Perpustakaan mini penulis di kosan |
Membaca Midah Simanis Bergigi Emas sangatlah menarik. Saya membaca lebih dari seminggu karena tiga hari harus pulang dan menghadapi acara besar sehingga tidak dapat menyempatkan diri barang beberapa menit saja untuk menyentuh Midah meskipun dia dibawa pulang. Saat pulang, sebenarnya saya ingin berduaan dengannya dalam bus, tetapi lampu bus malam terlalu remang sehingga kami hanya bisa berpegangan saja, tanpa bisa memandangnya. Kalaupun bisa, aku sedikitpun tak dapat menikmatinya. Setelah tiga hari pulang, saya kembali lagi ke tanah rantau dan disambut tugas makalah kajian puisi untuk dipresentasikan pada tiga hari yang akan datang dan saya sama sekali belum bergerak membuat makalah. Akhirnya, Midah kuanggurkan lagi beberapa hari. Sampai akhirnya ketika Friday is a freeday tiba, seharian aku bersamanya. Kami puaskan dan tuntaskan hasrat yang tertunda berhari-hari itu.
Kehadiran adik bagi Midah bukanlah suatu kebahagiaan. Betapa tidak,
dia yang dulunya begitu dimanja, seluruh perhatian kedua orangtuanya tercurah
hanya untuknya, kini beralih ke adiknya. Belum lagi kesukaannya pada musik
keroncong yang dianggap haram oleh ayahnya membuat kekesalannya semakin
meninggi. Ayahnya, Haji Abdul, yang relijius hanya suka pada satu musik, yakni lagu
Arab. Pada saat itu sedang tenar-tenarnya Umi Kalsum, penyanyi Mesir. Setiap
hari, telinga Midah mendengarkan lagu yang ia sendiri tak mengerti apa
maksudnya, dan ayahnya pun tak jauh berbeda dengan dirinya. Ia mendengarkan
cita-cita kehidupan (amal hayati; salah satu judul lagu) Umi Kalsum sembari
duduk di pangkuan ayahnya. Puncaknya saat dia dinikahkan dengan seorang
pengusaha yang memiliki istri lebih dari satu dan dia jadi istri kesekiannya
sehingga ia sangat tidak bahagia, ditambah pula sikap suaminya itu yang membuat
dia akhirnya kabur meski ia tengah hamil.
Kecintaanya pada musik keroncong mengantarnya
menjadi biduan jalanan bersama grup keroncong yang ia temui di sebuah jalan di Jakarta. Ia pun hidup menggelandang meskipun pada asalnya dia
adalah putri seorang yang berada. Tapi kini, orangtuanya pun usahanya semakin
menurun sedangkan anaknya semakin bertambah. Orangtuanya tidak mengetahui
sebelum bekas pegawainya, Riah, memberi tahu bahwa Midah telah menjadi biduan
keroncong keliling.
Midah yang dianggap sebagai anak baik-baik, berubah seratus delapan
puluh derajat saat bertemu Ahmad, seorang polisi yang cinta akan Midah dan
sebaliknya. Kecintaan itu dibuktikan keduanya dengan berhubungan layaknya seorang
suami istri. Sebelumnya, Midah telah dilamar oleh ketua grup keroncong yang ia ikuti,
tapi karena Midah tidak mencintainya sehingga dari tiga kali lamaran yang
diajukan itu hanya lahir tolakan dari lisan Midah.
Midah memang wanita yang kuat. Dia berani mengambil
resiko yang paling berbahaya sekalipun. Setelah bertemu orangtuanya dan
menceritakan akan kehamilannya dengan pria yang belum menikahinya, ia kembali
pergi meski telah dilarang oleh ibunya dan tanpa sepengetahuan ayahnya serta
dengan meninggalkan Jali di gendongan neneknya.
Yang paling menarik bagi saya dalam novel
karya Pramoedya Ananta Toer ini adalah ucapan ayahnya sebagai jawaban atas
pertanyaan masyarakat akan putrinya yang sangat berlainan dengan Haji Abdul.
Dia yang telah kembali taqorrub kepada Allah telah dianggap keramat oleh
masyarakat. Dia mengatakan “Ah, saudara, manusia ini kenal satu sama lain, tapi
tidak dengan dirinya sendiri...”.
Ini bagi saya adalah puncak dari apa yang
ingin disampaikan pengarang dalam hal ini Pramoedya kepada para pembaca.
Mungkin Pram juga telah mengetahui akan pepatah man arafa nafsahu faqad
arafa rabbahu, siapa saja yang kenal dengan dirinya maka sungguh ia kenal
dengan Tuhannya. Hakikatnya, kita harus mengerti dan mengetahui siapa diri kita
sebenarnya sebelum lebih jauh melangkah ke luar. Sebab, pepatah tersebut
memberikan tahapan untuk mengenal diri sendiri terlebih dahulu. Dengan mengenal
diri sendiri, Tuhan pun akan dikenal dengan sendirinya. Maka sebenarnya, Midah
ini masih belum kenal dengan dirinya meskipun ia kenal banyak orang, dan kita
pun diingatkan oleh Pram melalui Midah untuk mengenali diri kita sendiri lebih
dulu untuk mengenal Tuhan sehingga laku lampah kita tidak bertentangan dengan
hukum yang telah ditetapkan baik dari syariat maupun konstitusi negara. Membaca
Midah sesungguhnya adalah salah satu jalan mengenal Tuhan dengan cara mengenali
diri kita sendiri.
Muhammad Syakir Niamillah
Ciputat, 13 April 2015