Tabassumuka fi wajhi akhika laka sadaqatun
Saya mengawali tulisan ini dengan mengutip hadis yang tertulis di
atas. Pastinya, hadis tersebut tidak asing di telinga Muslim. Seorang miskin
atau fakir, bahkan sekalipun dia gharim, tetap bisa bersedekah, salah satunya
melalui senyum.
Berdasarkan hadis di atas, menebar senyum ke rekan merupakan sedekah. Begitu murahnya Allah memberikan pahala ke segenap hambaNya. Dengan hanya melengkungkan bibir ke atas, dapat mendatangkan pahala bagi pelakunya.
Seseorang yang seringkali terciduk, bukan hanya terduga, menjadi
pelaku hal tersebut adalah kamu. Iya. Kamu.
Saat itu, Isya sudah tiba. Saya melongok sebuah rumah dari jarak
tiga meteran. Pintunya terbuka.
Saya diminta seseorang di dalamnya masuk. Duduk
mengotak sembari chit chat perihal kegiatan yang bakal digarap. Sedang asyiknya
menyimak, seseorang keluar membawa nampan dengan beberapa gelas di atasnya. Saya
tidak ingat jumlahnya. Minuman apa pun saya juga lupa. Yang saya ingat, dia
menyuguhkan minuman itu dengan senyum. Entah memang karena sudah dicampuri
gula, atau sebab senyumnya, minuman itu terasa manis. Hanya itu yang saya
ingat.
Itu kali pertama saya melihatnya. Nya itu ya kamu. Mula tahun
ketiga ke belakang tepatnya.
Selepas itu, lima bulan berikutnya, saya dan dia diminta menjadi
sepasang perangkat untuk memenuhi bagan organigram. Hal ini berlangsung dalam
masa dua periode, dua tahun. Ia mengatur lalu lintas keuangan, sementara saya
mengatur lalu lintas persuratan.
Dari sua pertama, saya kerap kali mengharapkan kehadirannya. Kalau lingkar
studi tiap minggu ia alpa, betapa saya menjadi orang fakir. Tapi berkat
berlimpahnya senyumnya saban kali jumpa, saya berubah menjadi orang kaya.
Saya harus terus kaya. Harus. Seperti hari ini. Studinya sudah
purna. Saya tak bisa mengharapkan lagi sedekahnya. Berharap bisa. Tapi tidak
terlalu besar. Intensitas temu pasti semakin lesu.
Maka, mulai saat ini, saya mesti mengikuti lakunya yang gemar menyunggingkan senyum itu. Sebab dengan begitu, meskipun saya sampai saat ini tetap fakir, tapi senyum membuat saya merasa kaya. Dari situlah, saya bisa bersedekah. Sebab tak ada lagi yang bisa kusedekahkan. Harta tak punya. Tenaga tak ada. Ilmu kosong belaka. Lalu senyum saja enggan? Pelit sekali daku ini jika tidak demikian. Semakin miskinlah saya jika hal itu terjadi.
Setidaknya, itu pelajaran penting yang saya petik dari empat tahun
jalan ini semenjak kali pertama saya menemukan gula, oh bukan, kalau ada hal
yang lebih manis, saya pilih itu untuk mengganti rasa di mata saat melihat
kembang senyumnya.
Tentu, dia perempuan. Saya enggan menyebutnya sebagai wanita. Mengikuti
para aktifis jender, konon wanita merupakan akronim dari bahasa Jawa wani
ditata yang merepresentasikan subordinasi perempuan. Sementara kata perempuan
berasal dari kata empu yang ditambahkan imbuhan konfiks per—an. Empu
berarti orang ahli atau gelar kehormatan. Hal ini menjadi gambaran seorang
perempuan yang memiliki kedudukan yang tinggi.
Ya. Dia perempuan yang tanggal lahirnya persis dengan tanggal lahir
ibuku. Beda 20 tahun. Di tanggal itu, saya mengucapkan dua selamat ulang tahun
untuk dua perempaun inspirator yang menggerakkanku untuk terus melaju.
Dia bukan malaikat. Bukan. Karenanya, dia pernah salah. Dan itu
sangat biasa dan sangat wajar. Manusia tempat salah dan lupa. Tidak sekali
manusia dinamai insan ya sebab lupanya itu.
Salahnya di mana? Saya tak maulah membuka aibnya. Meskipun dia
pernah menangis sendiri tanpa bercerita. Ah, menangis hal biasa. Laki-laki pun
bisa menangis. Betapa tidak, barang yang ia pinjam dari keluarganya saat
berkegiatan itu tak ditemukannya. Padahal saat itu semuanya telah persiapan
pulang. Sementara rekan-rekannya sudah rapi, ia masih dengan kaos dan celana
treningnya mencari-cari barang milik keluarganya sembari berurai air mata.
Meskipun air matanya mengalir deras tanpa suara, tapi entah kenapa
senyum sepertinya tak lepas dari wajahnya. Itu hal yang tak biasa. Tak kutemukan
di wajah orang lain. Hanya ada padanya.
Sebab itulah, saya pantas menyandangkan padanya perempuan utama
berdasar bait puisi yang Nizar Qabbani pernah tulis, al-mar’atu al-awla hiya
taj’alu man laa yansaa ibtasamaha,
perermpuan terbaik adalah dia yang mampu membuat orang tak lupa akan
senyumnya.
Bagi saya, dia mampu. Dia berhasil membuar orang selalu ingat.
Dan dia itu, kamu.
Ciputat, 5/11/2017