Our Feeds

Motto

Etik, Estetik, Puitik

Selamat Mengaji

Mengaji Sepanjang Hari

Kamis, 25 Februari 2016

Syakir NF

Bersama Cerita Calon Arang Selama Perjalanan

Penulis dan teman-teman di PDS. HB. Jassin
Beberapa hari yang lalu saya dengar berita bahwa Jakarta Selatan adalah kota termacet se-Indonesia. Hal ini saya rasa tidak berlebihan, karena saya merasakan sendiri betapa Jakarta seperti kota mati yang tidak bisa bergerak sama sekali. Perjalanan yang harusnya dapat ditempuh setengah jam, bisa memakan jarak tempuh dua jam lebih. Menurut saya, ini sudah lebih dari keterlaluan. Tapi hal ini pula membuat diri saya semakin menikmati perjalanan. Sebab meskipun sendirian saya selalu ditemani novel yang selalu setia di tas saya dan selalu berganti tiap minggunya.

Bagi saya yang ponselnya tidak dapat membawa saya berselancar di media sosial, tentulah sangat jenuh sekali bila mata ini hanya menikmati jalanan yang penuh dengan kendaraan.Oleh karena itu, saya manjakan mata yang sudah harus dibantu dengan lensa minus 3.5 ini dengan novel yang selalu siap sedia dinikmati kisah-kisah menariknya.

Tadi siang, saya terpaksa harus mengunjungi Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin yang terletak di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat karena saya sudah kehabisan akal untuk menemukan referensi tentang Muhammad Yamin dan karya-karyanya yang nantinya akan saya presentasikan pada mata kuliah Kajian Puisi. Sudah saya cari di perpustakaan utama universitas dan perpustakaan fakultas, tidak berjumpa pula kecuali satu buku karya A. Teeuw yang itu juga hanya memuat satu judul tentang beliau dan hanya beberapa halaman saja. Satu referensi dan tidak begitu luas membuat saya tidak merasa cukup. Hal ini yang membuat saya terpaksa untuk merelakan waktu dan tentunya biaya yang sudah sangat limit sekali karena beasiswa belum turun lagi.

Sepanjang perjalanan, saya bercumbu dengan Pramoedya Ananta Toer melalui Cerita Calon Arang. Dari situ, saya tahu asal mula kota Blora, kejamnya Calon Arang terhadap rakyat Daha, bijaksananya Erlangga dalam memimpin kerajaan, dan hebatnya Pendeta Mpu Baradah.

Di halte UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saya mengawali novel yang terdiri dari 92 halaman ini. Kemudian saya lanjutkan di angkot D 01 dan P 20. Sampai di Pusat Dokumentasi Sastra Hans Bague Jassin (PDS. HB. Jassin), lebih dari setengah sudah saya habiskan.

Di PDS. HB. Jassin, saya berhenti membaca buku tersebut karena fokus pada dokumentasi yang saya cari untuk mata kuliah Kajian Puisi. Selain itu, saya juga menyempatkan diri untuk berbincang dengan kritikus sastra dari Universitas Indonesia, Bapak Maman S. Mahayana. Karena beliau berasal dari tanah Gunung Jati, saya mengenalkan diri yang ternyata kami tetangga kecamatan. Saya di Astanajapura, beliau di daerah Karang Suwung atau Karang Sembung saya lupa.

Setelah mendapat apa yang dicari, mie instan pun telah dinikmati, akhirnya saya pulang. Di Kopaja 20 yang tidak ber-AC, saya duduk di kursi paling depan. Meskipun ugal-ugalan, saya tetap khidmat menikmati dongengnya Mas Pram. Sampai di daerah Kuningan, Cerita Calon Arang rampung dibaca.
Daripada lelah melihat kemacetan, pun mendengar kebisingan yang bersumber dari mesin tua, masih mending saya fokuskan otak ke bacaan. Akhirnya, saya tidak lagi peduli dengan arah kemudi yang tak karuan, salip sana-sini. Oleh karena itu, di manapun dan kapanpun, kita boleh tetap membaca. Tidak seperti salat yang tempatnya harus suci dari najis, waktunya harus tepat, dan pelakunya harus suci dari hadas dan najis, membaca dan pembaca tidak ada syarat khusus. J


Muhammad Syakir Niamillah
Ciputat, 1 April 2015

Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »