Our Feeds

Motto

Etik, Estetik, Puitik

Selamat Mengaji

Mengaji Sepanjang Hari

Kamis, 25 Februari 2016

Syakir NF

Mencari Ilmu bukan Mengharap Nilai

Penulis bersama teman-teman Mahad UIN Jakarta

Cindera Mata dari panitia pelaksana
Masa Orientasi Mahasantri dan Taaruf Bidikmisi 2015
Awalnya, saya sedikit tidak percaya saat diminta adik-adik saya di Mahad dan Bidikmisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mengisi bagian dari rangkaian acara Masa Orientasi Mahasantri (MOSA) Mahad dan Taaruf Bidikmisi Angkatan 2015 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pertama, saya di mahad tergolong orang yang tertutup, dan jarang berinteraksi dengan warga mahad. Selain mengaji, saya hampir tidak keluar kamar. Atau kalaupun keluar, pasti untuk wifi-an di lobi. Paling ya, ke kamar mandi. Hampir tidak pernah saya masuk ke kamar lain. Kedua, saya jarang ikut kegiatan di mahad. Karena saya lebih sering kelayaban. Kegiatan yang saya maksud di sini adalah kegiatan yang bermomentum. Ketiga, bagian acara yang saya bakal isi itu adalah Mahad Achivement. Pada bagian itu, narasumber diminta untuk berbagi pengalamannya atau lebih khususnya proses sampai berprestasi. Keempat, selama saya kuliah, saya tidak memiliki prestasi yang cukup berarti. Bila pun itu dianggap berarti, masih banyak orang lain yang seperti saya yang juga warga Mahad dan Bidikmisi. Kelima, acara tersebut tidak hanya menghadirkan satu narasumber, tapi empat sekaligus. Dan yang membuat saya lebih tidak percaya lagi, narasumber selain saya adalah mahasiswa yang telah berprestasi di kancah internasional, yakni mahasiswi Fakultas Dirasat Islamiyah, juara debat bahasa Arab di Malaysia; mahasiswa Pendidikan Fisika, sudah menerbitkan delapan dari 20-an buku yang ditulisnya. Dia juga pernah mengikuti pertukaran mahasiswa di Jepang; dan mahasiswa Agrobisnis, juara entrepreneur di Malaysia dan menulis buku tentang kisah suksesnya. Bahkan moderatornya adalah mahasiswa juara debat bahasa Inggris.
Lalu, pertanyaan yang muncul adalah, apa prestasi saya yang membuat adik-adik saya mengundang saya menjadi narasumber pada acara tersebut?
Dulu, saya pernah mendapatkan indeks prestasi empat pada semester dua dan tiga. Itu katanya yang menjadi alasan mereka mengundang saya. Tapi saya mencoba menolak dengan halus karena bukan saya saja yang berhasil mendapatkan nilai seperti itu, teman-teman seangkatan saya juga ada. Bahkan, nilai saya di semester empat itu jatuh, 3,7. Mereka tetap kekeh dengan undangannya itu. Ya sudah, apa boleh buat. Bismillah!
Saya saat berbicara hanya bercerita saja. Karena saya tidak tahu mesti menyampaikan apa. Bercerita tentang betapa yang saya peroleh itu bukanlah hasil saya sendiri. Iya. Tapi semua itu karena doa orang tua. Itu hal yang paling utama dan tidak bisa kita nafikan. Kedua, yang saya ceritakan itu adalah bahwa saya satu kamar dengan orang yang berprestasi semua.
Di Mahad ada 60 kamar, setiap kamar bisa diisi empat orang. Kamar saya saat itu penuh. Semua tempat tidur dan meja belajar sudah ada yang memilikinya sementara. Di sebelah timur saya Kak Mubin. Dia relawan di beberapa organisasi sosial, yakni Dompet Dhuafa, Komunitas Sabang Merauke, dan Forum Indonesia Muda. Di lemarinya tertulis sejak pertama kali masuk kuliah, 100 daftar harapan yang ingin dicapainya selama kuliah. Yang sudah terlaksana dan pasti tidak bakal terlaksana ditandainya. Di antara harapan yang berhasil diraihnya adalah membeli laptop. Dan yang tak saya duga, ternyata harapan bisa bertemu presiden di Istana Negara dapat terwujud. Dia mewakili Kementerian Agama sebagai mahasiswa berprestasi, hadir pada peluncuran program 5000 doktor di tempat tersebut. Di sebelah selatan saya ada Kak Reifan. Dia adalah Ketua Forum Mahasiswa Bidikmisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013-2014. Setelah itu, ia terpilih sebagai Ketua Komisariat Fakultas Ekonomi dan Bisnis PMII Cabang Ciputat. Ia juga pernah meraih indeks prestasi tertinggi. Sebelah timur Kak Reifan, ada Mas Arif. Mas Arif adalah orang yang paling tua dan paling dewasa di kamar. Dia pernah menjadi pengajar terbaik di lembaga kursus tempat ia mengajar. Meski jurusannya perbankan, tetapi mengajar adalah sarana baginya untuk mengabdi kepada negeri. Ia tak lagi peduli dengan gaji yang masuk ke rekeningnya. Masuk, Alhamdulillah. Tidak, yowis. Karena penantian baginya hanya meninggalkan kekesalan. Akhirnya dia tidak pernah menunggu gajiannya kapan. Tapi rizki selalu ada padanya. Saat ini dia sudah menjadi tenaga ahli di Kementerian Desa. Dan mereka itulah yang mengantarkanku sehingga bisa berada di depan adik-adik mahasantri baru. Karena, merekalah orang-orang terdekatku saat itu. Tentu, ini juga tak lepas peran dari pengasuh mahad, K.H. Utob Tobroni, M.Cl., Al-Hafidz. Meski usianya yang tak lagi muda, tapi setiap pagi ia ketuk seluruh kamar mahad. Beliau bahkan hafal seluruh santrinya itu sampai kamarnya di mana.
Saya juga bercerita tentang seorang kakak kelas yang dia hampir tidak pernah membawa buku ke kampus. Setiap kali kuliah, ia hanya membawa kertas catatan kecil dan pulpen. Sebelum perkuliahan, dia telah membaca materi yang nanti akan disampaikan oleh dosen. Dia bahkan membaca beberapa buku sebagai rujukannya. Hal-hal yang penting ia catat pada catatan kecilnya itu. Dia berangkat kuliah dengan modal catatan kecil itu. Ringkasan yang ia tulis, ia jabarkan di kelas dengan pemahaman sesuai buku yang ia baca. Saya pernah melakukan hal demikian dan ternyata itu sangat efektif. Ringkasan itu juga saya tempelkan di mading pribadi saya. Sembari makan, saya baca. Ini saya terapkan untuk menghafal teori dan vocabulary. Dulu saya sempat kursus bahasa Arab dan Turki. Saya juga pernah mencoba menghafal al-Quran dengan metode demikian.
Di akhir pembicaran, saya simpulkan pembicaraan saya pada tiga hal, yakni doa dan restu orang tua, pilih teman terbaik, dan tulisan ringkasan sebelum kuliah dimulai.
Beberapa hari kemudian, ada yang bertanya melalui pesan singkat tentang kiat-kiat dapat indeks prestasi tinggi itu lebih dalam lagi. Wah, saya tambah bingung ini. Akhirnya saya telusuri dan pelajari lagi apa yang telah saya lakukan selama kuliah.
Saya dapat kesimpulan bahwa untuk mendapatkan hasil belajar yang baik itu, tiga yang telah saya sampaikan sebelumnya. Kita juga butuh dorongan doa kita sendiri. Setiap kali keluar kosan menuju kampus, saya selalu membaca ayat kursi sekali dan salawat Fatih tujuh kali. Hal ini hampir tidak pernah saya tinggal. Setiap keluar bepergian, ayat kursi dan salawat itu selalu mengiringi. Jika tidak hafal salawat Fatih, tinggal diganti dengan salawat yang kita hafal, misal salawat Nariyah, Tibbil Qulub, atau kalau juga tidak hafal, baca salawat terpendek, yakni “Salla Allahu ‘alaa Muhammad”.

Selamat berjuang! Hasil tidak akan pernah membohongi proses. Nilai hanyalah bonus. Sejatinya, ilmulah yang kita cari. Karena kewajiban atas kita itu mencari ilmu, bukan mengharap nilai.

Muhammad Syakir Niamillah
Ciputat-Cirebon, November 2015-20 Februari 2016
Catatan perjuangan meraih IP tertinggi

Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »