Our Feeds

Motto

Etik, Estetik, Puitik

Selamat Mengaji

Mengaji Sepanjang Hari

Minggu, 28 Februari 2016

Syakir NF

Kekerasan dalam Bingkai Agama


Secangkir kopi dan buku Kambing Hitam Teori Rene Girard karya Sindhunata (27/2)

Setelah pagi saya berkeliling kota Pare, malamnya saya hang out dengan beberapa teman kursus di Ngaropi, salah satu kafe di Kampung Inggris, Tulung Rejo, Pare. Awalnya kami berencana sejak sore untuk berkumpul, bermain games untuk mengasah kemampuan bahasa Inggris kami. Namun karena hujan sedari siang itu tak kunjung berhenti, akhirnya kami menunda rencana itu sampai hujan reda. Setelah reda seusai maghrib, kami telah menentukan tempat di Jl. Brawijaya, tidak lagi pada rencana awal di Taman Kilisuci di Jl. Sudirman karena keadaan yang tidak memungkinkan, selain basah juga sudah malam. Lagi pula, yang ikut hang out tidak banyak, hanya lima orang. Jadilah kami mampir di sebuah kafe Ngaropi atas rekomendasi Mr. Naufal yang sudah setahun tinggal di sini.

Sekitar jam tujuh malam kami tiba. Mr. Naufal langsung mengambil kertas menu untuk pemesanan minuman. Seperti biasa, saya memilih kopi hitam. Karena sejak pagi tadi belum sempat makan lagi, akhirnya saya juga pesan roti cokelat susu. Meski harganya cukup mahal bagi kantong saya, namun apa daya. Adanya itu, ya sudah. Perut sudah keroncongan, tidak bisa ditahan lagi.

“Kalau yang suka baca, di situ. Tuh di tiang tengah, ada buku. Ambil saja kalau mau”, ujar Mr. Naufal setelah menyerahkan kertas ke tempat pemesanan. Saya langsung tertarik mendengar hal itu. Meski persediaan buku tidak cukup banyak, karena memang bukan perpustakaan, tapi buku-bukunya cukup menarik. Tiga buku Stephani Meyers nongkrong di sana. Novelnya Dan Brown juga ada. Novel-novel Indonesia di sana ada Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El-Shirazy, Maryamah Karpov dan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Selebihnya, saya tidak terlalu memperhatikan. Karena hanya itu yang menarik minat saya. KCB saya ambil untuk teman saya yang pesan, “Kalau ada novel, ambilkan yaa, saya mau baca”. Saya pilih novel itu tenimbang novel lain karena yang memesan adalah seorang alumni pondok. Maksud saya biar nyambung dengan kehidupannya.

Dari sekian buku yang tersedia, ada satu buku yang paling menarik minat saya untuk membacanya di luar buku-buku yang telah saya sebutkan di atas, yakni buku karya Sindhunata yang berjudul Kambing Hitam: Teori Rene Girard. Mengapa saya pilih buku itu? Pertama, novel harusnya dibaca secara menyeluruh. Kalau hanya sepintas, hanya akan melahirkan rasa penasaran dan pemahaman yang prematur. Oleh karena itu, saya tidak memilih novel meski saya suka baca novel. Kedua, buku yang saya pilih ini memiliki pembahasan yang cukup menarik bagi saya, yakni tentang kekerasan yang beberapa hari ini masih saja ramai dibicarakan terkait isu terorisme terutama. Ketiga, ada pembahasan sastra juga di dalamnya. Ini membuat saya tambah yakin untuk membaca buku itu. Meski bukan sastra Indonesia yang menjadi pembahasannya, tetapi bagi saya tidak masalah. Ilmunya kan bisa saja diterapkan di sastra Indonesia juga nantinya.

Oh iya, saya belum bercerita mengapa kafe ini yang dipilih ya? Okelah, akan saya ceritakan sedikit. Ini penting, barangkali bisa jadi rekomendasi saat main-main ke Kampung Inggris nanti. Pertama, karena ada fasilitas Wi-Fi gratis. Ini menjadi daya tarik pertama yang paling utama. Nongkrong enak sembari berselancar di sosial media. Meski demikian, ponsel saya saat itu tidak dapat tersambung dengan fasilitas tersebut. Sangat disayangkan sih, tetapi ini juga yang menjadi penyebab utama saya membaca buku Romo Sindhu. Kedua, ada live musicnya yang pasti renyah di telinga, (mohon maaf) tidak seperti pengamen jalanan yang mayoritas padu nyanyi bae. Ketiga, makanannya yang memang pas di lidah, meski tidak untuk kantongnya (bagi saya). Karena harga di kafe ini dua kali lipat dari warung biasa. Tapi, fasilitas yang disediakan itu cukup menebus harga yang ditetapkan.

Kembali ke buku yang saya baca tadi. Pada akhirnya, saya lebih tertarik pada pemahaman kekerasan yang ditawarkan, tidak malah ke sastra yang jadi jurusan saya kuliah. Saya hanya selesai membaca pendahuluannya saja. Belum sempat menyelesaikan bab kedua, yakni tentang teori mimesis dan kambing hitam.

Pada pendahuluan, kita akan diantarkan pada kekerasan yang terjadi di hampir semua lini kehidupan, di hampir semua sisi kehidupan, bahkan termasuk agama di dalamnya. Kekerasan membutakan mata hati manusia. Kota bisa luluh lantak akibat ulah kekerasan itu. Kita tahu bagaimana kejamnya peristiwa 1998 yang merusak ibukota hingga kondisi yang begitu parah. Saya jadi ingat bagaimana Alam, putra bungsu Surti dan Hananto Prawiro dan Lintang Utara putri dari Dimas Suryo dan Vivienne Deveraux dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori menghindari huru-hara, saat ingin bertemu dengan Mas Willy (Rendra), saat kehilangan komputer yang menjadi aset penting gerakannya. Saya jadi ingat nasib Clara dan keluarganya dalam cerpen yang diberi judul dengan nama tokoh utamanya, Clara, karya Seno Gumira Ajidarma. Rumah keluarganya dibakar, ayahnya bunuh diri, dia sendiri diperkosa oleh orang-orang di jalan saat ia hendak pulang ke rumahnya melihat kondisi keluarganya meski ia sendiri disuruh oleh ayahnya untuk segera pergi ke luar Indonesia. Bahkan saat ia melapor ke pihak yang berwajib, ia pun diperlakukan sama seperti yang dialami sebelumnya.

Kekerasan pun dapat muncul pada ranah bahasa. Seringkali kata-kata dikonotasikan kasar dalam keadaan tertentu, meski tidak saat dalam keadaan yang lain, seperti kata (mohon maaf) anjing. Lazim bagi masyarakat, kata yang pada asalnya berarti binatang menyusui yang biasanya dipelihara untuk menjaga rumah, berburu, dan sebagainya (lihat KBBI) ini menjurus ke arah kasar bila saat pengucapannya disertai dengan nada tinggi, penuh emosi, dan raut muka yang tidak biasa.

Oke, itu sekilas pendahuluan yang saya tangkap. Lalu, apa kaitannya kekerasan dengan agama?

Sebentar, itu baru pengantar gaes. Mari kita masuk lebih dalam ke dunia kekerasan, lebih dalam lagi yakni kekerasan dalam agama.

Kalau tidak salah dalam sebuah diskusi organisasi atau mungkin dalam obrolan personal saya dengan seorang senior di lain kesempatan, beliau mengatakan bahwa agama lahir dari kekerasan yang fungsinya adalah untuk meredam kekerasan itu.

Nabi Muhammad Saw. bersabda bahwa beliau diutus sebagai Nabi dan Rasul adalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak. Kita tahu zaman sebelum Nabi diutus disebut Zaman Jahiliyah. Meski pada zaman tersebut orang-orangnya cukup pintar tapi disebut zaman kebodohan. Hal ini jelas bukan kepintaran pada pikirannya, tetapi pada perilakunya. Bodoh di sini bodoh dalam berperilaku. Karena kita tahu, bagaimana Sayyidina Umar bin Khattab Ra. sangat menyesali perbuatannya mengubur putrinya hidup-hidup karena malu punya anak perempuan. Itu salah satu contoh betapa kerasnya kehidupan pada zaman sebelum Nabi. Kehadiran Nabi Muhammad Saw. dengan membawa risalah ajaran baru adalah untuk meredam kekerasan itu. Itu yang saya tangkap dari diskusi saya dengan senior saya.

Tadi telah saya ceritakan kalau saya belum sempat selesai membaca buku yang saya pilih di kafe Ngaropi. Karena belum tuntas dan penasaran, akhirnya sepulang dari kafe tersebut, saya langsung searching tentang si Kambing Hitamnya Rene Girard. Dan apa yang saya cari itu telah menggoncangkan keimanan. Benar-benar tak disangka. Kita tidak bisa menelan mentah-mentah apa yang disampaikan oleh orang lain. Harus benar-benar kita cerna. Bila perlu, kita yakinkan dengan bertanya kepada orang yang menurut kita mengerti dan memberi pemahaman yang lebih dalam lagi. Mengapa saya mengatakan hal ini?

Agama tidak mengajarkan kekerasan. Itu adalah doktrin yang kita terima selama ini. Tapi, di sisi lain, kita diperintahkan untuk berkorban, menyembelih binatang. “Bukankah itu sebuah kekerasan?”. Setelah berulang kali didesak oleh teman-teman hang out saya untuk memulai diskusi, akhirnya saya antarkan apa yang saya baca itu menjadi sebuah sajian hangat ditengah iringan musik yang membuat bicara kami sedikit teriak.

Dua orang menyampaikan ketidaksetujuannya atas pernyataan yang saya sampaikan terkait kurban bagian dari kekerasan. Sedangkan tiga orang lain (anggotanya tambah satu) hanya menyimak saja. Atau mungkin malah lebih menikmati musiknya. Hehe...

Alasan ketidaksetujuannya itu Nabi Ismail urung disembelih sebab diganti dengan seekor kambing. Dan penyembelihan seekor kambing baginya bukanlah suatu kekerasan karena itu diperbolehkan bahkan dianjurkan agama. Berbeda dengan kita menyembelih kucing, itu tidak diperbolehkan dan itu kekerasan. Pandangannya itu saya kembalikan dengan pertanyaan, “Lantas apa perbedaan kucing, ayam, dan kambing ketika semuanya itu berstatus binatang?”

Hal ini dibahas cukup dalam oleh Ahmad Faizin Karimi dalam bukunya Kurban Kekerasan dalam Bingkai Agama Analisa Teori Kambing Hitam Rene Girard yang dapat saya baca di Google Books. Kajian ini menarik baginya untuk diperdalam mengingat pertama, kurban merupakan ritus Islam yang dijalankan dalam beberapa ibadah, yakni haji, anjuran kurban pada yaum al-nahr, dan aqiqah. Kedua, objek kajian yang diteliti oleh Girard adalah agama primitif sampai Kristen. Islam tidak masuk dalam kajiannya. Ini juga yang menggugahnya apakah teori tersebut relevan jika diterapkan dalam Islam mengingat kitab suci yang menjadi sumber utama kajian Girard itu sudah tidak lagi murni. Ketiga, teori ini cukup disambut hangat oleh para ilmuwan dan analis mengingat fakta yang terjadi banyaknya kekerasan yang timbul karena motif agama.

Pengandaian yang cukup menohok dari Ahmad Faizin Karimi terkait kaitan teori Kambing Hitam dengan ritual kurban adalah, “Jika benar bahwa pelaksanaan ritus kurban adalah sebagai mekanisme penyaluran hasrat kekerasan dan bukan dalam rangka sarana mendekatkan diri kepada Allah Swt. seperti yang tertulis dalam Al-Quran maka sama saja agama telah membohongi pemeluknya, ‘memanipulasi’ demikian kata Girard” (Karimi, 2012). Ini didasarkan pada tesis Girard, yakni bagaimana mungkin agama mengajarkan pemeluknya untuk tidak menipu, sedangkan agama sendiri merupakan institusi yang dilandasi penipuan? Jika agama hanyalah institusi yang menangani kekerasan, maka apakah pada zaman modern saat ini yang penanganan kekerasan sudah ditangani oleh institusi formal mengartikan agama sudah tidak lagi berguna, usang?

Apakah pengandaian demikian patut kita percayai? Nanti dulu sahabat. Kita jangan gegabah dalam mengambil sikap. Apalagi ini berkaitan dengan ideologi dan teologi. Yang dipertaruhkan itu keimanan kita. Saya menyelesaikan tulisan ini di sini saja. Mengingat waktu Subuh sudah tidak lama lagi akan tiba. Mata saya sudah tidak karuan lagi. Tenaga saya sudah tidak tahan lagi. Ingin segera rebah dan gapai mimpi indah. Mungkin saja Girard akan hadir untuk menjelaskan teorinya agar tidak salah saya pahami.

Ada satu ulasan tentang teori ini yang cukup menangkal teori Kambing Hitam tersebut. Ulasan yang saya baca merupakan tulisan Ahmad Faizin Karimi pada blog pribadinya, ahmadfk.wordpress.com yang ditulis pada 2 September 2009. Pertama, Girard sendiri menyatakan bahwa teorinya tersebut tidak dapat difalsifikasi. Artinya tidak dapat dibenarkan keilmiahannya mengingat teori tersebut tidak berdasarkan fakta yang jelas. Kedua, teorinya berpotensi memandang tinggi ajaran agamanya dan memandang rendah ajaran agama lain karena kajiannya hanya sampai pada bibel, tidak masuk ke Al-Quran. Ketiga, teori ini mungkin relevan untuk ritus korbani agama primitif yang terkesan sadis, sedangkan dalam Islam sendiri diusahakan untuk tidak menyakiti. Artinya dalam satu kali penyembelihan, binatang itu langsung meninggal. Keempat, hukum legal tidak akan dapat menggantikan hukum agama. Kelima, Girard hanya memfokuskan pandagannya pada ritus saja, padahal dalam agama masih ada kredo (keimanan) dan norma (perintah dan larangan).

Jika sahabat mau tanya bagaimana sikap kita pada hal-hal yang telah dikemukakan tadi, maka saya mengajukan dua tiga solusi, pertama, silakan baca buku atau tulisan yang membahas secara lengkap tentang hal itu. Karena di sini saya hanya mengantarkan saja. Saya tidak mau berfatwa (emangnya saya siapa). Kedua, sahabat bisa tanya kepada ahlinya. Dan yang terakhir jika kesemunya belum atau mungkin tidak dapat dilakukan, maka saran saya terakhir adalah istafti qalbak wa in aftaka al-muftun, mintalah pendapat hati nuranimu meskipun mufti telah berfatwa padamu.

Muhammad Syakir Niamillah

Tepat Subuh, Pare, 28 Februari 2016

Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »