Perang melawan kolonial Belanda berlalu puluhan tahun silam. Kemenangan bangsa Indonesia diraih bukan hanya dengan cucuran air mata dan keringat, tapi juga darah. Di antara darah yang tercecer itu adalah milik santri bernama Muhit.
Abdul Mufti menceritakan perang perjuangan Muhit saat ditemui kontributor NU Online di rumahnya di Desa Astanajapura, Cirebon, pada Selasa, (11/7). Ia tengah berbincang santai dengan anak dan cucunya.
Diminta bercerita tentang masa perjuangan, ia langsung teringat sosok Muhit. Muhit adalah seorang warga Buntet Pesantren yang terkenal badannya menimbulkan aroma tidak sedap.
“Muhit, Kang, masya Allah, ambune blenakepor (baunya sangat tidak sedap),” kenang KH Abdul Mufti Umar.
Di Desa Sukamulya, ia dan Muhit serta satu rekan lainnya berjuang melawan lima puluhan tentara Belanda. Enam pasukan Belanda tewas di tangan mereka. Namun naas, Muhit turut jadi korban peperangan tersebut.
Datanglah KH Abdullah Abbas menanyakan wangi yang ia cium.
“Siapa yang pakai minyak wangi, wangi sekali?” tanya putra KH Abbas Buntet itu pada Kiai Uti, panggilan masyarakat sekitar pada Abdul Mufti.
Kiai berumur 97 tahun itu malah balik bertanya, “Ya siapa yang di tengah hutan pakai minyak wangi?”
Ternyata, setelah diperhatikan, wangi itu bersumber dari darah Muhit.
“Ambune ning lenga wangi bli kira-kira (bau minyak wangi tidak kira-kira). Ari wis getihe (ternyata darahnya) Si Muhit. Masyaallah,” kenangnya. (Syakirnf/Abdullah Alawi)