Sastra dapat kita analogikan sebagai pisau. Iya. Bagi juru masak,
pisau digunakan untuk memotong bahan makanan yang akan diolah. Pisau juga bisa
digunakan untuk menyembelih hewan seperti ayam, kambing, sapi, kerbau, atau
unta sekalipun. Pisau pun digunakan untuk membunuh orang bagi pembunuh. Sastra
juga demikian. Bila diungkapkan oleh seseorang yang sedang kasmaran, lahirlah
sastra romantis. Sastra jika lahir dari seorang aktivis, maka biasanya akan
beraliran naturalis. Sastra yang lahir dari seorang agamis, maka akan lahir
sastra yang mengandung nilai-nilai relijiusitas, atau dikenal juga sastra
sufistik yang didengungkan oleh Abdul Hadi WM.
Di sini, saya akan membahas bagaimana sastra dapat berhubungan mesra dengan agama. Sebab, semenjak kelahirannya, agama telah menjalin kasih dengan sastra. Al-Quran sebagai sumber pedoman bagi umat beragama Islam disebut-sebut sebagai karya agung yang bernilai sastra sangat tinggi. Tidak ada yang mampu menandingi ketinggian derajat al-Quran dilihat dari sisi manapun. Al-Quran merupakan murni karya Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena ketinggian derajat kesastraan al-Quran pula, Sayyidina Umar ibn al-Khottob yang terkenal begitu tegas, ganas, dan tidak ada yang berani melawannya serta orang yang sangat paham akan dunia dan kedalaman sastra, itu tetiba hatinya luluh dan akhirnya masuk Islam.
Sastra dalam Bingkai Agama
Sudah sangat jelas oleh kita, bahwa al-Quran pun merupakan produk sastra. Oleh karena itu, kita tidak dapat menampik keberadaan sastra dalam agama. Tidak hanya al-Quran, al-Hadits pun demikian. Tidak cukup sampai situ, kitab-kitab karya para ulama, baik klasik maupun modern pun melibatkan sastra sebagai bungkusnya.
Boleh kita sebutkan di antaranya, Aqidah al-Awam karya Sayyid Ahmad al-Marzuqi, al-Imrithi karya Syekh Syarofuddin al-Imrithi, Alfiyyah Ibn Malik karya Syekh Muhammad Ibn Malik al-Andalusi. Saya ambil tiga contoh ini karena sangat dikenal di kalangan santri. Beliau para muallif ini sengaja membingkai ilmu tauhid dan nahwu ini dalam sastra. Ini bertujuan supaya mudah untuk dipahami, mudah untuk dicerna otak, dan mudah pula untuk dihafal oleh para pelajar. Terlebih karya-karya tersebut menggunakan bahr Rojz yang pernah saya baca katanya lebih mudah untuk dihafal tenimbang bahr lain.
Agama Melandasi Sastra
Bisa kita baca puisi-puisi karya K.H. A. Mustofa Bisri, selain beliau dikenal sebagai kiai kondang yang sering ceramah di berbagai majlis, beliau juga dikenal sebagai sastrawan yang puisi-puisinya mengandung nilai-nilai relijius, selain beliau juga menulis puisi-puisi yang bernada kritik terhadap pemerintah.
Letak relijiusitasnya di antaranya terdapat pada seringnya beliau menuliskan Tuhan dalam berbagai versi bahasa Arab sebagai suatu ungkapan tertentu, seperti Alhamdulillah, subhanallah, masya Allah, dan sebagainya. Tidak hanya melalui ungkapan yang sangat tekstual, tetapi kita juga dapat mengkaji lebih dalam puisinya dengan mengaitkan puisi tersebut dengan agama.
Sebagai contoh, Gus Mus menulis puisi pendek yang berjudul Keluhan berikut.
Tuhan, kami
sangat sibuk
Mungkin dalam benak kita muncul pertanyaan yang sama, mengapa diksi
yang pertama muncul adalah Tuhan? Terus kenapa mesti Tuhan, bukan Allah,
Ilahi, atau Robbi saja, atau Asmaul Husna yang lain? Lalu,
apa pula kaitannya sibuk dengan keluhan? Di sinilah kelihaian Gus Mus dalam
berpuisi.
Selain Gus Mus, sebenarnya masih banyak sastrawan lainnya yang
menuliskan puisi-puisi yang bertemakan agama. Ada AA. Navis dengan kumpulan
cerpennya yang berjudul Robohnya Surau Kami. Ada pula Emha Ainun Najib atau
yang sering kita kenal dengan sebutan Cak Nun dengan kumpulan puisi-puisinya
yang oleh Abdul Hadi WM. dimasukkan ke dalam golongan sastra sufistik. Selain
itu ada pula K.H. Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, dan masih banyak sederet nama
besar lain yang saya rasa mungkin akan terlalu jauh bila kita bahas dalam
tulisan ringkas ini. Mereka semua merupakan seorang yang sudah dianggap sebagai
kiai atau ahli agama oleh masyarakat. Namun mereka pula dikenal sebagai sastrawan
yang sangat ahli dalam bidang tulis menulis sastra. Oh ya, ada yang saya lupa,
Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang mendapat gelar doctor honoris kausa dari
Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir pun menulis sastra meski seringkali
sastranya lebih ke arah romantismenya. Beliau dikenal oleh bangsa Indonesia
dengan sebutan Buya Hamka. Di antara karangan beliau adalah Tenggelamnya Kapal
Van Der Wick.
Muhammad Syakir Niamillah
Ciputat, 2015
Muhammad Syakir Niamillah
Ciputat, 2015