Sastra seperti halnya musik, tari, dan lukisan, merupakan karya
seni. Namun, keempatnya memiliki perbedaan media. Jika musik dengan suaranya,
tari dengan gerakannya, dan lukisan dengan warnanya, sastra bermain dengan
bahasanya. Dapat kita simpulkan bahwa sastra merupakan karya seni yang
bermediakan bahasa sebagai pengantarnya.
Sastra erat hubungannya dengan kehidupan kita. Sehingga, sastra
memiliki objek kajian tersendiri untuk mendalami hal tersebut, di antaranya
adalah sosiologi sastra yang membahas tentang sastra dalam hubungannya dengan
masyarakat, psikologi sastra yang membahasa tentang sastra dalam hubungannya
dengan kejiwaan dan perasaan pengarangnya.
Sastra sendiri harus memiliki dua fungsi, yakni menghibur dan
bermanfaat atau dikenal dengan dulce et utile. Menghibur berarti dapat
menjadi sarana ataupun media untuk melenyapkan penat dan mengusir jenuh
jauh-jauh. Sastra juga harus dapat memberikan manfaat untuk kehidupan dengan
nilai-nilai ataupun norma dan moralitas yang terkandung di dalamnya.
Karya sastra terbagi menjadi tiga macam, yakni drama, prosa, dan
puisi. Kita dapat membedakan drama dengan jenis karya sastra lainnya dengan
bentuk tulisannya atau dengan dialognya. Kita dapat melihat perbedaan prosa
dengan jenis karya sastra lainnya dalam bentuknya yang berparagraf. Puisi dapat
kita lihat letak perbedaannya dengan jenis sastra lainnya dengan bait-baitnya.
Sastra dan Kehidupan
Sastra sangat erat hubungannya dengan dunia nyata.
“Apa iya?”
“Kok bisa?”
Tentu. Karena sastra merupakan interpretasi dari lingkungan
pengarang. Hampir semua pengarang atau penulis ataupun kita juga dapat menyebut
orang yang menulis karya sastra dengan sebutan sastrawan, menuliskan atau
mengungkapkan kisah-kisah yang berada di sekitarnya, terutama yang sangat dekat
dan erat dengan dirinya.
Mengutip frase De Bonald bahwa “sastra adalah ungkapan perasaan
masyarakat” (literature is an expression of society).[1]
Sering kita jumpai, puisi yang berisi ungkapan cinta atau bahkan
berisi makian. Ini lahir dari hati sebagai rahim sastra. Lingkungan telah
mengawininya sehingga lahir karya sastra sebagai anaknya. Bisa kita perhatikan
dua petikan puisi karya Usman Arrumy berikut.
“Aku tak tahu kapan kali pertama sukmaku dicipta/ namun aku bahagia
bila kauhirup aku dengan sempurna/ Aku
tak peduli kapan kali terakhir jiwaku akan berdesir/ tapi menjadi nafasmu
adalah cinta yang tiada tertaksir”[2]
(Angin I)
“Kini aku tahu, Zie. Mencintaimu adalah pelaksanaan puisi/ puisi
yang disusun untuk memperjuangkan kesunyian abadi/ Jalan Brawijaya itu adalah
cikal-bakal cinta yang baka: sebuah wilayah di mana kau dan aku sua kali
pertama”[3]
(Ode Seorang Pare)
Dalam puisi pertama yang berjudul Angin I, Usman merasakan
dirinya ingin menjadi seperti angin yang dapat menjadi nafas kekasih yang
didambakannya itu. Pada puisi kedua yang berjudul Ode Seorang Pare,
Usman menyebutkan Jalan Brawijaya sebagai ruang pertama yang mempertemukannya
dengan kekasih yang diidamkannya itu. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa
Usman Arrumy sangat mencintai seseorang yang ia temui pertama kali di Jalan
Brawijaya, Pare.
Sajak-sajak natural yang dibuat sebagai suatu ungkapan kekesalan
dan kebencian terhadap rezim orde baru yang ditulis dan selalu digaungkan
bahkan terkenal sampai saat ini adalah bait terakhir dari puisi karya Wiji
Thukul yang berjudul Peringatan,
“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/ suara dibungkam/ kritik
dilarang tanpa alasan/ dituduh subversive dan mengganggu keamanan/ maka hanya
ada satu kata: lawan!”[4]
(Peringatan)
Dengan membaca puisi ini, kita mengetahui kejamnya zaman orde baru.
Bahkan karena kerasnya puisi yang ia buat dan juga karena aktifitas politiknya
dalam Partai Rakyat Demokratik, Wiji Thukul hilang entah ke mana. Banyak yang
menyangka bahwa ada yang menculiknya dan kemungkinan besar dibunuh bersama
aktivis lain. Dari karya sastra juga kita dapat belajar sejarah. Terlebih
puisi-puisi Taufiq Ismail yang terkumpul dalam buku kumpulan puisinya yang
berjudul Tirani dan Benteng, dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia,
hampir seluruh karyanya merupakan gambaran sejarah.
Jangan dikira orang-orang pesantren tidak bisa jadi sastrawan, K.H.
Ahmad Mustofa Bisri, seorang Wakil Rais Am PBNU yang juga pengasuh salah satu
pondok pesantren di Rembang, juga merupakan seorang sastrawan. Beliau menulis
cerpen dan puisi. Bahkan cerpennya yang berjudul Gus Jakfar meraih penghargaan Asia
Tenggara. Kumpulan puisinya sudah terbit ke dalam lima buku lebih. Saya
sertakan puisi singkatnya beliau,
Puisi yang
sangat pendek ini tidak bisa kita sepelekan begitu saja. Mengapa? Karena
meskipun hanya satu bait dan hanya terdiri dengan empat kata, tapi maknanya
dapat diuraikan menjadi berlembar-lembar halaman. Itulah kelebihan puisi,
mengungkapan banyak makna dengan menggunakan sedikit kata.
“Sejak aku menginjakkan kaki di istana. Aku tak pernah tahu
bagaimana wujud Istana Negara ini. Perasaanku tetap sama seperti memasuki
rumah-rumah kalian, sahabatku. Jika di
halaman Istana ini berkibar sang Merah Putih, begitu juga di halaman rumahku
dan rumah kalian. Warna bendera kita memang sama, Merah dan Putih. Tapi untuk
saat ini, hujan begitu lebat mengguyur halaman rumah kita. Sehingga bendera kita
sama-sama tak bisa berkibar sempurna. Aku hanya berharap hujan tak akan
melunturkan merah-putih kita. Karena aku sangat yakin, matahari akan segera
datang. Selamat berjuang sahabatku, rakyat Indonesia. Perjalanan negeri ini
masih sangat panjang. Selamat berjuang sahabatku, rakyat Indonesia.”[7]
Membaca kutipan dalam novel yang terinspirasi dari kehidupan Gus
Dur ini, kita dapat merasakan (mohon maaf) kebutaan mata seorang Gus Dur. Meski
beliau hidup di istana yang begitu megah, yang segalanya serba mewah, tapi
sesungguhnya beliau tidak merasakan betapa megahnya istana presiden itu seperti
apa. Bahkan, Abdulloh Wong, pengarang novel tersebut, menggambarkan begitu
rinci bagaimana Gus Dur pada akhir masa jabatannya waktu itu, meminta putri
keduanya, Yenni Wahid untuk melepaskan sarung yang saat itu dikenakan Gus Dur.
Beliau lalu keluar dari istana dengan mengenakan kaos lengan pendek dan celana
pendek. Dengan begitu, sejatinya beliau menyatakan diri bahwa beliau bukanlah
presiden Indonesia lagi.
Selain
bernafaskan relijius seperti karya Gus Mus, beraliran natural sebagaimana puisi
Wiji Thukul, ataupun berbau romantis layaknya bait-bait Usman Arrumy yang
begitu ritmis, karya sastra juga terkadang begitu panas penuh gairah
seksualitas.
”Periksa! Masih perawan atau tidak dia!” Tangan
saya secara refleks bergerak memegang rok span saya, tapi tangan saya tidak
bisa bergerak. Ternyata sudah ada dua orang yang masing-masing memegangi tangan
kanan dan tangan kiri saya. Terasa rok saya ditarik. Saya menyepak-nyepak. Lagi-lagi
dua pasang tangan menangkap kedua kaki saya.
”Aaaahhh! Tolongngng!” Saya menjerit. Mulut
saya dibungkam telapak kaki berdaki. Wajah orang yang menginjak mulut saya itu
nampak dingin sekali. Berpuluh-puluh tangan menggerayangi dan meremas-remas
tubuh saya.
”Diem lu Cina!” Rok saya sudah lolos….[8]
Saya mau beranjak, tapi tiba-tiba selangkangan
saya terasa sangat perih. Bagaikan ada tombak dihunjamkan di antara kedua paha
saya.[9]
”Maafkan anak-anak kami,” katanya, ”mereka
memang benci dengan Cina.”[10]
(Clara)
“Warna kuning pada pipinya
masih bersisa. Aku menciumnya. Kuambil dagunya dan kubenamkan bibirku
selama-lamanya. Sukar untuk menahan ketegangan tubuh ini. Bibir Surti begitu
empuk dan manis seperti es krim Baltik. Sulit pula untuk berhenti menanamkkan
lidahku ke segala lekuk tubuhnya. Ke lekuk dadanya. Ke putingnya yang tegang.
Ketika Surti mengeluarkan suara nafas tertahan, aku tak ingin dan tak bisa
berhenti. Jika saja Risjaf menuntut ikan pindang serani pelipur lara itu, aku
akan mengatakan ada guncangan gempa bumi yang merontokkan dapur kami. Kuangkat
Surti ke atas meja dapur. Seluruh tubuhku sudah tertanam ke dalam tubuhnya.
Selama-lamanya. Selama-lamanya.”[11]
Kutipan pertama merupakan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma yang
berjudul Clara. Dalam cerpen tersebut digambarkan betapa sadisnya
perlakuan masyarakat terhadap orang Tiongkok yang pada saat krisis moneter
dianggap sebagai biang keladinya. Padahal tidak semua orang Tiongkok demikian,
meskipun (mungkin) ada sebagian yang berlaku seperti itu. Berbeda dengan Clara
dan keluarganya yang diperlakukan secara paksa, dalam novel Pulang karya
Leila S. Chudori digambarkan betapa kehidupan aktivis itu begitu bebas. Dua
manusia berbeda jenis melakukan hubungan suami istri tanpa merasa bersalah dan
keduanya atas dasar suka sama suka. Sebenarnya novel tersebut menggambarkan
tiga peristiwa penting, yakni G30SPKI 1965, revolusi Prancis Mei 1968, dan
reformasi Indonesia Mei 1998.
Muhammad Syakir Niamillah, Penikmat Sastra
Ciputat, 2015
Ciputat, 2015
[1]Rene
Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusasteraan Diindonesiakan oleh Melani
Budianta , PT. Gramedia Pustaka Utama (Jakarta: 1993), hal. 110
[2]
Usman Arrumy, Mantra Asmara, (Demak: Hasfa Publishing, 2014) hal. 4
[3] Ibid,
hal. 71
[4]
Wiji Thukul, Nyanyian Akar Rumput, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama:
2014), hal. 85
[5]Ahmad
Mustofa Bisri, Ohoi Kumpulan Puisi-Puisi Balsem, Pustaka Firdaus
(Jakarta: 1994), hal. 53
[6]
Abdullah Wong, Mata Penaklik Manaqib Abdurrahman Wahid, (Jakarta:
Expose, 2015), hal. 12
[7]
Abdullah Wong, Mata Penaklik Manaqib Abdurrahman Wahid, (Jakarta:
Expose, 2015), hal. 12
[8]
http://www.duniasukab.com
[9]
http://www.duniasukab.com
[10]
http://www.duniasukab.com
[11]
Leila S. Chudori, Pulang, (Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2012),
hal. 61