Our Feeds

Motto

Etik, Estetik, Puitik

Selamat Mengaji

Mengaji Sepanjang Hari

Kamis, 25 Februari 2016

Syakir NF

Mata yang Selalu Dicuri Kantuk

Jika kantuk sudah menyeruduk, tangan langsung ngelumpruk.

Hampir setiap malam aku menidurinya. Iya, meniduri. Meniduri itu artinya mataku tertutup sempurna tanpa memandanginya penuh arti.
Sebenarnya aku ingin sekali menikmati malam yang meski tanpa bintang hingga begitu kelam dan gerimis pun turun begitu ritmis bersamanya saja. Berdua. Tanpa boleh ada siapapun yang mengganggu  kemesraan dan kehangatan di antara kami. Karena bagiku, kesempatan tidak bakal datang untuk kali kedua dan seterusnya. Ada pun bila kesempatan yang persis sama itu datang di lain waktu, tentu itu sangat berbeda dengan saat kali pertama mendapat kesempatan tersebut. Oleh karena itu, aku bakal kunci pintu kamarku itu. Kuncinya bakal aku simpan di tempat yang siapapun tidak ada yang boleh tahu. Karena, bila itu ketahuan, bakal ada yang mengambil dan membuka pintu kamarku, tentu rencana aku yang ingin berduaan dengannya bakal gagal total. Kesempatanku itu akan hilang begitu saja.
Aku sudah melakukan rencana itu selalu gagal. Berpuluh atau mungkin sudah beratus kali aku melancarkan strategi hanya untuk menikmati malam yang meski tanpa bintang hingga begitu kelam dan diiringi lantunan ritmis gerimis bersamanya saja. Berdua saja. Gagal segagal-gagalnya. Gagal total. Entah, aku harus melakukan hal seperti apa lagi. Strategi yang bagaimana lagi. Sampai strategi yang dibuatkan oleh panglima komando strategi pun tetap sama hasilnya, gagal.
Setiap kali aku berhasil membuka bajunya, tiba-tiba seketika itu pula mataku hilang. Telinga pun lari ketakutan. Mungkin dia juga takut hal tersebut akan menimpanya juga. Jadi ia lari saja. Tanpa memedulikanku. Tangan yang sudah penuh gairah untuk membelai tubuhnya itu jatuh terkulai begitu saja tak punya tenaga. Singkatnya, seluruh energiku tak bersisa bersamaan saat mataku sudah tidak ada lagi di tempat yang semestinya.
Aku tidak ingat pasti kapan kali pertama aku dipertemukan dengannya. Yang pasti, aku dikenalkan oleh orangtuaku semenjak kecil. Untuk jam berapa, hari apa, dan tanggal berapanya, saat pertama kali aku dikenalkan, aku tidak pernah menanyakan hal itu kepada orangtuaku. Jadi, tak perlulah menanyakan akan hal itu, aku tak tahu sama sekali. Dan sepertinya itu mungkin tak begitu penting. Yang pasti, sepertinya, aku semenjak kecil telah dijodohkan orangtuaku untuk selalu mencintai, mengasihi, dan menemaninya sepanjang hari selama hidupku tanpa boleh sekalipun aku alpa dalam menjaganya. Kalau sekali saja orangtuaku tahu, aku tidak menemaninya setiap kali waktuku senjang, maka tak ayal lisan orangtuaku itu akan menendang hatiku begitu keras meski tanpa pernah tangan ataupun kaki melayang begitu deras dan tegas.
Tapi, aku sering mencuri waktu untuk tidak bersamanya dahulu dan kini aku menyesal akan hal itu. Dulu, setiap kali pancaindra orangtuaku tidak fokus terhadapku, aku lari terbirit-birit menuju lapangan yang dikelilingi pohon asam. Luasnya lapangan itu tertutupi bayangan pohon. Setiap aku mencuri waktu untuk bermain di sana, kulitku tak pernah disentuh oleh raja siang. Bersama teman-temanku yang juga mungkin sama denganku, aku bermain sepakbola. Saat itu, aku seringkali dipaksa jadi penunggu gawang. Karena timku hebat-hebat meski aku sendiri tidak sehebat mereka yang oleh karenanya aku hanya jadi penunggu gawang, aku amat sangat jarang mendapatkan bola. Tapi, sekalinya waktu, kawan setimku begitu asik menyerang dan bola tiba-tiba ada di kaki tim lawan, maka aku terpaksa sendirian menghadapi lawan yang datang seperti polisi sedang menggerebek tempat pencarian. Mereka begitu asik mempermainkanku. Bola itu berpindah-pindah dari kaki ke kaki. Kawan-kawanku sepertinya kelelahan karena terus berlari hingga mereka seperti tak peduli dengan keadaanku yang merasa seperti digrebek polisi. Saat tiba di hadapan gawang, aku mengejarnya. Tapi bukannya bola itu diarahkan ke gawang, malah di arahkan ke teman yang berada di sebelah kanan bagian pertahanan timku. Kalau saja bola itu mengarah ke gawang, mungkin aku dapat menangkapnya, atau setidaknya aku dapat menepisnya, atau mungkin juga aku dapat seperti penjaga gawang di film kartun, meninju bola itu hingga bola itu terpental mengudara, tinggi. Tapi lawanku itu tidak bermain egois. Aku tak dapat menghalau bola itu datang ke temannya. Gawang pun kosong tanpa penjagaan. Bola itu dengan enaknya digelindingkan ke gawang dengan kaki kirinya tanpa mengeluarkan begitu banyak tenaga.
“Gooooooooool”, mereka berteriak merayakan keberhasilannya, meluapkan kegembiraannya. Aku pun terduduk menekuk dua kakiku dan membenamkan kepalaku di atasnya.
“Gimana sih kamu?!.Gak becus banget jadi penjaga gawang”.
“Baru segitu saja kebobolan”.
Makian datang terus menerus. Giliran kebobolan saja, aku dimaki-maki tiada habisnya. Tapi, saat aku menangkis tendangan atau bahkan aku menjatuhkan badanku sampai tanganku lecet karena lapangan itu tiada berumput dan berhasil menangkap bola itu, aku tidak mendapatkan penghargaan apa-apa. Penghargaan bagiku bukan saja berbentuk sarung tangan emas seperti yang didapat penjaga gawang terbaik di gelaran piala dunia, tapi tepuk tangan dan sanjungan berupa ucapan pun sudah cukup bagiku. Aku tidak mengharap lebih sedikitpun. Sama sekali tidak berharap. Inilah yang menjadi kekesalanku tiap aku mencuri waktu untuk sekadar mencari kesenangan. Tapi yang didapat malah kesengsaraan. Dia pun sengsara di kamar sendiri. Menanti kedatanganku dengan begitu setia. Dia tidak pernah merasa cemburu ataupun menanyakan aku dari mana dan dengan siapa.
Maka, hal itu pula yang menjadi penyesalanku saat ini. Kenapa aku tidak menggunakan waktu itu untuk berdua dengannya saja. Aku mencari waktu untuk sesuatu yang ah, pokoknya aku menyesal. Sudahlah. Sudah, aku tidak ingin membahas penyesalanku. Itu sudah berlalu. Itu sudah menjadi kenangan pahitku. Belajar dari itu, bagaimana sekarang aku harus menggunakan waktu semaksimal mungkin untuk mendapatkan manfaat yang maksimal pula.
Aku ingat kiai pernah mengutarakan firman Tuhan dalam ceramahnya, bahwa jiwa kita itu dituntut untuk melihat sesuatu yang telah terjadi sebagai pelajaran untuk masa depan. O, aku baru paham hari ini. Pantas saja santri di pesantren manapun mempelajari sejarah. Biasanya mereka mengaji kitab Nurul Yaqin dan al-Barzanji atau Madarij as-Su’ud. Mereka mengaji bagaimana Nabi semasa hidupnya. Begitupula para siswa di sekolah, belajar bagaimana negeri ini bisa berdiri. Bagaimana bangsa ini dahulu begitu gagah menghadapi para penjajah.
Berarti, aku tidak boleh melupakan hal yang pernah terjadi, yang pernah aku alami. Sepahit apapun itu. Biarkan itu kujadikan pelajaran yang paling berharga. O, iya. Aku jadi ingat lagi. “Pengalaman adalah guru yang terbaik”, kata orang-orang.
Aku selalu menganggap malam adalah malam terakhir bagiku untuk dapat berjumpa dengannya. Aku berharap dengan anggapan itu, aku dapat memaksimalkan waktu malam bersamanya. Anggapan itu terinspirasi dari ungkapan yang aku dengar dari kiai saat di pesantren dulu, “bekerjalah untuk duniamu, seakan-akan kamu akan hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan esok nanti kamu akan mati”. Anggapan itu tidak punya tenaga. Efeknya tidak mengada.
Setiap kali aku mencoba kembali untuk dapat menikmati tubuhnya tanpa bersisa sedikitpun, setiap itu pula aku selalu gagal. Aku selalu kecolongan. Mataku kembali hilang. Pandangku terbang. Sepeti biasa, tangan ngelumpruk tak berdaya. Telinga kabur entah ke mana. Malam itu pun aku menidurinya lagi. Meniduri tanpa pernah bisa memandangi seluruh tubuhnya penuh arti. Menidurinya lagi tanpa pernah pamit permisi apalagi meninggalkan ucapan “selamat malam”, “semoga mimpimu indah”, ataupun “semoga pagimu bahagia”.
Aku baru paham bahwa yang mencuri mataku itu si kantuk. Kantuk yang selalu datang tiba-tiba dengan menyeruduk, membuat tangan jadi ngelumpruk, dan telinga pun lari tak lagi dapat menikmati merdunya nyanyian jangkrik yang diiringi alunan gerimis yang begitu ritmis. Setiap kali itu terjadi, aku tak dapat berkutik apa-apa. Lihat saja video orang diseruduk binatang seperti kambing, sapi, kerbau, atau bahkan banteng, sulit baginya untuk melawan. Lari pun akan dikejar terus. Begitu pula aku yang diseruduk makhluk bernama kantuk.
Pagi ini pun sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Aku terbagun dengan penuh penyesalan. Menyesal dengan sesal yang sangat. Semalam, mataku kembali dicuri kantuk. Bukan aku menyalahkan kantuk. Sama sekali aku tidak menyalahkan. Aku menyebutnya karena memang dia yang mencuri. Aku tidak mungkin menyebut nama lain. Wong jelas-jelas dia yang mencurinya. Aku saja yang selalu lengah saat dia datang tiba-tiba. Aku sampai saat ini belum punya cara jitu untuk menangkal datangnya si Kantuk itu. Untuk menghalanginya agar dia tak lagi mencuri mataku saat aku ingin bermalam dengan dia yang telah aku kenal semenjak kecil, dan baru setelah aku boleh memiliki kartu tanda penduduk, tubuhnya itu begitu menggodaku. Aku ingin menikmati seluruh tubuhnya tanpa tersisa sehelai bulu pun. Karena bila saja sehelai bulu itu terlewatkan, maka akan menimbulkan perbedaan paham.
Setelah aku mandi dan mengenakan pakaian yang paling cocok dan tentunya bagus untuk hari ini, aku berangkat sendiri menuju kampus tempat aku menimba ilmu. Iya. Kini aku duduk di bangku kuliah tanpa harus mengikuti tes seperti teman-teman yang lain. Aku hanya memperlihatkan nilai raporku saja dan diterima begitu saja. Aku sangat mensyukurinya saat itu meski aku tak tega dengan teman-temanku, terlebih dengan Rama yang melalui komputer miliknya, aku tahu bahwa aku diterima dan tidak enaknya itu ketika ternyata Rama tidak senasib denganku.
Akhirnya, karena semalam aku tidak menikmati tubuhnya yang meski begitu menggoda, maka aku di kelas hanya menjadi pendengar setia tanpa pernah mulutku angkat bicara. Aku mau bicara apa?! Sedang semalam saja, aku hanya menidurinya tanpa memandangi setiap lekak-lekuk tubuhnya, sehelai bulunya pun tidak.
Malam ini, aku harus memandanginya. Seluruh tubuhnya. Tanpa terkecuali sedikitpun meski hanya sehelai bulunya. Aku ingin esok tidak hanya menjadi pendengar setia, tapi suaraku keluar menggema.

Ciputat, 18 Maret 2015
Muhammad Syakir Niamillah
Cerpen ini merupakan hasil dari tugas akhir mata kuliah Pembelajaran Menulis

Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »

1 komentar:

Write komentar
bayiqory
AUTHOR
26 Februari 2018 pukul 23.57 delete

Hahahaa
Rasakan lucu to menginspirasi 😍😍

Penangkal kantuknya ada di surat al.anbiya ayat 42.. untuk semalam dibaca 42x untuk sehari semalam dikalikan dua.. ijazah dr Jagasatru Habib Umar Yahya

Reply
avatar