“Ada
semacam alergi terhadap seni, yang sudah merata pada masyarakat kita”, tulis
Subagio Sastrowardoyo (1992). Rupanya keindahan tidak lagi jadi pemandangan
yang dapat dinikmati oleh mata yang telah dipertontonkan kebejadan moral dan
kehancuran etika. Merdu lagu tak dapat lagi didengar oleh telinga busuk yang
telah dipenuhi oleh bisikan hasutan dan bisingan kebohongan.
Barang yang sudah hina, semakin hina dan dihinakan. Barang yang indah tak lagi dianggap indah dan tak diindahkan. Lalu apa yang bakal diharapkan oleh kita, jika semua tak lagi ada nilainya?
Globalisasi benar-benar mengkontaminasi segala aspek kehidupan. Semua pihak tak dapat jadi filter yang mampu mengambil sisi baik dan membuang efek buruknya. Baik-buruknya seolah sama, tidak ada bedanya. Namun setelah benar-benar teraplikasikan dalam keseharian, terdengarlah nada-nada negatif menusuk indra. Segala yang positif jadi kabur tak berbekas.
Ada ketidaksadaran yang selalu hinggap di benak kita. Bahwa senilah yang mampu menyatukan kita di atas segala perbedaan yang dapat memisahkan. Nilai estetik seni itu yang membawa lari sedih dalam tangis dan mendatangkan gembira pada senyum. Keindahan yang terkandung dalam seni itu yang menaikkan semangat pada level tertinggi dan menurunkan malas pada level terendah.
Bila kita sadar, tentu tidak akan tinggal diam bila seni yang terkandung dalam budaya itu semakin terkikis. Etik dan estetik dalam kehidupan benar-benar semakin berkurang. Seharusnya, kita bertindak menangkal itu, bahkan membantu menambah nilai-nilai dalam warna budaya kita. Setidaknya dengan terus melestarikan tradisi baik yang telah dilakukan oleh orangtua kita dulu. Alangkah lebih baik lagi jika kita mampu mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik atau mengkombinasikan keduanya menjadi suatu hal baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Penghancuran kantor Dewan Kesenian Cirebon pada akhir September lalu adalah suatu tindakan pembunuhan budaya. Terlebih arsip-arsipnya pun ikut raib. Ini bahkan merupakan tindak mutilasi terhadap kebudayaan di Cirebon khususnya. Bagaimana indah itu akan tampak di mata dan terdengar di telinga, bila pikiran saja masih dipenuhi sampah egoisme yang menggunung tinggi? Tindak penghancuran kantor Dewan Kesenian Cirebon yang tanpa diketahui oleh siapa dan motifnya apa itu merupakan bentuk egoisme yang masih bersarang di benak kita. Kapan keindahan yang semula hanya sebagai penampilan yang menarik ini menjadi berwujud kesejahteraan dan keselamatan, kalau mash saja ada beberapa pihak memelihara kapitalisme dalam kandang hatinya yang sudah reot itu? Income dan profit menjadi setan yang terus menghantui hari-hari kita. Kita masih saja tergiur dengan keuntungan pribadi tanpa peduli yang lain rugi. Bentuk intoleran demikian seharusnya tidak lahir, karena hanya akan memperkeruh kebeningan seni, merusak keindahan seni, dan menghancurkan nama budaya
Kalau
tidak dimulai dari diri kitanya sendiri, lalu mau menanti malaikat turun dari langit
hal untuk mengubur budaya kita? Sehingga
anak cucu kita hanya akan dapat menziarahinya sebagai wujud penghormatan. Iya
saja kalau mereka menghormati, kalau tidak? Mungkin budaya kita telah senang di
surga sana. Lantas kalau bukan dari sekarang, mau menunggu kiamat untuk
benar-benar menyesali keabaian kita terhadap pusaka nenek moyang kita? Budaya
adalah bentuk titipan yang harus kita jaga dengan melestarikannya agar tidak
masuk dalam daerah kepunahan.
Muhammad Syakir Niamillah
Ciputat, 2015
Muhammad Syakir Niamillah
Ciputat, 2015