Our Feeds

Motto

Etik, Estetik, Puitik

Selamat Mengaji

Mengaji Sepanjang Hari

Minggu, 28 Februari 2016

Syakir NF

Mengunjungi Kenangan

Penulis mengenakan blankon berkaos putih ungu bersama rekannya M. Ammar (28/2)
Banyak orang yang ingin keluar dari masa lalu karena ingin segera meraih masa depan yang nyata. Tetapi ada juga yang semakin keinginan itu menguat, justru semakin ia tenggelam dalam kenangannya. Istilah saat ininya susah move on. Yang pasti, kenangan tidak perlu kita lupakan sebab bisa kita jadikan alat untuk dapat move on. Saya jadi ingat firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an Surat Al-Hasyr ayat 18 berikut.

Wahai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah Swt. dan lihatlah salah satu di antara kalian apa yang telah kalian lakukan untuk (bekal) kiamat  ... (QS. Al-Hasyr: 18).[1]

Allah Swt. Memerintahkan kita untuk bertafakkur, merenungi apa yang selama ini telah kita lakukan. Hal ini bisa kita tafsirkan sebagai perintah Allah kepada kita untuk melihat, memandang, atau untuk mengetahui lebih rinci, kita juga perlu mengunjungi apa yang kita sebut sebagai kenangan. Kenapa demikian? Untuk melangkah menuju akhirat, dalam hal ini akhirat kita artikan sebagai masa depan, kita perlu bekal. Salah satu bekal yang harus kita bawa adalah ya kenangan itu. Kenangan dibawa sebagai bahan perbandingan terhadap apa yang harus kita lakukan nanti dalam perjalanan menuju masa depan.

Salah satu kenangan yang masih berwujud adalah Candi Surowono yang terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Kalau dari Jl. Brawijaya Tulung Rejo, Pare, tempatnya Kampung Inggris itu, kita tinggal berjalan lurus ke arah timur. Perempatan masih lurus. Melewati masjid, melewati gereja. Nanti beberapa ratus meter dari gereja ada belokan ke arah kiri yang di sana terdapat gapura bertuliskan Ds. Lamong. Masuklah ke belokan tersebut. Dari situ perjalanan  masih cukup jauh. Kita akan disuguhkan pemandangan berupa persawahan di kanan dan kiri jalan. Ada beberapa kolam ikan dan saluran irigasi juga di sana. Lihatlah ke kanan jalan, jika tidak tertutup awan, akan terlihat Gunung Kelud. Teruslah berjalan sampai menemukan belokan ke arah kanan yang terdapat gapura Dusun Surowono, Desa Canggu. Dari situ, perjalanan sudah cukup dekat. Terus berjalan sampai menemukan petunjuk jalan di pertigaan, ke kiri Gua sekitar 500 M dan lurus ke arah candi. Letaknya tidak jauh dari pertigaan tersebut dan berada di sebelah kiri jalan.

Cukup dengan seribu rupiah, kita sudah dapat memasuki area tersebut. Meski bangunannya tidak lagi utuh karena disapu beliung (menurut keteranan penjaganya), tetapi ini cukup menjadi bukti bahwa dulu ada Hindu pernah berkuasa di daerah tersebut. Konon tempat tersebut dulunya adalah tempat ibadah (masih menurut penjaganya). Dalam papan informasi, disebutkan bahwa para arkeologi memperkirakan candi ini berdiri pada tahun 1400 M sebagai pendarmaan terhadap Bhre Wengker, salah seorang raja yang berkuasa di bawah Majapahit, yang meninggal pada tahun 1388 M. Kisah meninggalnya Bhre Wengker yang juga merupakan paman dari Rajasanagara (Raja Majapahit), ini terdapat dalam kitab Negarakertagama.

Selain candi, kenangan di Kediri ini juga ada yang berbentuk gua. Gua yang menawarkan sensasi bagi pengunjungnya. Di bawahnya mengalir air cukup deras. Di atas dan sisi kanan-kirinya pun mengeluarkan air. Gua ini hanya muat dilewati oleh satu orang. Tidak bisa berjalan berlawanan arah. Saya tidak menyarankan bagi pengunjung yang merasa badannya lebih dari setengah meter, dan yang tingginya mendekati dua meter. Sebab pasti akan kesulitan masuk dan berjalan di dalamnya. Saya juga tidak menyarankan bagi pengunjung yang memiliki gangguan pernapasan untuk mencoba masuk ke dalamnya. Pertama, saat memasuki gua, kita akan beramai-ramai seperti main kereta-keretaan dalam gua yang sangat sempit. Kedua, kita pasti mau tidak mau, setengah badannya menyelam dalam air. Kedua, hal tersebut akan menyulitkan kita untuk bernafas. Tetapi untuk menghilangkan rasa penasaran, kita dapat melihat gua itu dari mulutnya saja. sesudah itu, kita bisa naik kembali tanpa harus masuk dari satu pintu dan keluar dari pintu yang lainnya.

Gua tersebut kemungkinan merupakan tempat persembunyian. Tetapi sejarah pastinya seperti apa, pemandu pun tidak mengetahuinya. Ia hanya berasumsi saja tanpa disertai bukti atau literatur yang cukup.

Lalu apa yang dapat kita petik dari ziarah kenangan di candi dan gua Surowono itu?

Pertama, kita dapat mengetahui bahwa Kediri merupakan daerah kerajaan dibuktikan dengan banyaknya candi. Selain Surowono, ada pula candi Tegowangi dan beberapa candi lain. Dalam konteks kehidupan kita, kita jadi ingat masa lalu kita. Kedua, sebenarnya kita tidak bisa tinggal diam membiarkan candi itu hancur begitu saja seolah tidak ada yang peduli terhadap hasil budaya itu. Kita tidak bisa membiarkan kenangan kita hancur diterpa pikiran dan perasaan negatif. Kita bisa lihat dari sisi postitifnya atau pikiran dan perasaan negatif itu kita bangun supaya menjadi positif. Ketiga, kita tidak boleh seperti pendiri candi Surowono yang tidak dapat menjaga bangunan yang telah didirikannya sendiri. Kita harus dapat menjaga ikatan persaudaraan, jalinan pertamanan, ataupun hubungan percintaan dengan sebaik mungkin agar tetap utuh. Keempat, kita harus siap melewati kegelapan, terjalnya bebatuan, sempitnya jalanan, dan derasnya arus air untuk sampai pada tujuan akhir di gua tersebut. Seperti kita dalam menjalani kehidupan, harus siap dengan segala peristiwa, ujian, dan segala macam yang menimpa kita demi tercapainya apa yang kita cita-citakan. Kelima, perjalanan dengan menggunakan sepeda yang kita lakukan pasti melelahkan. Begitulah hidup, manisnya dapat kita rasakan setelah lelah berjuangan. Hasil tidak akan membohongi proses. Prosesnya ini dapat kita ceritakan kepada khalayak.

Muhammad Syakir Niamillah
Pare, 28 Februari 2016




[1] Terjemah ini saya adaptasi dari Tafsir Al-Thabari Jilid 7. (Muassasah Al-Risalah) H. 266

Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »