Ilustrasi, Brilio.net |
Furohidi tinggal di Desa Buntet. Setiap kali mau mengaji ke beberapa kiai di Buntet Pesantren yang terletak di Desa Mertapada Kulon, ia harus melewati kebun hutan yang masih rimbun dan menyeberangi sungai.
Begitu tiba di seberang sungai, ia langsung dicegat Kompeni.
“Mau ke mana?” tanya tentara Belanda itu kepadanya.
“Nyari rumput,” jawab pria yang akrab disapa Man Furadi.
Lalu ia dipersilakan lewat.
Begitulah perjuangan Furadi muda saat hendak mengaji. Nyawanya dipertaruhkan.
Tiap kali berangkat mengaji, sengaja ia berpenampilan bak seorang yang hendak mencari rumput. Di punggungnya menggantung karung yang dipanggul satu tangan. Di dalam karung itu diisi rumput cukup banyak. Ia menyimpan buku, kitab, hingga pena dan mangsi (tinta) pada tumpukan rumput tersebut.
Jika tidak demikian, mungkin keberadaannya entah di mana.
Sampai suatu masa, Kiai Furadi, sebagian orang lagi menyapanya demikian, dikenal sebagai seorang kaligrafer ulung. Ia mampu menulis kalimat bahasa Arab berbeda dengan dua tangannya secara bersamaan hingga selesainya pun di waktu yang sama.
Setiap kali mengajarkan kaligrafi, ia bakal mengulas habis kalimat yang ia contohkan, dari nahwu, sorof, balaghah, hingga makna hikmahnya kepada segenap santrinya.
Lalu, Kids Zaman Now masih enggan mengaji?
*
Dikisahkan oleh salah satu santrinya, KH Muhadditsir Rifa’i Syifa Akyas.
(Syakirnf/Kendi Setiawan)
NU Online