“Lupa dokumentasi, maka tunasejarah.” Begitulah ucapan Maman S.
Mahayana mengawali presentasinya dalam diskusi sastra dan pustaka di
Universitas Indonesia (24/10). Sampai saat ini, dokumentasi masih sangat
terabaikan oleh banyak pihak. Pemerintah sendiri tidak begitu menaruh perhatian
yang besar pada sastra. Padahal, sastra memiliki peranan penting dalam
membangun Indonesia.
Sebagai bukti bahwa sastra berperan penting dalam membangun
Indonesia, Taufiq Ismail menegaskan dalam puisinya yang berjudul Teringat
Hamba Pada Syuhada Kita di Hari Kemerdekaan, Musim Haji 1406 H / 1986 M. Pada
bagian IV, penyair angkatan ’66 ini mengisahkan betapa puisi karya Teungku Chik
Pantee Kulu merupakan puisi yang mampu membangkitkan semangat perjuangan
masyarakat Aceh untuk menegakkan kemerdekaan. “terdengarkah olehmu merdunya
Al Furqan dinyanyikan / kemudian puisi Hikayat Prang Sabi dibacakan /
yang mendidihkan darah / yang memanggang udara / menjelang setiap pasukan
terlibat pertempuran / mengibarkan paji fi-sabilil-Lah”. Puisi tersebut
dibacakan saat beliau menyampaikan materi tentang Kepahlawanan Dalam Sastra
Nusantara, Jumat, 25 Oktober 2013 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sastra sebagai wujud transformasi suatu fenomena kontekstual
menjadi tekstual ini dapat menjadi bahan kajian terhadap suatu daerah atau tema
tertentu yang berkaitan dengan hasil karya sastra itu. Karena, sastra lahir
dari perkawinan pemikiran penulis dengan kebudayaan, situasi, dan kondisi saat
penulis itu berada.
Bersama Sapardi Djoko Damono (10/15) |
HB. Jassin sebagai pelopor dokumentasi sastra “sangat bercita-cita
membangun sebuah gedung yang memiliki empat lantai meliputi sastra Indonesia,
sastra asing, dan pusat diskusi”, begitulah kepala PDS. HB. Jassin bercerita
pada diskusi sastra dan pustaka minggu keempat bulan lalu. Namun, keinginan
tersebut sampai sekarang belum terwujud mengingat minimnya dana yang mengalir
untuk dokumentasi tersebut.
Pusat Dokumentasi Sastra yang didirikan pada tanggal 28 Juni 1976 di
wilayah Taman Ismail Marzuki dan berhasil diresmikan oleh Gubernur Jakarta kala
itu, Ali Sadikin pada tanggal 30 Mei 1977 keadaannya sangat memprihatinkan.
Kurangnya ruang baca menjadi kendala utama. Bila datang rombongan pelajar atau
mahasiswa secara mendadak, maka pengurus akan kerepotan. Mengingat kurangnya
fasilitas berupa kursi dan meja untuk membaca. Selain itu, masih digunakannya
sistem konvensional menjadi salah satu penghambat di era serba digital ini.
Dengan belumnya digitalisasi pada PDS. HB. Jassin itu banyak dimungkinkan
tercecernya berkas dan dokumentasi yang tersedia. Sistem seperti ini juga masih
dapat memungkinkan orang-orang yang tak bertanggungjawab untuk mengambil
beberapa dokumentasi tanpa seizin pengurus. Padahal, dokumentasi bisa
diperbanyak di tempat.
PDS. HB. Jassin masih bergantung pada subsidi Pemprov. DKI Jakarta.
Itupun masih disunat di sana-sini. Impian HB. Jassin rupanya masih sangat jauh.
Padahal, PDS. HB. Jassin ini merupakan satu-satunya pusat dokumentasi sastra
terlengkap di Indonesia dan bahkan mungkin di dunia. Hal ini menjadi ironi,
bahkan timbul pertanyaan, di manakah pemerintah Indonesia selama ini? Pusat
Bahasa pun tidak peduli akan pusaka bangsa ini. Sastra adalah pusaka yang harus
kita jaga bersama. Bukan warisan yang dapat dihabiskan dengan percuma.
Parahnya, beberapa bulan lalu, pemerintah rela melelang barang antik
yang ditemukan di dasar laut. Barang-barang antik yang diperkirakan merupakan
bawaan dari Tiongkok ini dijual begitu saja. Padahal, bila kita rawat dalam
museum tentu akan dapat menghadirkan wisatawan asing untuk melihat pusaka kita
tersebut.
Ini pula yang terjadi dalam dunia sastra kita. Minggu lalu saya
bersama teman-teman sekelas dalam mata kuliah Apresiasi dan Ekspresi Sastra
mendiskusikan drama Malam Jahannam karya Motinggo Busye. Pemakalah
menyatakan bahwa beberapa karya Motinggo Busye yang asli ada di Amerika
Serikat. Sungguh sangat ironi mendengar berita ini. Lalu, dalam diskusi sastra dan
pustaka, saya coba tanyakan pada Maman S. Mahayana dan Kepala PDS. HB. Jassin
mengenai pernyataan teman saya tersebut. Keduanya membenarkan, bahkan orang
asing membeli segala buku sebagai dokumentasi mereka. Entah nanti pada tahun
berapa, bila kita sebagai bangsa Indonesia masih enggan mendokumentasikan
karyanya sendiri, akan tiba saatnya kita belajar tentang diri kita di negeri
orang lain. Demikian itu tidak menutup kemungkinan.
Dulu, Paus Sastra Indonesia itu rela hanya makan kerupuk demi untuk
membeli karya sastra. Mengingat pentingnya dokumentasi sebagai bukti sejarah.
Namun, lagi-lagi tidak ada pemuda yang meneruskan perjuangan yang sebegitu
beratnya dilakukan oleh kritikus sastra kelahiran Gorontalo tersebut.
Kurangnya dokumentasi yang dilakukan oleh kita juga mengakibatkan
terjadinya manipulasi sejarah. Maman S. Mahayana mengatakan bahwa “Teeuw hanya penelitian
buku. Tidak mengambil dari koran ataupun majalah.” Sedangkan kala itu, buku
karya sastra itu diterbitkan oleh Balai Pustaka yang masih dibawah pemerintahan
Belanda. Tentu, di situ terjadi pemanipulasian. Di mana pantun tidak lagi
sebagai puisi yang baik. Padahal, pantun merupakan puisi yang paling luwes.
Artinya, bisa dibacakan di manapun dan kapanpun kita mau. Puisi esai yang
didengungkan oleh Denny JA., itu sebenaranya sudah ada pada tahun 1890. Di sinilah
peran penting dokumentasi sastra sebagai wujud pembuktian sejarah.