Our Feeds

Motto

Etik, Estetik, Puitik

Selamat Mengaji

Mengaji Sepanjang Hari

Kamis, 12 Oktober 2017

Syakir NF

Kaktus dari Presiden Gus Dur


Aneh. Begitulah hal pertama yang ada di benak Mohammad Mustahdi, putra KH Abdullah Abbas saat kedatangan paket dari istana. Saat itu, KH Abdurrahman Wahid belum lama terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia keempat.

Kiai Dulah, panggilan masyarakat kepada KH Abdullah Abbas, adalah orang yang menolak keras pencalonan Gus Dur sebagai presiden. Sampai putusan akhir musyawarah para kiai meridai pencalonan putra pertama KH Abdul Wahid Hasyim, Kiai Dulah tetap dalam pendiriannya menolak dengan tetap menghargai keputusan forum.

Penolakan Kiai Dulah tentu saja bukan tanpa alasan. Sesepuh Buntet itu, menurut penuturan putranya, enggan melihat Gus Dur menjadi tumbal reformasi. Bahkan, saat pemilihan presiden berlangsung, Kiai Dulah menangis.

“Saya ingat betul, saat pemilihan itu, bapak nangis,” ujar Mohammad Mustahdi, putra Kiai Dulah.

Paket dari Presiden Gus Dur itu hanyalah sebuah pot bertanamkan kaktus. Tidak lebih.

“Hanya kaktus?” tanya Mustahdi pada staf presiden.

Tentu staf presiden itu mengiyakan karena memang tidak ada lagi. Hal tersebut membuat Mustahdi bertanya-tanya. Namun ketika ia menanyakan apa maksud kiriman itu pada ayahnya, ia hanya mendapat senyum ayahnya. Tidak lebih.

“Bapak tuh cuma senyum aja,” ujar wakil ketua Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama itu.

Dia akhirnya berpikir sendiri, mencoba menafsiri maksud kiriman itu. Ia akhirnya beroleh kesimpulan, bahwa Gus Dur ingin mengabarkan pada Kiai Dulah untuk tidak perlu mengkhawatirkannya. Kaktus mampu hidup sendiri di tengah padang pasir yang gersang. (Syakirnf)

NU Online

Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »