Our Feeds

Motto

Etik, Estetik, Puitik

Selamat Mengaji

Mengaji Sepanjang Hari

Kamis, 07 Mei 2015

Syakir NF

Mencegah Menjamurnya Jilboobs

Oleh
Muhammad Syakir Ni’amillah F.

Abstrak
Pada awal Agustus 2014 yang lalu, ada sebuah fenomena menarik yang sebenarnya telah muncul sejak lama, namun baru dianggap sebagai fenomena besar yang menuai kontroversi  karena diangkat sebagai berita heboh di media cyber. Perempuan yang mengenakan jilbab dengan pakaian yang ketat adalah objeknya. Beberapa ada yang pro, tidak sedikit pula yang kontra. Namun, jika dilihat dari sisi etika berpakaian seorang perempuan, kiranya memang kurang etis meski tidak sepenuhnya salah. Tetapi, tidak seharusnya perempuan yang demikian menjadi bahan cacian yang teramat hina, bahkan lembaga sekelas Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haramnya. Justru, penghinaan inilah yang salah dan harus diharamkan oleh MUI. Setiap orang memiliki kejiwaan, kepribadian, dan masalah yang berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu kiranya kita mengetahui terlebih dahulu, asal mula atau penyebab perempuan itu mengenakan pakaian yang super ketat meski ia menggunakan jilbab. Banyaknya pakaian yang ketat bagi perempuan di pasaran juga menambah daftar sebab munculnya fenomena yang kemudian dikenal luas oleh masyarakat dengan sebutan jilboobs.
Kata kunci: Jilbab, etika, dan jiwa.
Jillbab dan Jilboobs
Jilbab dalam KBBI berarti kerudung lebar yang dipakai wanita muslim untuk menutupi kepala dan leher sampai dada. Fadwa El Guindi (2003) menyamakan istilah ini dengan veil dalam bahasa Inggris. Ia menyebutkan ada empat ungkapan yang digunakan. Pertama, kain panjang yang dipakai wanita untuk menutup kepala, bahu, dan kadang-kadang muka. Kedua, rajutan panjang yang ditempelkan pada topi atau tutup kepala wanita, yang dipakai untuk memperindah atau melindungi kepala dan wajah. Ketiga, (a) bagian tutup kepala biarawati yang melingkari wajah terus ke bawah sampai menutupi bahu, (b) kehidupan atau sumpah biarawati. Keempat, secarik tekstil tipis yang digantung untuk memisahkan atau menyembunyikan sesuatu yang ada di baliknya; sebuah gorden.
Jilbab ini pada dasarnya merupakan pakaian yang digunakan oleh kaum bangsawan Yahudi dan Nasrani sebelum Islam. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi berjilbab telah berlangsung sekian lama, jauh sebelum Islam mengadopsinya sebagai bagian dari aspek etik dan estetik berpakaian. Nasaruddin Umar (2003) mengutip dari Kitab Tafsir Munir, bahwa “sabab nuzul ayat-ayat tentang jilbab (Al-Ahzab/33:59 dan An-Nur/24:31) adalah karena suasana di kota Madinah sedang dalam keadaan tidak aman akibat situasi perang yang berkepanjangan. Namun, bukan berarti tatkala situasi telah aman lantas tidak lagi diwajibkan untuk mengenakan jilbab. Jilbab dan semacamnya, lanjut Nasaruddin, tetap  perlu diindahkan. Setidaknya, jilbab akan menjadi ajaran etika dan estetika (tahsiniyyah)”. Jilbab dalam KBBI sudah mengalami perubahan makna dari asalnya. Disebutkan dalam Tafsir Al-Qurthubiy bahwa jilbab adalah pakaian wanita yang menutupi seluruh badan kecuali satu matanya untuk melihat.
Jadi, persoalan jilbab ini sebetulnya tidak begitu fundamental mengarah pada teologi. Namun, pada akhirnya ia menuju pada aspek etik, norma, dan nilai. Meski tidak berkait-paut dengan ketuhanan. Jilbab merupakan warisan budaya pra-Islam yang terus ditradisikan oleh umat Islam sendiri di kawasan Timur Tengah karena kegunaannya dan keanggunannya. Sebelum Islam masuk di Indonesia, bangsa Indonesia tidak mengenal adanya pakaian yang sampai menutupi sekujur tubuh kecuali satu matanya untuk melihat. Akhirnya, Islam masuk di Indonesia dengan kesantunan para pembawanya, sehingga Islam mudah diterima termasuk jilbab, tentu dengan makna saat ini, sebagai budaya yang turut serta dibawa oleh pendakwah Islam zaman dahulu.
Jilboobs sendiri dilansir dari berbagai media cyber merupakan plesetan dari jilbab yang artinya telah disebutkan di atas dan boobs yang berarti buah dada. Entah, pemaknaan itu berasal dari mana. Penulis sendiri menyangka bahwa boobs itu berasal dari bahasa Inggris. Namun, setelah penulis cek di kamus, ternyata tidak ada kata tersebut. Bahkan ada seseorang yang menyangsikan istilah Jilboobs ini melalui tulisannya yang dimuat dalam website pribadinya. Dia menyatakan bahwa dalam bahasa Slanknya, kata boobs juga tidak ada. Terlepas dari itu semua, Jilboobs telah mengakar menjadi suatu istilah bagi perempuan yang mengenakan jilbab namun dengan pakaian yang ketat sehingga lekak-lekuk tubuhnya dapat terlihat dengan jelas.
Jiwa Seorang Jilboobs
Salah satu aspek psikologis dari pubertas yang pasti muncul pada laki-laki dan perempuan adalah Praokupasi, (perhatian) remaja terhadap tubuhnya (John W. Santrock, 2007). Banyak remaja yang setiap kali melihat cermin atau kaca, ia terlihat memandangnya lama-lama. Tentu, ia melihat bagaimana tubuh dan penampilannya saat itu. Kalau terasa ada yang kurang sesuai, maka sesegera mungkin ia sesuaikan dengan harapan tampil keren dan sempurna. Bagi perempuan, tidak sekadar saat melihat cermin. Ke manapun mereka pergi, mayoritas cermin selalu ada dalam tasnya. Penampilan yang sempurna menuntutnya untuk tak lupa membawa cermin lengkap dengan make up dan peralatannya. Praokupasi terhadap citra tubuh ini pada masa remaja cukup kuat, bahkan terkesan akut.
Secara umum, John W. Santrock (2007) menulis dalam bukunya; Remaja, bahwa “remaja perempuan lebih merasa kurang puas dengan tubuhnya dan memiliki citra tubuh yang lebih negatif selama pubertas”. Sering sekali teman-teman perempuan di jejaring sosial menulis status tentang keadaan tubuhnya. Misal, lagi diet, naik beratnya sekian kilo, turun beratnya sekian kilo, merasa dirinya jelek dengan menampilkan fotonya, ada pula yang merasa dirinya cantik. Ini sebagai bukti, bahwa penampilan di kalangan perempuan itu menjadi hal yang paling utama.
Selain praokupasi, perempuan-perempuan yang bergaya jilboobs ini (selanjutnya, kita sebut dengan jilboobs mania) juga memiliki keegosentrisan yang tinggi. Betapa tidak, ia hanya memandang dari sudut pandang dirinya saja. Menurutnya pantas untuk dikenakan, maka pantas untuk dilihat orang lain. Padahal ini belum tentu. Bahkan banyak orang yang melihatnya risih. Ini sesuai dengan teori perkembangan sosial kognitif yang salah satu dari empat tingkatannya adalah tingkat egosentris, yakni “anak belum membedakan antara perspektif sendiri dengan perspektif orang lain. Ia belum merasakan bahwa orang lain yang tidak ada dalam situasi tertentu akan dapat mempunyai pandangan yang lain” (F.J. Mönks, A.M.P. Knoers dan Siti Rahayu Haditono, 2006).
Pada dasarnya, perempuan menuntut untuk diperhatikan dan dipuji. Dalam salah satu cerpen terbaik Kompas pada tahun 1992, Ratna Indraswari Ibrahim mengisahkan seorang perempuan cantik yang rela menanggalkan karirnya sebagai pemain film demi baktinya pada suami. Namun, suaminya tak pernah sekalipun memuji kecantikannya. Pada suatu ketika, ia diminta suaminya untuk berjalan demi mendorong perekonomian keluarganya. Mata pelanggan di warungnya sering jatuh pada tubuhnya, terutama bagian-bagian tertentu yang terlihat lebih menarik. Saat ia tiduran di kamarnya, ia lebih suka menanggalkan beberapa pakaiannya sehingga anggota tubuhnya yang seharusnya tertutup itu kelihatan. Ia bahkan rela mata lelaki yang bukan suaminya untuk menikmati tubuhnya. Ya, ini terjadi karena suaminya yang enggan memuji sang istri.
Mungkin, dalam fenomena jilboobs ini demikian. Mereka yang tidak atau belum pernah mendapat pujian dari orang lain mengenai kecantikannya sangat ingin meraihnya. Alih-alih ingin mendapat pujian, malah merusak citra etis dan estetisnya sendiri. Masih sangat banyak yang dengan mudahnya tanpa pikir panjang mengambil kesimpulan dengan generalisasi. Celakanya, malah justru berpakaian demikian itu disetujui oleh suaminya bagi yang telah menikah. Bagi perempuan yang masih dalam masa pencarian, ini tidak ada yang menegur.
Barang baru dengan harga murah, tentu sangat menarik perhatian. Terlebih bentuk dan barangnya terlihat baik, semakin menambah ketertarikan peminatnya. Demikianlah yang mungkin ada dalam benak jilboobs mania. Selain itu, mudahnya menggunakan dan perawatannya, juga menambah daftar sebab menjamurnya fenomena jilboobs ini. Terlebih, saat ini di manapun dengan sangat mudahnya menjumpai pakaian perempuan dengan model yang menimbulkan tonjolan di bagian dadanya. Maka tak ayal, semakin maraklah pakaian yang sebelumnya dipandang sebelah mata, kini malah menjadi pandangan utama.
Etika Berjilboobs
Segala sesuatu memiliki nilai. Nilai pada mulanya selalu berkonotasi positif atau baik. Namun, pada perkembangannya nilai beranjak terbelah menjadi positif-negatif atau baik-buruk. Jilboobs dengan tampilannya yang memperlihatkan lekak-lekuk tubuh seorang perempuan dengan begitu ketatnya, sangatlah kurang etis, dipandang sebelah mata oleh banyak kalangan. Tentu, bagi banyak laki-laki, perbuatan demikian itu sangatlah menggoda. Memang semenjak nenek moyangnya, perempuan dianggap sebagai penggoda. Hawa menggoda Adam untuk memakan buah yang sudah jelas-jelas telah Allah haramkan. Namun, karena sudah terlalu menjamur di mana-mana, jilboobs ini dianggap biasa oleh kalangan penggunanya sendiri. Bahkan, pernah suatu ketika, ada demo yang dilakukan oleh kalangan perempuan di bundaran HI yang menyatakan bahwa, pemerkosaan itu terjadi bukan karena perempuannya yang mengenakan pakaian seksi, seperti menunjukkan lekukan tubuh atau bahkan rok mini dan baju dengan belahan dada rendah. Tetapi, karena pikiran kotor lelaki itu sendiri.
Dalam struktur kepribadian Freud, berjilboobs bisa tergolong dalam struktur superego; larangan, anjuran, cita-cita, ataupun perintah yang disampaikan oleh orang lain kemudian terinternalisasi karena faktor-faktor represif. Melihat tidak adanya larangan, maka perempuan dengan tidak merasa bersalah berjilboobs. Bagi sebagian yang menerima teguran, mungkin akan tidak berjilboobs. Freud menyebut “superego ini merupakan dasar bagi fenomena yang kita sebut sebagai ‘hati nurani’” (K. Bertens, 1993).
Perempuan berjilboobs juga ada kemungkinan merasa dirinya bebas berekspresi, bergaya, dan berpenampilan. Padahal, bebas bukan berarti sewenang-wenang ataupun semaunya sendiri. Bebas juga bukan berarti terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan. Bebas yang sebenarnya adalah berlaku dengan selalu berusaha mengikat diri dengan norma-norma yang berlaku. K. Bertens (1993) menyatakan dalam bukunya yang berjudul Etika, bahwa “Kebebasan tidak mungkin lepas dengan tanggung jawab dan tidak mungkin tanggung jawab tanpa kebebasan”. Bagaimanapun penampilan seseorang, tetap harus bertanggung jawab atas penampilannya itu. Hal ini senada dengan hadits Nabi Muhammad Saw., “Setiap dari kamu sekalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. Tanggung jawab yang diemban oleh seorang yang berjilboobs ini disebut tanggung jawab retrospektif, yakni tanggung jawab atas segala perbuatan yang telah dilakukannya dan segala konsekuensinya. Lawan dari retrospektif adalah prospektif, yakni tanggung jawab yang diemban atas perbuatan yang akan dilakukannya nanti.
Solusi
Meskipun jilboobs tidak sepenuhnya salah, namun tetap saja norma kesopanan dalam berpakaian islaminya terpatahkan dan nilai moralnya berkurang. Karena demikian, maka perlu kita cari bersama solusi pencegahan dan pengurangan jilboobs ini. Bukan malah mencaci, memaki, mengolok-olok atau membicarakan tentang keburukannya. Dalam kajian psikologi kepribadian, setiap orang perlu penguatan. Di antara metode penguatan adalah dengan hukuman. Namun, bila kita terapkan pada pelaku jilboobs ini sepertinya kurang tepat. Bila kita lihat tadi bahwa perempuan memiliki rasa ingin dipuji kecantikannya, disanjung keanggunannya, dan semacamnya, maka memuji merupakan metode yang sangat efektif sebagai penguatan terhadap perempuan itu. Memuji orang tidak ada yang salah. Yang salah hanyalah menghina, mencaci, memaki, mengolok-olok dan semodel dengan itu. Seusai memuji, tentu diberi anjuran untuk tidak lagi menggunakan pakaian yang ketat itu. Tapi, dengan catatan, gunakanlah bahasa yang sesantun mungkin agar kiranya yang kita tegur itu tidak merasa tersinggung sedikitpun. Bahasa yang santun tidak mengandung makna larangan, seperti jangan. Pula tidak menggunakan kata perintah kewajiban, misal kamu harus, kamu wajib. Dengan bahasa larangan ataupun perintah kewajiban, seseorang akan merasa tertekan. Alih-alih berubah lebih baik, malah karena kita salah ucap jadi sebaliknya. Lebih baik lagi, orang yang mengingatkan adalah orang yang terdekatnya yang sepertinya perempuan yang akan diingatkan itu tidak memiliki rasa benci ataupun dendam sama sekali terhadap orang yang akan mengingatkannya. Bahkan jauh lebih baik lagi jika memiliki rasa cinta, kasih dan sayang yang dalam. Misal, suami, pacar, ataupun sahabat. Terkadang, orangtua bukan lagi orang terdekatnya yang setiap perkataanya pasti dituruti.
Sebagai langkah pencegahan untuk tidak mengikuti arus yang tidak baik, seperti jiboobs, maka dipandang perlu sebagai orangtua terutama ibu yang bertanggungjawab terhadap putra-putrinya untuk sedari dalam kandungan, anak telah diberi teladan yang baik. Kenapa saya tulis sedari dalam kandungan? Karena, bayi di dalam kandungan seorang ibu itu telah merasakan apa yang tengah dilakukan oleh ibunya. Seorang ibu yang kerap kali mengeluarkan emosinya dengan berapi-api, maka tak perlu aneh bila anak yang lahirnya nanti mudah tersulut emosi. Setelah bayi itu mulai hidup di dunia orang tua harus senantiasa memberikan teladan yang baik. Setiap perilaku orangtua pasti akan diikuti. Karena, seorang anak belum dapat menyaring mana yang baik dan mana yang buruk. Semuanya diadopsi dan ditiru menjadi perilakunya.
Selain langkah-langkah psikologis melalui komunikasi, baik dari orang terdekat maupun komunikasi pencegahan sejak kecil oleh orangtua, langkah yang paling fundamental sejak dini untuk mencegah penggunaan jilboobs adalah keteladanan. Faktor inilah yang membentu karakter seorang anak selain sedari dalam kandungan tadi. Nasihat-nasihat juga baik untuk perkembangan seorang anak. Tetapi, tidak lebih baik dari keteladana. Nasihat mudah dilupakan, sedang keteladanan karena selalu ada dalam pandangannya maka sulit untuk lupa bahkan diterapkan oleh diri seorang anak tersebut.
Pengetahuan agama juga memiliki peran yang cukup penting dalam mencegah penggunaan dan penyebaran jilboobs. Dasar perilaku dan ucapan seseorang, salah satu di antara sekian banyak yang mempengaruhinya adalah pengetahuan agama. Pembekalan pengetahuan agama itu harus diawali sejak kecil. Islam memerintahkan agar anak yang baru lahir untuk diperdengarkan lantunan adzan. Inilah bentuk pengenalan terhadap Tuhannya atau langkah awal mengajarkan pengetahuan agama. Setelah ia mulai tumbuh, barulah dikenalkan dengan Al-Qur’an, Al-Hadits, dan pengetahuan Islam lainnya. Bila orangtua tidak memiliki kemampuan yang mumpuni dalam bidang agama, maka tak perlu repot untuk mengajarinya sendiri. Bisa orangtua tersebut titipkan anaknya pada guru ngaji di sekitarnya, atau bisa memasukkan putra-putrinya ke sekolah Islam. Di sekolah Islam, lingkungan akan membentuk wataknya, termasuk cara bagaimana ia berpakaian. Itulah bentuk tanggung jawab orangtua terhadap anaknya.
Perlu juga pendekatan terhadap produsen untuk mengurangi produksi pakaian ketat tersebut. Kalaupun tidak mungkin, pendekatan terhadap designer pakain dan produsennya untuk memperbanyak produksi pakaian yang longgar dan tentu menarik.
Simpulan
Adanya jilboobs dipengaruhi karena adanya ____ faktor. Pertama, banyaknya produksi pakaian ketat yang menimbulkan lekak-lekuk tubuh di pasaran. Kedua, lingkungan yang banyak perempuan di dalamnya berjilboobs membuat dirinya tertarik untuk mengenakannya juga. Ketiga, tidak adanya peringatan dan anjuran untuk senantiasa menggunakan pakaian yang lebih etis, nyaman dipandang orang lain (tidak untuk dirinya saja). Keempat, kurangnya perhatian dari orang sekitar, terutama dalam hal memuji penampilan, sehingga perempuan tersebut beralih ke arah yang kurang dibenarkan oleh agama. Kelima, banyaknya pujian dan pandangan yang mengalir dari orang-orang meski mereka belum dikenalnya.
Langkah-langkah strategis untuk membentuk perempuan yang tidak berjilboobs, yaitu pertama, orangtua yang senantiasa memberi teladan baik untuk putri-putrinya, termasuk dalam segi berpakaian. Bukan orangtua yang mampu memberi nasihat panjang lebar.



DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. Etika.(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama). 2011.
El Guindi, Fadwa. Jilbab, Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan, (Jakarta: Serambi). 2003.
Mönks, F.J., Knoers, A.M.P. dan Haditono, Siti Rahayu. Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press). 2006.
Santrock, John Watson. Remaja. (Jakarta: Erlangga). 2007.

Umar, Nasaruddin. Teologi Jender. (Jakarta: Pustaka Cicero). 2003.

Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »