mitra
tutur sendiri. Saya dengan paman saya yang sengaja datang dari Kota Kediri
untuk hang out. Dia di sini sedang menempuh pendidikan tingginya di
STAIN Kediri pada program studi Akhlak Tasawuf. Dia bahkan sejak dua bulan lalu
terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Prodi Akhlak Tasawuf. Kami
membicarakan masa depan kami yang ingin berkontribusi pada rumah dan lingkungan
kami. Karena kami juga sama berstatus mahasiswa, kami sedikit berbicang
mengenai beberapa materi yang kami pelajari.
Saya juga berbincang dengan kawan paman saya yang diajak
bersamanya. Meski dia tidak kuliah, tetapi pengetahuannya cukup luas. Karena ia
tidak berhenti belajar. Baginya, belajar itu bukan saja melalui lembaga formal,
dia belajar di warung, di terminal, di manapun ia berada. Mendengar cerita
orang lain juga ia rasakan sebagai belajar. Meskipun ia tetap iri dengan
rekannya yang sudah berstatus mahasiswa, tetapi ia tetap bersyukur ia masih
bisa belajar. Dengannya, saya berdiskusi tentang sejarah. Dari Majapahit hingga
zaman Soeharto. Dari buku Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara
hingga novel Seteru Satu Guru karya Haris Priyatna. Saya belajar banyak
darinya. Belajar kehidupan dan belajar keilmuan.
Setelah bosan dengan materi-materi, akhirnya kami melebur dengan
teman-teman lain yang sudah cekikikan dari tadi. Beberapa teman di sini saat di
pesantren tidak karu-karuan belajar dan ngajinya. Sekarang mereka sudah mahir
berbahasa Inggris bahkan ada juga yang mendalami bahasa Jepang. Dia yang sedang
belajar bahasa Jepang, pernah suatu kali coba mendaftar untuk kuliah di Jepang.
Tetapi kolom yang meminta cerita kehidupan dan cita-cita masa depan itu tidak
dia isi. Ini ya jelas tidak diterima. Katanya, “Apa yang mesti saya isi? Wong
saya ngaji dan belajar kabur mulu. Makan jarang. Tapi utang di
mana-mana. Masa iya itu diceritain?”. Tawa langsung meledak. Kami sudah tidak
peduli dengan waktu yang sudah sangat larut itu.
Suguhan apa yang lebih nikmat tenimbang tawa bersama? Menertawai kebodohan
diri sendiri. Ya, begitulah kami menikmati hidup ini. Tawa selalu menjadi obat
yang begitu mujarab mengatasi galau dan risau dalam kehidupan. Pada salah satu
dindin di café tersebut terdapat tulisan seperti ini, “Menikmati hidup sama
dengan menikmati kopi. Jika tidak tahu caranya, maka akan terasa pahit".
Muhammad Syakir Niamillah
Pare, 20 Februari 2016
Catatan pertemuan pertama dengan teman-teman alumni Buntet Pesantren yang sedang belajar di Kampung Inggris Pare, Kediri.