Penulis dan teman-teman di PDS. HB. Jassin |
Bagi saya yang ponselnya tidak dapat membawa
saya berselancar di media sosial, tentulah sangat jenuh sekali bila mata ini
hanya menikmati jalanan yang penuh dengan kendaraan.Oleh karena itu, saya
manjakan mata yang sudah harus dibantu dengan lensa minus 3.5 ini dengan novel
yang selalu siap sedia dinikmati kisah-kisah menariknya.
Tadi siang, saya terpaksa harus mengunjungi
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin yang terletak di Taman Ismail Marzuki,
Cikini, Jakarta Pusat karena saya sudah kehabisan akal untuk menemukan
referensi tentang Muhammad Yamin dan karya-karyanya yang nantinya akan saya
presentasikan pada mata kuliah Kajian Puisi. Sudah saya cari di perpustakaan
utama universitas dan perpustakaan fakultas, tidak berjumpa pula kecuali satu
buku karya A. Teeuw yang itu juga hanya memuat satu judul tentang beliau dan
hanya beberapa halaman saja. Satu referensi dan tidak begitu luas membuat saya
tidak merasa cukup. Hal ini yang membuat saya terpaksa untuk merelakan waktu
dan tentunya biaya yang sudah sangat limit sekali karena beasiswa belum turun
lagi.
Sepanjang perjalanan, saya bercumbu dengan
Pramoedya Ananta Toer melalui Cerita Calon Arang. Dari situ, saya tahu asal
mula kota Blora, kejamnya Calon Arang terhadap rakyat Daha, bijaksananya
Erlangga dalam memimpin kerajaan, dan hebatnya Pendeta Mpu Baradah.
Di halte UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saya
mengawali novel yang terdiri dari 92 halaman ini. Kemudian saya lanjutkan di
angkot D 01 dan P 20. Sampai di Pusat Dokumentasi Sastra Hans Bague Jassin
(PDS. HB. Jassin), lebih dari setengah sudah saya habiskan.
Di PDS. HB. Jassin, saya berhenti membaca buku
tersebut karena fokus pada dokumentasi yang saya cari untuk mata kuliah Kajian
Puisi. Selain itu, saya juga menyempatkan diri untuk berbincang dengan kritikus
sastra dari Universitas Indonesia, Bapak Maman S. Mahayana. Karena beliau
berasal dari tanah Gunung Jati, saya mengenalkan diri yang ternyata kami
tetangga kecamatan. Saya di Astanajapura, beliau di daerah Karang Suwung atau
Karang Sembung saya lupa.
Setelah mendapat apa yang dicari, mie instan
pun telah dinikmati, akhirnya saya pulang. Di Kopaja 20 yang tidak ber-AC, saya
duduk di kursi paling depan. Meskipun ugal-ugalan, saya tetap khidmat menikmati
dongengnya Mas Pram. Sampai di daerah Kuningan, Cerita Calon Arang
rampung dibaca.
Daripada lelah melihat kemacetan, pun
mendengar kebisingan yang bersumber dari mesin tua, masih mending saya fokuskan
otak ke bacaan. Akhirnya, saya tidak lagi peduli dengan arah kemudi yang tak
karuan, salip sana-sini. Oleh karena itu, di manapun dan kapanpun, kita boleh
tetap membaca. Tidak seperti salat yang tempatnya harus suci dari najis,
waktunya harus tepat, dan pelakunya harus suci dari hadas dan najis, membaca
dan pembaca tidak ada syarat khusus. J
Muhammad Syakir Niamillah
Ciputat, 1 April 2015