Our Feeds

Motto

Etik, Estetik, Puitik

Selamat Mengaji

Mengaji Sepanjang Hari

Kamis, 07 Mei 2015

Syakir NF

Relijiusitas Pengamen Bus Jakarta-Cirebon

Oleh
Muhammad Syakir Niamillah
Pengamen seringkali jadi bahan omongan miring. Bisa karena kurangnya kesopanan yang ditunjukkan, pakaian yang awut-awutan, penampilan yang acak-acakan, ataupun karena mulanya berniatn mengubur luka dan mendatangkan suka, tetapi malah sebaliknya, membawa kabur suka menghadirkan luka. Tidak saja di warung-warung makan pinggir jalan, tak sedikit pula di angkutan umum. Bahkan tak jarang dua pengamen masuk bersamaan dalam satu angkutan dan yang terlambat rela menunggu untuk beberapa waktu guna bergantian.
Mengamen ini dilakukan oleh lintas generasi, dari anak SD yang umurnya belum sampai belasan hingga kakek-kakek yang seluruh rambutnya telah beruban. Di Jakarta, pengamen seringkali terkesan begitu sangar dan menyeramkan. Mereka yang memberikan sebagian hartanya itu bukan karena terhibur dengan penampilannya, tetapi karena ketakutan yang dialaminya. Takut kalau-kalau pengamen tersebut berbuat sesuatu yang tidak diinginkan. Tak jarang pengamen memaksa atau bahkan mengoceh sendiri ketika turun tanpa hasil. Bahkan menggebrak mobil yang ditumpanginya atau mencibir dengan suara yang keras pada orang-orang yang tengah menikmati santap siang atau santap malamnya di warung-warung pinggir jalan.
Minggu lalu kegiatan saya di Jakarta telah rampung semuanya. Akhirnya, senin menjadi hari kepulangan saya dari ibukota ke Cirebon. Sepanjang perjalanan dari terminal Lebak Bulus sampai saya turun, terhitung ada empat pengamen dari empat generasi yang berbeda. Pengamen yang pertama hadir di bus yang saya naiki tersebut adalah anak kecil seumuran kelas lima SD. Dia  berebut masuk dengan teman sebayanya, namun karena dia yang pertama kali masuk, akhirnya temannya itu turun mengalah. Setelah menunggu beberapa menit pedagang berhenti menjajakan barang-barang jualannya, akhirnya ia tampil di deretan kursi depan. Sesudah beberapa lagu ia nyanyikan, akhirnya ia menyodorkan sebuah plastik ke seluruh penumpang.
Pengamen kedua naik ke bus berbarengan dengan pedagang-pedangang asongan. Tidak seperti pengamen pertama, pengamen kedua ini tidak sendirian. Mereka beranggotakan tiga orang, satu orang menyanyi, satu orang memetik gitar, dan seorang lagi menabuh gendang yang dibuat dari paralon dan karet. Simfoni kedua alat musik itu terdengar menyatu tetapi tidak dengan lagu yang dinyanyikan. Suara yang tidak sejalan menghancurkan harmoni musik yang dimainkan dua anggota lainnya. Pengamen yang kira-kira berumur 20-an itu menyanyikan tiga lagu. Sang vokalis mengenakan kacamata pelangi. Entah ia bermaksud apa, tetapi dalam pandangan saya ini cukup aneh. Baju yang tak dikancing dengan lengan yang dilempit, celana dengan bolongan di mana-mana, dan rambut yang (mungkin) tak diurus sehingga berwarna kemerahan dan memanjang ke berbagai arah begitu mencirikan kepengamenan mereka.
Setelah perjalanan berlangsung sekitar empat jam, seorang kakek-kakek bertopi dengan badan yang begitu atletis terlihat masih sangat kuat naik dari pintu belakang bus. Meski terlihat hampir terjatuh karena mobil telah melaju, ia akhirnya berhasil masuk. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya ia tampil juga di bagian depan bus. Suaranya yang tak begitu jelas (karena umur mungkin), tetapi ia tampak asik bernyanyi dengan iringan kecrekan botol berisi kacang hijau yang telah hancur. Topi yang ia kenakan akhirnya diulurkan ke tangan-tangan penumpang setelah menyanyikan sebuah lagu saja (berdurasi panjang).
Sebelum bus masuk tol Palimanan-Kanci, seorang laki-laki berkopyah dengan mengenakan kemeja kotak-kotak lengan panjang, masuk melalui pintu depan. Tak perlu tunggu lama, diiringi irama gerimis, lelaki berumur 40 tahunan itu memulai aksi panggungnya. Setelah tiga lagu ia nyanyikan, ia mengulurkan plastik yang telah ia siapkan dalam kantongnya.
Salawat
Entah karena masih dalam masa-masa maulid Nabi atau mungkin memang karena lingkungan yang membentuknya, semua pengamen yang telah saya ceritakan di atas itu menyanyikan satu tema lagu yang sama, yakni salawat. Dari anak kecil hingga kakek-kakek semua melantunkan puji-pujian untuk manusia yang paling mulia di dunia itu. Ada yang  melantunkan salawat badar, ada salawat yang biasa dibaca dalam mahallul qiyam, ada pula yang melantunkan salawat dengan bahasa Indonesia ala ustadz-ustadz artis. Ini sangatlah jauh perbedaannya dibandingkan ketika saya di angkutan ataupun jalanan di Jakarta. Di sana selain penampilan yang begitu amburadul khas anak jalanan, lagunya pun kalau tidak kritik pemerintah, pasti tentang kebebasan berekspresi akan dirinya itu. Dalam bus Jakarta-Cirebon, meski pengamen itu bertato ia tetap melantunkan salawat dalam kegiatan ngamennya itu.

Apakah itu sebuah nilai relijiusitas seorang pengamen atau bukan? Entahlah. Yang pasti, yang mereka lantunkan itu merupakan perintah dari Allah swt. Dalam al-Qur’an, disebutkan bahwa sesungguhnya Allah dan para malaikatNya itu bersalawat kepada Nabi. Mengapa kita sebagai umatnya tidak?! Bahkan ada sebagian masyarakat yang melarang kegiatan ini. Padahal jelas-jelas Allah memerintahkannya. “Wahai orang-orang beriman, bersalawatlah kepadanya (nabi Muhammad) dan sampaikan salam dengan sebenar-benarnya”.

Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »