Penulis mengenakan blankon berkaos putih ungu bersama rekannya M. Ammar (28/2) |
Banyak orang yang ingin keluar dari masa lalu karena ingin segera
meraih masa depan yang nyata. Tetapi ada juga yang semakin keinginan itu
menguat, justru semakin ia tenggelam dalam kenangannya. Istilah saat ininya susah
move on. Yang pasti, kenangan tidak perlu kita lupakan sebab bisa
kita jadikan alat untuk dapat move on. Saya jadi ingat firman Allah
Swt. dalam Al-Qur’an Surat Al-Hasyr ayat 18 berikut.
Wahai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah Swt. dan
lihatlah salah satu di antara kalian apa yang telah kalian lakukan untuk
(bekal) kiamat ... (QS. Al-Hasyr: 18).[1]
Allah Swt. Memerintahkan kita untuk bertafakkur, merenungi apa yang selama ini
telah kita lakukan. Hal ini bisa kita tafsirkan sebagai perintah Allah kepada
kita untuk melihat, memandang, atau untuk mengetahui lebih rinci, kita juga
perlu mengunjungi apa yang kita sebut sebagai kenangan. Kenapa demikian? Untuk melangkah menuju akhirat, dalam hal ini akhirat kita
artikan sebagai masa
depan, kita perlu bekal. Salah satu bekal yang harus kita bawa adalah ya
kenangan itu. Kenangan dibawa sebagai bahan perbandingan terhadap apa yang
harus kita lakukan nanti dalam perjalanan menuju masa depan.
Salah satu kenangan yang masih berwujud adalah Candi Surowono yang
terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Kalau dari Jl.
Brawijaya Tulung Rejo, Pare, tempatnya Kampung Inggris itu, kita tinggal
berjalan lurus ke arah timur. Perempatan masih lurus. Melewati masjid, melewati
gereja. Nanti beberapa ratus meter dari gereja ada belokan ke arah kiri yang di
sana terdapat gapura bertuliskan Ds. Lamong. Masuklah ke belokan tersebut. Dari
situ perjalanan masih cukup jauh. Kita
akan disuguhkan pemandangan berupa persawahan di kanan dan kiri jalan. Ada
beberapa kolam ikan dan saluran irigasi juga di sana. Lihatlah ke kanan jalan,
jika tidak tertutup awan, akan terlihat Gunung Kelud. Teruslah berjalan sampai
menemukan belokan ke arah kanan yang terdapat gapura Dusun Surowono, Desa
Canggu. Dari situ, perjalanan sudah cukup dekat. Terus berjalan sampai
menemukan petunjuk jalan di pertigaan, ke kiri Gua sekitar 500 M dan lurus ke arah
candi. Letaknya tidak jauh dari pertigaan tersebut dan berada di sebelah kiri
jalan.
Cukup dengan seribu rupiah, kita sudah dapat memasuki area
tersebut. Meski bangunannya tidak lagi utuh karena disapu beliung (menurut
keteranan penjaganya), tetapi ini cukup menjadi bukti bahwa dulu ada Hindu
pernah berkuasa di daerah tersebut. Konon tempat tersebut dulunya adalah tempat
ibadah (masih menurut penjaganya). Dalam papan informasi, disebutkan bahwa para
arkeologi memperkirakan candi ini berdiri pada tahun 1400 M sebagai pendarmaan
terhadap Bhre Wengker, salah seorang raja yang berkuasa di bawah Majapahit,
yang meninggal pada tahun 1388 M. Kisah meninggalnya Bhre Wengker yang juga
merupakan paman dari Rajasanagara (Raja Majapahit), ini terdapat dalam kitab
Negarakertagama.
Selain candi, kenangan di Kediri ini juga ada
yang berbentuk gua. Gua yang menawarkan sensasi bagi pengunjungnya. Di bawahnya
mengalir air cukup deras. Di atas dan sisi kanan-kirinya pun mengeluarkan air.
Gua ini hanya muat dilewati oleh satu orang. Tidak bisa berjalan berlawanan
arah. Saya tidak menyarankan bagi pengunjung yang merasa badannya lebih dari
setengah meter, dan yang tingginya mendekati dua meter. Sebab pasti akan
kesulitan masuk dan berjalan di dalamnya. Saya juga tidak menyarankan bagi
pengunjung yang memiliki gangguan pernapasan untuk mencoba masuk ke dalamnya. Pertama,
saat memasuki gua, kita akan beramai-ramai seperti main kereta-keretaan dalam
gua yang sangat sempit. Kedua, kita pasti mau tidak mau, setengah badannya
menyelam dalam air. Kedua, hal tersebut akan menyulitkan kita untuk
bernafas. Tetapi untuk menghilangkan rasa penasaran, kita dapat melihat gua itu
dari mulutnya saja. sesudah itu, kita bisa naik kembali tanpa harus masuk dari
satu pintu dan keluar dari pintu yang lainnya.
Gua tersebut kemungkinan merupakan tempat
persembunyian. Tetapi sejarah pastinya seperti apa, pemandu pun tidak
mengetahuinya. Ia hanya berasumsi saja tanpa disertai bukti atau literatur yang
cukup.
Lalu apa yang dapat kita petik dari ziarah
kenangan di candi dan gua Surowono itu?
Pertama, kita dapat mengetahui bahwa Kediri merupakan
daerah kerajaan dibuktikan dengan banyaknya candi. Selain Surowono, ada pula
candi Tegowangi dan beberapa candi lain. Dalam konteks kehidupan kita, kita
jadi ingat masa lalu kita. Kedua, sebenarnya kita tidak bisa tinggal
diam membiarkan candi itu hancur begitu saja seolah tidak ada yang peduli
terhadap hasil budaya itu. Kita tidak bisa membiarkan kenangan kita hancur
diterpa pikiran dan perasaan negatif. Kita bisa lihat dari sisi postitifnya
atau pikiran dan perasaan negatif itu kita bangun supaya menjadi positif. Ketiga,
kita tidak boleh seperti pendiri candi Surowono yang tidak dapat menjaga
bangunan yang telah didirikannya sendiri. Kita harus dapat menjaga ikatan
persaudaraan, jalinan pertamanan, ataupun hubungan percintaan dengan sebaik
mungkin agar tetap utuh. Keempat, kita harus siap melewati kegelapan,
terjalnya bebatuan, sempitnya jalanan, dan derasnya arus air untuk sampai pada
tujuan akhir di gua tersebut. Seperti kita dalam menjalani kehidupan, harus siap
dengan segala peristiwa, ujian, dan segala macam yang menimpa kita demi
tercapainya apa yang kita cita-citakan. Kelima, perjalanan dengan
menggunakan sepeda yang kita lakukan pasti melelahkan. Begitulah hidup,
manisnya dapat kita rasakan setelah lelah berjuangan. Hasil tidak akan
membohongi proses. Prosesnya ini dapat kita ceritakan kepada khalayak.
Muhammad Syakir Niamillah
Pare, 28 Februari 2016