Our Feeds

Motto

Etik, Estetik, Puitik

Selamat Mengaji

Mengaji Sepanjang Hari

Kamis, 07 Mei 2015

Syakir NF

Membaca Sastra; Merasakan Tanpa Mengalaminya Sendiri

Penulis sedang pose di depan patung Gus Dur, Taman Amir Hamzah, Menteng, Jakarta Pusat (10/15)
Sastra seperti halnya musik, tari, dan lukisan, merupakan karya seni. Namun, keempatnya memiliki perbedaan media. Jika musik dengan suaranya, tari dengan gerakannya, dan lukisan dengan warnanya, sastra bermain dengan bahasanya. Dapat kita simpulkan bahwa sastra merupakan karya seni yang bermediakan bahasa sebagai pengantarnya.
Sastra erat hubungannya dengan kehidupan kita. Sehingga, sastra memiliki objek kajian tersendiri untuk mendalami hal tersebut, di antaranya adalah sosiologi sastra yang membahas tentang sastra dalam hubungannya dengan masyarakat, psikologi sastra yang membahasa tentang sastra dalam hubungannya dengan kejiwaan dan perasaan pengarangnya.
Sastra sendiri harus memiliki dua fungsi, yakni menghibur dan bermanfaat atau dikenal dengan dulce et utile. Menghibur berarti dapat menjadi sarana ataupun media untuk melenyapkan penat dan mengusir jenuh jauh-jauh. Sastra juga harus dapat memberikan manfaat untuk kehidupan dengan nilai-nilai ataupun norma dan moralitas yang terkandung di dalamnya.
Karya sastra terbagi menjadi tiga macam, yakni drama, prosa, dan puisi. Kita dapat membedakan drama dengan jenis karya sastra lainnya dengan bentuk tulisannya atau dengan dialognya. Kita dapat melihat perbedaan prosa dengan jenis karya sastra lainnya dalam bentuknya yang berparagraf. Puisi dapat kita lihat letak perbedaannya dengan jenis sastra lainnya dengan bait-baitnya.
Sastra dan Kehidupan
Sastra sangat erat hubungannya dengan dunia nyata.
“Apa iya?”
“Kok bisa?”
Tentu. Karena sastra merupakan interpretasi dari lingkungan pengarang. Hampir semua pengarang atau penulis ataupun kita juga dapat menyebut orang yang menulis karya sastra dengan sebutan sastrawan, menuliskan atau mengungkapkan kisah-kisah yang berada di sekitarnya, terutama yang sangat dekat dan erat dengan dirinya.
Mengutip frase De Bonald bahwa “sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat” (literature is an expression of society).[1]
Sering kita jumpai, puisi yang berisi ungkapan cinta atau bahkan berisi makian. Ini lahir dari hati sebagai rahim sastra. Lingkungan telah mengawininya sehingga lahir karya sastra sebagai anaknya. Bisa kita perhatikan dua petikan puisi karya Usman Arrumy berikut.
“Aku tak tahu kapan kali pertama sukmaku dicipta/ namun aku bahagia bila kauhirup aku dengan  sempurna/ Aku tak peduli kapan kali terakhir jiwaku akan berdesir/ tapi menjadi nafasmu adalah cinta yang tiada tertaksir”[2] (Angin I)
“Kini aku tahu, Zie. Mencintaimu adalah pelaksanaan puisi/ puisi yang disusun untuk memperjuangkan kesunyian abadi/ Jalan Brawijaya itu adalah cikal-bakal cinta yang baka: sebuah wilayah di mana kau dan aku sua kali pertama”[3] (Ode Seorang Pare)
Dalam puisi pertama yang berjudul Angin I, Usman merasakan dirinya ingin menjadi seperti angin yang dapat menjadi nafas kekasih yang didambakannya itu. Pada puisi kedua yang berjudul Ode Seorang Pare, Usman menyebutkan Jalan Brawijaya sebagai ruang pertama yang mempertemukannya dengan kekasih yang diidamkannya itu. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa Usman Arrumy sangat mencintai seseorang yang ia temui pertama kali di Jalan Brawijaya, Pare.
Sajak-sajak natural yang dibuat sebagai suatu ungkapan kekesalan dan kebencian terhadap rezim orde baru yang ditulis dan selalu digaungkan bahkan terkenal sampai saat ini adalah bait terakhir dari puisi karya Wiji Thukul yang berjudul Peringatan,
“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/ suara dibungkam/ kritik dilarang tanpa alasan/ dituduh subversive dan mengganggu keamanan/ maka hanya ada satu kata: lawan!”[4] (Peringatan)
Dengan membaca puisi ini, kita mengetahui kejamnya zaman orde baru. Bahkan karena kerasnya puisi yang ia buat dan juga karena aktifitas politiknya dalam Partai Rakyat Demokratik, Wiji Thukul hilang entah ke mana. Banyak yang menyangka bahwa ada yang menculiknya dan kemungkinan besar dibunuh bersama aktivis lain. Dari karya sastra juga kita dapat belajar sejarah. Terlebih puisi-puisi Taufiq Ismail yang terkumpul dalam buku kumpulan puisinya yang berjudul Tirani dan Benteng, dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, hampir seluruh karyanya merupakan gambaran sejarah.
Jangan dikira orang-orang pesantren tidak bisa jadi sastrawan, K.H. Ahmad Mustofa Bisri, seorang Wakil Rais Am PBNU yang juga pengasuh salah satu pondok pesantren di Rembang, juga merupakan seorang sastrawan. Beliau menulis cerpen dan puisi. Bahkan cerpennya yang berjudul Gus Jakfar meraih penghargaan Asia Tenggara. Kumpulan puisinya sudah terbit ke dalam lima buku lebih. Saya sertakan puisi singkatnya beliau,
“Tuhan, kami sangat sibuk.” (Keluhan)[5]

Puisi yang sangat pendek ini tidak bisa kita sepelekan begitu saja. Mengapa? Karena meskipun hanya satu bait dan hanya terdiri dengan empat kata, tapi maknanya dapat diuraikan menjadi berlembar-lembar halaman. Itulah kelebihan puisi, mengungkapan banyak makna dengan menggunakan sedikit kata.
“yes, I am blind and justice may be blind too, but it can see in the dark”[6]
“Sejak aku menginjakkan kaki di istana. Aku tak pernah tahu bagaimana wujud Istana Negara ini. Perasaanku tetap sama seperti memasuki rumah-rumah  kalian, sahabatku. Jika di halaman Istana ini berkibar sang Merah Putih, begitu juga di halaman rumahku dan rumah kalian. Warna bendera kita memang sama, Merah dan Putih. Tapi untuk saat ini, hujan begitu lebat mengguyur halaman rumah kita. Sehingga bendera kita sama-sama tak bisa berkibar sempurna. Aku hanya berharap hujan tak akan melunturkan merah-putih kita. Karena aku sangat yakin, matahari akan segera datang. Selamat berjuang sahabatku, rakyat Indonesia. Perjalanan negeri ini masih sangat panjang. Selamat berjuang sahabatku, rakyat Indonesia.”[7]
Membaca kutipan dalam novel yang terinspirasi dari kehidupan Gus Dur ini, kita dapat merasakan (mohon maaf) kebutaan mata seorang Gus Dur. Meski beliau hidup di istana yang begitu megah, yang segalanya serba mewah, tapi sesungguhnya beliau tidak merasakan betapa megahnya istana presiden itu seperti apa. Bahkan, Abdulloh Wong, pengarang novel tersebut, menggambarkan begitu rinci bagaimana Gus Dur pada akhir masa jabatannya waktu itu, meminta putri keduanya, Yenni Wahid untuk melepaskan sarung yang saat itu dikenakan Gus Dur. Beliau lalu keluar dari istana dengan mengenakan kaos lengan pendek dan celana pendek. Dengan begitu, sejatinya beliau menyatakan diri bahwa beliau bukanlah presiden Indonesia lagi.
Selain bernafaskan relijius seperti karya Gus Mus, beraliran natural sebagaimana puisi Wiji Thukul, ataupun berbau romantis layaknya bait-bait Usman Arrumy yang begitu ritmis, karya sastra juga terkadang begitu panas penuh gairah seksualitas.

”Periksa! Masih perawan atau tidak dia!” Tangan saya secara refleks bergerak memegang rok span saya, tapi tangan saya tidak bisa bergerak. Ternyata sudah ada dua orang yang masing-masing memegangi tangan kanan dan tangan kiri saya. Terasa rok saya ditarik. Saya menyepak-nyepak. Lagi-lagi dua pasang tangan menangkap kedua kaki saya.
”Aaaahhh! Tolongngng!” Saya menjerit. Mulut saya dibungkam telapak kaki berdaki. Wajah orang yang menginjak mulut saya itu nampak dingin sekali. Berpuluh-puluh tangan menggerayangi dan meremas-remas tubuh saya.
”Diem lu Cina!” Rok saya sudah lolos….[8]
Saya mau beranjak, tapi tiba-tiba selangkangan saya terasa sangat perih. Bagaikan ada tombak dihunjamkan di antara kedua paha saya.[9]
”Maafkan anak-anak kami,” katanya, ”mereka memang benci dengan Cina.”[10] (Clara)

 “Warna kuning pada pipinya masih bersisa. Aku menciumnya. Kuambil dagunya dan kubenamkan bibirku selama-lamanya. Sukar untuk menahan ketegangan tubuh ini. Bibir Surti begitu empuk dan manis seperti es krim Baltik. Sulit pula untuk berhenti menanamkkan lidahku ke segala lekuk tubuhnya. Ke lekuk dadanya. Ke putingnya yang tegang. Ketika Surti mengeluarkan suara nafas tertahan, aku tak ingin dan tak bisa berhenti. Jika saja Risjaf menuntut ikan pindang serani pelipur lara itu, aku akan mengatakan ada guncangan gempa bumi yang merontokkan dapur kami. Kuangkat Surti ke atas meja dapur. Seluruh tubuhku sudah tertanam ke dalam tubuhnya. Selama-lamanya. Selama-lamanya.”[11]

Kutipan pertama merupakan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Clara. Dalam cerpen tersebut digambarkan betapa sadisnya perlakuan masyarakat terhadap orang Tiongkok yang pada saat krisis moneter dianggap sebagai biang keladinya. Padahal tidak semua orang Tiongkok demikian, meskipun (mungkin) ada sebagian yang berlaku seperti itu. Berbeda dengan Clara dan keluarganya yang diperlakukan secara paksa, dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori digambarkan betapa kehidupan aktivis itu begitu bebas. Dua manusia berbeda jenis melakukan hubungan suami istri tanpa merasa bersalah dan keduanya atas dasar suka sama suka. Sebenarnya novel tersebut menggambarkan tiga peristiwa penting, yakni G30SPKI 1965, revolusi Prancis Mei 1968, dan reformasi Indonesia Mei 1998.

Muhammad Syakir Niamillah, Penikmat Sastra
Ciputat, 2015


[1]Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusasteraan Diindonesiakan oleh Melani Budianta , PT. Gramedia Pustaka Utama (Jakarta: 1993), hal. 110
[2] Usman Arrumy, Mantra Asmara, (Demak: Hasfa Publishing, 2014) hal. 4
[3] Ibid, hal. 71
[4] Wiji Thukul, Nyanyian Akar Rumput, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama: 2014), hal. 85
[5]Ahmad Mustofa Bisri, Ohoi Kumpulan Puisi-Puisi Balsem, Pustaka Firdaus (Jakarta: 1994), hal. 53
[6] Abdullah Wong, Mata Penaklik Manaqib Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Expose, 2015), hal. 12
[7] Abdullah Wong, Mata Penaklik Manaqib Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Expose, 2015), hal. 12
[8] http://www.duniasukab.com
[9] http://www.duniasukab.com
[10] http://www.duniasukab.com
[11] Leila S. Chudori, Pulang, (Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2012), hal. 61

Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »