Cindera Mata dari panitia pelaksana Masa Orientasi Mahasantri dan Taaruf Bidikmisi 2015 |
Lalu, pertanyaan yang muncul adalah, apa prestasi saya yang membuat
adik-adik saya mengundang saya menjadi narasumber pada acara tersebut?
Dulu, saya pernah mendapatkan indeks prestasi empat pada semester
dua dan tiga. Itu katanya yang menjadi alasan mereka mengundang saya. Tapi saya
mencoba menolak dengan halus karena bukan saya saja yang berhasil mendapatkan
nilai seperti itu, teman-teman seangkatan saya juga ada. Bahkan, nilai saya di
semester empat itu jatuh, 3,7. Mereka tetap kekeh dengan undangannya itu. Ya
sudah, apa boleh buat. Bismillah!
Saya saat berbicara hanya bercerita saja. Karena saya tidak tahu
mesti menyampaikan apa. Bercerita tentang betapa yang saya peroleh itu bukanlah
hasil saya sendiri. Iya. Tapi semua itu karena doa orang tua. Itu hal yang
paling utama dan tidak bisa kita nafikan. Kedua, yang saya ceritakan itu adalah
bahwa saya satu kamar dengan orang yang berprestasi semua.
Di Mahad ada 60 kamar, setiap kamar bisa diisi empat orang. Kamar
saya saat itu penuh. Semua tempat tidur dan meja belajar sudah ada yang
memilikinya sementara. Di sebelah timur saya Kak Mubin. Dia relawan di beberapa
organisasi sosial, yakni Dompet Dhuafa, Komunitas Sabang Merauke, dan Forum
Indonesia Muda. Di lemarinya tertulis sejak pertama kali masuk kuliah, 100
daftar harapan yang ingin dicapainya selama kuliah. Yang sudah terlaksana dan
pasti tidak bakal terlaksana ditandainya. Di antara harapan yang berhasil
diraihnya adalah membeli laptop. Dan yang tak saya duga, ternyata harapan bisa
bertemu presiden di Istana Negara dapat terwujud. Dia mewakili Kementerian
Agama sebagai mahasiswa berprestasi, hadir pada peluncuran program 5000 doktor
di tempat tersebut. Di sebelah selatan saya ada Kak Reifan. Dia adalah Ketua
Forum Mahasiswa Bidikmisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013-2014. Setelah
itu, ia terpilih sebagai Ketua Komisariat Fakultas Ekonomi dan Bisnis PMII
Cabang Ciputat. Ia juga pernah meraih indeks prestasi tertinggi. Sebelah timur
Kak Reifan, ada Mas Arif. Mas Arif adalah orang yang paling tua dan paling
dewasa di kamar. Dia pernah menjadi pengajar terbaik di lembaga kursus tempat
ia mengajar. Meski jurusannya perbankan, tetapi mengajar adalah sarana baginya
untuk mengabdi kepada negeri. Ia tak lagi peduli dengan gaji yang masuk ke
rekeningnya. Masuk, Alhamdulillah. Tidak, yowis. Karena penantian
baginya hanya meninggalkan kekesalan. Akhirnya dia tidak pernah menunggu
gajiannya kapan. Tapi rizki selalu ada padanya. Saat ini dia sudah menjadi
tenaga ahli di Kementerian Desa. Dan mereka itulah yang mengantarkanku sehingga
bisa berada di depan adik-adik mahasantri baru. Karena, merekalah orang-orang
terdekatku saat itu. Tentu, ini juga tak lepas peran dari pengasuh mahad, K.H.
Utob Tobroni, M.Cl., Al-Hafidz. Meski usianya yang tak lagi muda, tapi setiap
pagi ia ketuk seluruh kamar mahad. Beliau bahkan hafal seluruh santrinya itu
sampai kamarnya di mana.
Saya juga bercerita tentang seorang kakak
kelas yang dia hampir tidak pernah membawa buku ke kampus. Setiap kali kuliah,
ia hanya membawa kertas catatan kecil dan pulpen. Sebelum perkuliahan, dia
telah membaca materi yang nanti akan disampaikan oleh dosen. Dia bahkan membaca
beberapa buku sebagai rujukannya. Hal-hal yang penting ia catat pada catatan
kecilnya itu. Dia berangkat kuliah dengan modal catatan kecil itu. Ringkasan
yang ia tulis, ia jabarkan di kelas dengan pemahaman sesuai buku yang ia baca.
Saya pernah melakukan hal demikian dan ternyata itu sangat efektif. Ringkasan
itu juga saya tempelkan di mading pribadi saya. Sembari makan, saya baca. Ini
saya terapkan untuk menghafal teori dan vocabulary. Dulu saya sempat
kursus bahasa Arab dan Turki. Saya juga pernah mencoba menghafal al-Quran
dengan metode demikian.
Di akhir pembicaran, saya simpulkan
pembicaraan saya pada tiga hal, yakni doa dan restu orang tua, pilih teman
terbaik, dan tulisan ringkasan sebelum kuliah dimulai.
Beberapa hari kemudian, ada yang bertanya
melalui pesan singkat tentang kiat-kiat dapat indeks prestasi tinggi itu lebih
dalam lagi. Wah, saya tambah bingung ini. Akhirnya saya telusuri dan pelajari
lagi apa yang telah saya lakukan selama kuliah.
Saya dapat kesimpulan bahwa untuk mendapatkan
hasil belajar yang baik itu, tiga yang telah saya sampaikan sebelumnya. Kita
juga butuh dorongan doa kita sendiri. Setiap kali keluar kosan menuju kampus,
saya selalu membaca ayat kursi sekali dan salawat Fatih tujuh kali. Hal ini
hampir tidak pernah saya tinggal. Setiap keluar bepergian, ayat kursi dan
salawat itu selalu mengiringi. Jika tidak hafal salawat Fatih, tinggal diganti
dengan salawat yang kita hafal, misal salawat Nariyah, Tibbil Qulub, atau kalau
juga tidak hafal, baca salawat terpendek, yakni “Salla Allahu ‘alaa
Muhammad”.
Selamat berjuang! Hasil tidak akan pernah
membohongi proses. Nilai hanyalah bonus. Sejatinya, ilmulah yang kita cari.
Karena kewajiban atas kita itu mencari ilmu, bukan mengharap nilai.
Muhammad Syakir Niamillah
Ciputat-Cirebon, November 2015-20 Februari 2016
Catatan perjuangan meraih IP tertinggi