Our Feeds

Motto

Etik, Estetik, Puitik

Selamat Mengaji

Mengaji Sepanjang Hari

Kamis, 07 Mei 2015

Syakir NF

Pentingnya Dokumentasi Sastra

Penulis bersama Maman S. Mahayana seusai diskusi (10/14)
“Lupa dokumentasi, maka tunasejarah.” Begitulah ucapan Maman S. Mahayana mengawali presentasinya dalam diskusi sastra dan pustaka di Universitas Indonesia (24/10). Sampai saat ini, dokumentasi masih sangat terabaikan oleh banyak pihak. Pemerintah sendiri tidak begitu menaruh perhatian yang besar pada sastra. Padahal, sastra memiliki peranan penting dalam membangun Indonesia.
Sebagai bukti bahwa sastra berperan penting dalam membangun Indonesia, Taufiq Ismail menegaskan dalam puisinya yang berjudul Teringat Hamba Pada Syuhada Kita di Hari Kemerdekaan, Musim Haji 1406 H / 1986 M. Pada bagian IV, penyair angkatan ’66 ini mengisahkan betapa puisi karya Teungku Chik Pantee Kulu merupakan puisi yang mampu membangkitkan semangat perjuangan masyarakat Aceh untuk menegakkan kemerdekaan. “terdengarkah olehmu merdunya Al Furqan dinyanyikan / kemudian puisi Hikayat Prang Sabi dibacakan / yang mendidihkan darah / yang memanggang udara / menjelang setiap pasukan terlibat pertempuran / mengibarkan paji fi-sabilil-Lah”. Puisi tersebut dibacakan saat beliau menyampaikan materi tentang Kepahlawanan Dalam Sastra Nusantara, Jumat, 25 Oktober 2013 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sastra sebagai wujud transformasi suatu fenomena kontekstual menjadi tekstual ini dapat menjadi bahan kajian terhadap suatu daerah atau tema tertentu yang berkaitan dengan hasil karya sastra itu. Karena, sastra lahir dari perkawinan pemikiran penulis dengan kebudayaan, situasi, dan kondisi saat penulis itu berada.
Bersama Sapardi Djoko Damono (10/15)
Ini juga ditegaskan oleh Sapardi Djoko Damono dalam presentasinya pada sebuah seminar memperingati bulan bahasa tahun lalu, 28 Oktober 2013, di Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, bahwa “dalam cirinya yang senantiasa berubah itulah sastra merupakan benda budaya yang menjelaskan identitas kita, menjelaskan siapa kita ini sebenarnya”. Sastra yang jelas-jelas merupakan identitas diri kita tetapi masih belum diperhatikan dokumentasinya. Padahal, Sapardi sendiri menyatakan “identitas terus-menerus berubah sejalan dengan pergaulan dengan kebudayaan lain”.
HB. Jassin sebagai pelopor dokumentasi sastra “sangat bercita-cita membangun sebuah gedung yang memiliki empat lantai meliputi sastra Indonesia, sastra asing, dan pusat diskusi”, begitulah kepala PDS. HB. Jassin bercerita pada diskusi sastra dan pustaka minggu keempat bulan lalu. Namun, keinginan tersebut sampai sekarang belum terwujud mengingat minimnya dana yang mengalir untuk dokumentasi tersebut.
Pusat Dokumentasi Sastra yang didirikan pada tanggal 28 Juni 1976 di wilayah Taman Ismail Marzuki dan berhasil diresmikan oleh Gubernur Jakarta kala itu, Ali Sadikin pada tanggal 30 Mei 1977 keadaannya sangat memprihatinkan. Kurangnya ruang baca menjadi kendala utama. Bila datang rombongan pelajar atau mahasiswa secara mendadak, maka pengurus akan kerepotan. Mengingat kurangnya fasilitas berupa kursi dan meja untuk membaca. Selain itu, masih digunakannya sistem konvensional menjadi salah satu penghambat di era serba digital ini. Dengan belumnya digitalisasi pada PDS. HB. Jassin itu banyak dimungkinkan tercecernya berkas dan dokumentasi yang tersedia. Sistem seperti ini juga masih dapat memungkinkan orang-orang yang tak bertanggungjawab untuk mengambil beberapa dokumentasi tanpa seizin pengurus. Padahal, dokumentasi bisa diperbanyak di tempat.
PDS. HB. Jassin masih bergantung pada subsidi Pemprov. DKI Jakarta. Itupun masih disunat di sana-sini. Impian HB. Jassin rupanya masih sangat jauh. Padahal, PDS. HB. Jassin ini merupakan satu-satunya pusat dokumentasi sastra terlengkap di Indonesia dan bahkan mungkin di dunia. Hal ini menjadi ironi, bahkan timbul pertanyaan, di manakah pemerintah Indonesia selama ini? Pusat Bahasa pun tidak peduli akan pusaka bangsa ini. Sastra adalah pusaka yang harus kita jaga bersama. Bukan warisan yang dapat dihabiskan dengan percuma.
Parahnya, beberapa bulan lalu, pemerintah rela melelang barang antik yang ditemukan di dasar laut. Barang-barang antik yang diperkirakan merupakan bawaan dari Tiongkok ini dijual begitu saja. Padahal, bila kita rawat dalam museum tentu akan dapat menghadirkan wisatawan asing untuk melihat pusaka kita tersebut.
Ini pula yang terjadi dalam dunia sastra kita. Minggu lalu saya bersama teman-teman sekelas dalam mata kuliah Apresiasi dan Ekspresi Sastra mendiskusikan drama Malam Jahannam karya Motinggo Busye. Pemakalah menyatakan bahwa beberapa karya Motinggo Busye yang asli ada di Amerika Serikat. Sungguh sangat ironi mendengar berita ini. Lalu, dalam diskusi sastra dan pustaka, saya coba tanyakan pada Maman S. Mahayana dan Kepala PDS. HB. Jassin mengenai pernyataan teman saya tersebut. Keduanya membenarkan, bahkan orang asing membeli segala buku sebagai dokumentasi mereka. Entah nanti pada tahun berapa, bila kita sebagai bangsa Indonesia masih enggan mendokumentasikan karyanya sendiri, akan tiba saatnya kita belajar tentang diri kita di negeri orang lain. Demikian itu tidak menutup kemungkinan.
Dulu, Paus Sastra Indonesia itu rela hanya makan kerupuk demi untuk membeli karya sastra. Mengingat pentingnya dokumentasi sebagai bukti sejarah. Namun, lagi-lagi tidak ada pemuda yang meneruskan perjuangan yang sebegitu beratnya dilakukan oleh kritikus sastra kelahiran Gorontalo tersebut.
Kurangnya dokumentasi yang dilakukan oleh kita juga mengakibatkan terjadinya manipulasi sejarah. Maman S. Mahayana mengatakan bahwa “Teeuw hanya penelitian buku. Tidak mengambil dari koran ataupun majalah.” Sedangkan kala itu, buku karya sastra itu diterbitkan oleh Balai Pustaka yang masih dibawah pemerintahan Belanda. Tentu, di situ terjadi pemanipulasian. Di mana pantun tidak lagi sebagai puisi yang baik. Padahal, pantun merupakan puisi yang paling luwes. Artinya, bisa dibacakan di manapun dan kapanpun kita mau. Puisi esai yang didengungkan oleh Denny JA., itu sebenaranya sudah ada pada tahun 1890. Di sinilah peran penting dokumentasi sastra sebagai wujud pembuktian sejarah.

Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »