Oleh
Muhammad Syakir Niamillah
Pengamen seringkali jadi bahan omongan miring. Bisa karena
kurangnya kesopanan yang ditunjukkan, pakaian yang awut-awutan, penampilan yang
acak-acakan, ataupun karena mulanya berniatn mengubur luka dan mendatangkan
suka, tetapi malah sebaliknya, membawa kabur suka menghadirkan luka. Tidak saja
di warung-warung makan pinggir jalan, tak sedikit pula di angkutan umum. Bahkan
tak jarang dua pengamen masuk bersamaan dalam satu angkutan dan yang terlambat
rela menunggu untuk beberapa waktu guna bergantian.
Mengamen ini dilakukan oleh lintas generasi, dari anak SD yang
umurnya belum sampai belasan hingga kakek-kakek yang seluruh rambutnya telah
beruban. Di Jakarta, pengamen seringkali terkesan begitu sangar dan
menyeramkan. Mereka yang memberikan sebagian hartanya itu bukan karena terhibur
dengan penampilannya, tetapi karena ketakutan yang dialaminya. Takut
kalau-kalau pengamen tersebut berbuat sesuatu yang tidak diinginkan. Tak jarang
pengamen memaksa atau bahkan mengoceh sendiri ketika turun tanpa hasil. Bahkan
menggebrak mobil yang ditumpanginya atau mencibir dengan suara yang keras pada
orang-orang yang tengah menikmati santap siang atau santap malamnya di
warung-warung pinggir jalan.
Minggu lalu kegiatan saya di Jakarta telah rampung semuanya.
Akhirnya, senin menjadi hari kepulangan saya dari ibukota ke Cirebon. Sepanjang
perjalanan dari terminal Lebak Bulus sampai saya turun, terhitung ada empat
pengamen dari empat generasi yang berbeda. Pengamen yang pertama hadir di bus
yang saya naiki tersebut adalah anak kecil seumuran kelas lima SD. Dia berebut masuk dengan teman sebayanya, namun
karena dia yang pertama kali masuk, akhirnya temannya itu turun mengalah.
Setelah menunggu beberapa menit pedagang berhenti menjajakan barang-barang
jualannya, akhirnya ia tampil di deretan kursi depan. Sesudah beberapa lagu ia
nyanyikan, akhirnya ia menyodorkan sebuah plastik ke seluruh penumpang.
Pengamen kedua naik ke bus berbarengan dengan pedagang-pedangang
asongan. Tidak seperti pengamen pertama, pengamen kedua ini tidak sendirian.
Mereka beranggotakan tiga orang, satu orang menyanyi, satu orang memetik gitar,
dan seorang lagi menabuh gendang yang dibuat dari paralon dan karet. Simfoni
kedua alat musik itu terdengar menyatu tetapi tidak dengan lagu yang
dinyanyikan. Suara yang tidak sejalan menghancurkan harmoni musik yang
dimainkan dua anggota lainnya. Pengamen yang kira-kira berumur 20-an itu
menyanyikan tiga lagu. Sang vokalis mengenakan kacamata pelangi. Entah ia
bermaksud apa, tetapi dalam pandangan saya ini cukup aneh. Baju yang tak
dikancing dengan lengan yang dilempit, celana dengan bolongan di mana-mana, dan
rambut yang (mungkin) tak diurus sehingga berwarna kemerahan dan memanjang ke
berbagai arah begitu mencirikan kepengamenan mereka.
Setelah perjalanan berlangsung sekitar empat jam, seorang
kakek-kakek bertopi dengan badan yang begitu atletis terlihat masih sangat kuat
naik dari pintu belakang bus. Meski terlihat hampir terjatuh karena mobil telah
melaju, ia akhirnya berhasil masuk. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya
ia tampil juga di bagian depan bus. Suaranya yang tak begitu jelas (karena umur
mungkin), tetapi ia tampak asik bernyanyi dengan iringan kecrekan botol
berisi kacang hijau yang telah hancur. Topi yang ia kenakan akhirnya diulurkan
ke tangan-tangan penumpang setelah menyanyikan sebuah lagu saja (berdurasi
panjang).
Sebelum bus masuk tol Palimanan-Kanci, seorang laki-laki berkopyah
dengan mengenakan kemeja kotak-kotak lengan panjang, masuk melalui pintu depan.
Tak perlu tunggu lama, diiringi irama gerimis, lelaki berumur 40 tahunan itu
memulai aksi panggungnya. Setelah tiga lagu ia nyanyikan, ia mengulurkan
plastik yang telah ia siapkan dalam kantongnya.
Salawat
Entah karena masih dalam masa-masa maulid Nabi atau mungkin memang
karena lingkungan yang membentuknya, semua pengamen yang telah saya ceritakan
di atas itu menyanyikan satu tema lagu yang sama, yakni salawat. Dari anak
kecil hingga kakek-kakek semua melantunkan puji-pujian untuk manusia yang
paling mulia di dunia itu. Ada yang
melantunkan salawat badar, ada salawat yang biasa dibaca dalam mahallul
qiyam, ada pula yang melantunkan salawat dengan bahasa Indonesia ala ustadz-ustadz
artis. Ini sangatlah jauh perbedaannya dibandingkan ketika saya di angkutan
ataupun jalanan di Jakarta. Di sana selain penampilan yang begitu amburadul
khas anak jalanan, lagunya pun kalau tidak kritik pemerintah, pasti tentang
kebebasan berekspresi akan dirinya itu. Dalam bus Jakarta-Cirebon, meski
pengamen itu bertato ia tetap melantunkan salawat dalam kegiatan ngamennya itu.
Apakah itu sebuah nilai relijiusitas seorang pengamen atau bukan?
Entahlah. Yang pasti, yang mereka lantunkan itu merupakan perintah dari Allah
swt. Dalam al-Qur’an, disebutkan bahwa sesungguhnya Allah dan para malaikatNya
itu bersalawat kepada Nabi. Mengapa kita sebagai umatnya tidak?! Bahkan ada
sebagian masyarakat yang melarang kegiatan ini. Padahal jelas-jelas Allah
memerintahkannya. “Wahai orang-orang beriman, bersalawatlah kepadanya (nabi
Muhammad) dan sampaikan salam dengan sebenar-benarnya”.