Wudu merupakan wasilah kita untuk melaksanakan beberapa ibadah
mahdoh, ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah, seperti salat. Tanpanya,
tentu kita tidak sah melaksanakan ritual ibadah tersebut. Jika sejak mulanya
tidak memiliki wudu, maka ibadah tersebut disebut fasad.
Dalam mazhab Syafii, ada empat hal yang membatal wudu, yakni
sebagai berikut.
Pertama, keluarnya sesuatu dari kubul (alat kelamin) atau dubur
(anus) seseorang, baik berupa zat cair (air kencing atau cepirit), padat
(kotoran), maupun gas (kentut). Baik sengaja, ataupun tidak sengaja, keluarnya
zat dari dua jalan tersebut tetap membatalkan wudu.
Tetapi, ada satu hal yang keluar dari kubul tetapi tidak
membatalkan wudu, yaitu keluarnya air mani, meskipun berupa cairan.
Kedua, hilangnya akal. Kehilangan kesadaran disebabkan apapun dapat
membatalkan wudu, baik tidur, mabuk, gila, ataupun terkena gangguan penyakit
ayan atau epilepsi.
Wudu tidak batal sebab tidur jika tidurnya orang tersebut duduk rapat.
Ketiga, sentuhan dua kulit laki-laki dan perempuan yang sudah
baligh dan bukan mahrom. Meskipun tanpa adanya syahwat ataupun tidak disengaja,
persentuhan tersebut tetap membatalkan wudu. Persentuhan dengan orang yang
sudah meninggal juga membatalkan wudu bagi orang hidupnya, tetapi tidak bagi
mayit.
Dalam hal ini, ada lima syarat yang diajukan oleh Syaikh Nawawi
al-Bantani, yakni (1) terjadi di antara perempuan dan laki-laki, (2) sentuhan
kulit dengan kulit, tidak dengan rambut, gigi, ataupun kuku, jika bersentuhan
dengan selain kulit seperti ketiga hal tadi, ataupun dengan emas atau perak
yang dikenakan, (3) tidak ada penghalang di antara keduanya, (4) keduanya sudah
mencapai usia baligh, (5) tidak ada hubungan mahrom, yakni orang yang tidak
diperbolehkan untuk dinikahi.
Keempat, menyentuh kubul atau lubang dubur anak Adam dengan telapak
tangan ataupun jari, meskipun anak kecil, orang gila, ataupun mayit. Adapun
menyentuh kubul ataupun dubur binatang itu tidak membatalkan wudu.
Syakir NF
Tulisan ini pernah dimuat di sini