Hampir setiap malam aku menidurinya. Iya, meniduri. Meniduri itu
artinya mataku tertutup sempurna tanpa memandanginya penuh arti.
Sebenarnya aku ingin sekali menikmati malam yang meski tanpa
bintang hingga begitu kelam dan gerimis pun turun begitu ritmis bersamanya
saja. Berdua. Tanpa boleh ada siapapun yang mengganggu kemesraan dan kehangatan di antara kami.
Karena bagiku, kesempatan tidak bakal datang untuk kali kedua dan seterusnya.
Ada pun bila kesempatan yang persis sama itu datang di lain waktu, tentu itu
sangat berbeda dengan saat kali pertama mendapat kesempatan tersebut. Oleh
karena itu, aku bakal kunci pintu kamarku itu. Kuncinya bakal aku simpan di
tempat yang siapapun tidak ada yang boleh tahu. Karena, bila itu ketahuan,
bakal ada yang mengambil dan membuka pintu kamarku, tentu rencana aku yang
ingin berduaan dengannya bakal gagal total. Kesempatanku itu akan hilang begitu
saja.
Aku sudah melakukan rencana itu selalu gagal. Berpuluh atau mungkin
sudah beratus kali aku melancarkan strategi hanya untuk menikmati malam yang
meski tanpa bintang hingga begitu kelam dan diiringi lantunan ritmis gerimis
bersamanya saja. Berdua saja. Gagal segagal-gagalnya. Gagal total. Entah, aku
harus melakukan hal seperti apa lagi. Strategi yang bagaimana lagi. Sampai
strategi yang dibuatkan oleh panglima komando strategi pun tetap sama hasilnya,
gagal.
Setiap kali aku berhasil membuka bajunya, tiba-tiba seketika itu
pula mataku hilang. Telinga pun lari ketakutan. Mungkin dia juga takut hal
tersebut akan menimpanya juga. Jadi ia lari saja. Tanpa memedulikanku. Tangan
yang sudah penuh gairah untuk membelai tubuhnya itu jatuh terkulai begitu saja
tak punya tenaga. Singkatnya, seluruh energiku tak bersisa bersamaan saat
mataku sudah tidak ada lagi di tempat yang semestinya.
Aku tidak ingat pasti kapan kali pertama aku dipertemukan
dengannya. Yang pasti, aku dikenalkan oleh orangtuaku semenjak kecil. Untuk jam
berapa, hari apa, dan tanggal berapanya, saat pertama kali aku dikenalkan, aku
tidak pernah menanyakan hal itu kepada orangtuaku. Jadi, tak perlulah
menanyakan akan hal itu, aku tak tahu sama sekali. Dan sepertinya itu mungkin
tak begitu penting. Yang pasti, sepertinya, aku semenjak kecil telah dijodohkan
orangtuaku untuk selalu mencintai, mengasihi, dan menemaninya sepanjang hari
selama hidupku tanpa boleh sekalipun aku alpa dalam menjaganya. Kalau sekali
saja orangtuaku tahu, aku tidak menemaninya setiap kali waktuku senjang, maka tak ayal
lisan orangtuaku itu akan menendang hatiku begitu keras meski tanpa pernah
tangan ataupun kaki melayang begitu deras dan tegas.
Tapi, aku sering mencuri waktu untuk tidak bersamanya dahulu dan
kini aku menyesal akan hal itu. Dulu, setiap kali pancaindra orangtuaku tidak
fokus terhadapku, aku lari terbirit-birit menuju lapangan yang dikelilingi
pohon asam. Luasnya lapangan itu tertutupi bayangan pohon. Setiap aku mencuri
waktu untuk bermain di sana, kulitku tak pernah disentuh oleh raja siang.
Bersama teman-temanku yang juga mungkin sama denganku, aku bermain sepakbola.
Saat itu, aku seringkali dipaksa jadi penunggu gawang. Karena timku hebat-hebat
meski aku sendiri tidak sehebat mereka
yang oleh karenanya aku hanya jadi penunggu gawang, aku amat sangat jarang
mendapatkan bola. Tapi, sekalinya waktu, kawan setimku begitu asik menyerang
dan bola tiba-tiba ada di kaki tim lawan, maka aku terpaksa sendirian
menghadapi lawan yang datang seperti polisi sedang menggerebek tempat
pencarian. Mereka begitu asik mempermainkanku. Bola itu berpindah-pindah dari
kaki ke kaki. Kawan-kawanku sepertinya kelelahan karena terus berlari hingga
mereka seperti tak peduli dengan keadaanku yang merasa seperti digrebek polisi.
Saat tiba di hadapan gawang, aku mengejarnya. Tapi bukannya bola itu diarahkan
ke gawang, malah di arahkan ke teman yang berada di sebelah kanan bagian
pertahanan timku. Kalau saja bola itu mengarah ke gawang, mungkin aku dapat
menangkapnya, atau setidaknya aku dapat menepisnya, atau mungkin juga aku dapat
seperti penjaga gawang di film kartun, meninju bola itu hingga bola itu
terpental mengudara, tinggi. Tapi lawanku itu tidak bermain egois. Aku tak
dapat menghalau bola itu datang ke temannya. Gawang pun kosong tanpa penjagaan.
Bola itu dengan enaknya digelindingkan ke gawang dengan kaki kirinya tanpa
mengeluarkan begitu banyak tenaga.
“Gooooooooool”, mereka berteriak merayakan keberhasilannya,
meluapkan kegembiraannya. Aku pun terduduk menekuk dua kakiku dan membenamkan
kepalaku di atasnya.
“Gimana sih kamu?!.Gak becus banget jadi penjaga gawang”.
“Baru segitu saja kebobolan”.
Makian datang terus menerus. Giliran kebobolan saja, aku
dimaki-maki tiada habisnya. Tapi, saat aku menangkis tendangan atau bahkan aku
menjatuhkan badanku sampai tanganku lecet karena lapangan itu tiada berumput
dan berhasil menangkap bola itu, aku tidak mendapatkan penghargaan apa-apa.
Penghargaan bagiku bukan saja berbentuk sarung tangan emas seperti yang didapat
penjaga gawang terbaik di gelaran piala dunia, tapi tepuk tangan dan sanjungan
berupa ucapan pun sudah cukup bagiku. Aku tidak mengharap lebih sedikitpun.
Sama sekali tidak berharap. Inilah yang menjadi kekesalanku tiap aku mencuri
waktu untuk sekadar mencari kesenangan. Tapi yang didapat malah kesengsaraan.
Dia pun sengsara di kamar sendiri. Menanti kedatanganku dengan begitu setia.
Dia tidak pernah merasa cemburu ataupun menanyakan aku dari mana dan dengan
siapa.
Maka, hal itu pula yang menjadi penyesalanku saat ini. Kenapa aku
tidak menggunakan waktu itu untuk berdua dengannya saja. Aku mencari waktu
untuk sesuatu yang ah, pokoknya aku menyesal. Sudahlah. Sudah, aku tidak ingin
membahas penyesalanku. Itu sudah berlalu. Itu sudah menjadi kenangan pahitku.
Belajar dari itu, bagaimana sekarang aku harus menggunakan waktu semaksimal
mungkin untuk mendapatkan manfaat yang maksimal pula.
Aku ingat kiai pernah mengutarakan firman Tuhan dalam ceramahnya,
bahwa jiwa kita itu dituntut untuk melihat sesuatu yang telah terjadi sebagai
pelajaran untuk masa depan. O, aku baru paham hari ini. Pantas saja santri di
pesantren manapun mempelajari sejarah. Biasanya mereka mengaji kitab Nurul
Yaqin dan al-Barzanji atau Madarij as-Su’ud. Mereka mengaji
bagaimana Nabi semasa hidupnya. Begitupula para siswa di sekolah, belajar
bagaimana negeri ini bisa berdiri. Bagaimana bangsa ini dahulu begitu gagah
menghadapi para penjajah.
Berarti, aku tidak boleh melupakan hal yang pernah terjadi, yang
pernah aku alami. Sepahit apapun itu. Biarkan itu kujadikan pelajaran yang
paling berharga. O, iya. Aku jadi ingat lagi. “Pengalaman adalah guru yang
terbaik”, kata orang-orang.
Aku selalu menganggap malam adalah malam terakhir bagiku untuk
dapat berjumpa dengannya. Aku berharap dengan anggapan itu, aku dapat
memaksimalkan waktu malam bersamanya. Anggapan itu terinspirasi dari ungkapan
yang aku dengar dari kiai saat di pesantren dulu, “bekerjalah untuk duniamu,
seakan-akan kamu akan hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu
seakan-akan esok nanti kamu akan mati”. Anggapan itu tidak punya tenaga.
Efeknya tidak mengada.
Setiap kali aku mencoba kembali untuk dapat menikmati tubuhnya
tanpa bersisa sedikitpun, setiap itu pula aku selalu gagal. Aku selalu kecolongan.
Mataku kembali hilang. Pandangku terbang. Sepeti biasa, tangan ngelumpruk
tak berdaya. Telinga kabur entah ke mana. Malam itu pun aku menidurinya lagi.
Meniduri tanpa pernah bisa memandangi seluruh tubuhnya penuh arti. Menidurinya
lagi tanpa pernah pamit permisi apalagi meninggalkan ucapan “selamat malam”,
“semoga mimpimu indah”, ataupun “semoga pagimu bahagia”.
Aku baru paham bahwa yang mencuri mataku itu si kantuk. Kantuk yang
selalu datang tiba-tiba dengan menyeruduk, membuat tangan jadi ngelumpruk,
dan telinga pun lari tak lagi dapat menikmati merdunya nyanyian jangkrik yang
diiringi alunan gerimis yang begitu ritmis. Setiap kali itu terjadi, aku tak
dapat berkutik apa-apa. Lihat saja video orang diseruduk binatang seperti
kambing, sapi, kerbau, atau bahkan banteng, sulit baginya untuk melawan. Lari
pun akan dikejar terus. Begitu pula aku yang diseruduk makhluk bernama kantuk.
Pagi ini pun sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Aku terbagun dengan
penuh penyesalan. Menyesal dengan sesal yang sangat. Semalam, mataku kembali
dicuri kantuk. Bukan aku menyalahkan kantuk. Sama sekali aku tidak menyalahkan.
Aku menyebutnya karena memang dia yang mencuri. Aku tidak mungkin menyebut nama
lain. Wong jelas-jelas dia yang mencurinya. Aku saja yang selalu lengah
saat dia datang tiba-tiba. Aku sampai saat ini belum punya cara jitu untuk
menangkal datangnya si Kantuk itu. Untuk menghalanginya agar dia tak lagi
mencuri mataku saat aku ingin bermalam dengan dia yang telah aku kenal semenjak
kecil, dan baru setelah aku boleh memiliki kartu tanda penduduk, tubuhnya itu
begitu menggodaku. Aku ingin menikmati seluruh tubuhnya tanpa tersisa sehelai
bulu pun. Karena bila saja sehelai bulu itu terlewatkan, maka akan menimbulkan
perbedaan paham.
Setelah aku mandi dan mengenakan pakaian yang paling cocok dan
tentunya bagus untuk hari ini, aku berangkat sendiri menuju kampus tempat aku
menimba ilmu. Iya. Kini aku duduk di bangku kuliah tanpa harus mengikuti tes
seperti teman-teman yang lain. Aku hanya memperlihatkan nilai raporku saja dan
diterima begitu saja. Aku sangat mensyukurinya saat itu meski aku tak tega
dengan teman-temanku, terlebih dengan Rama yang melalui komputer miliknya, aku
tahu bahwa aku diterima dan tidak enaknya itu ketika ternyata Rama tidak
senasib denganku.
Akhirnya, karena semalam aku tidak menikmati tubuhnya yang meski
begitu menggoda, maka aku di kelas hanya menjadi pendengar setia tanpa pernah
mulutku angkat bicara. Aku mau bicara apa?! Sedang semalam saja, aku hanya
menidurinya tanpa memandangi setiap lekak-lekuk tubuhnya, sehelai bulunya pun
tidak.
Malam ini, aku harus memandanginya. Seluruh tubuhnya. Tanpa
terkecuali sedikitpun meski hanya sehelai bulunya. Aku ingin esok tidak hanya
menjadi pendengar setia, tapi suaraku keluar menggema.
Ciputat, 18 Maret 2015
Muhammad Syakir Niamillah
Cerpen ini merupakan hasil dari tugas akhir mata kuliah Pembelajaran Menulis
1 komentar:
Write komentarHahahaa
ReplyRasakan lucu to menginspirasi 😍😍
Penangkal kantuknya ada di surat al.anbiya ayat 42.. untuk semalam dibaca 42x untuk sehari semalam dikalikan dua.. ijazah dr Jagasatru Habib Umar Yahya