Oleh
Muhammad Syakir Ni’amillah F.
Abstrak
Pada awal Agustus 2014 yang lalu, ada sebuah fenomena menarik yang
sebenarnya telah muncul sejak lama, namun baru dianggap sebagai fenomena besar
yang menuai kontroversi karena diangkat
sebagai berita heboh di media cyber. Perempuan yang mengenakan jilbab dengan
pakaian yang ketat adalah objeknya. Beberapa ada yang pro, tidak sedikit pula
yang kontra. Namun, jika dilihat dari sisi etika berpakaian seorang perempuan,
kiranya memang kurang etis meski tidak sepenuhnya salah. Tetapi, tidak seharusnya
perempuan yang demikian menjadi bahan cacian yang teramat hina, bahkan lembaga
sekelas Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haramnya. Justru, penghinaan
inilah yang salah dan harus diharamkan oleh MUI. Setiap orang memiliki
kejiwaan, kepribadian, dan masalah yang berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu
kiranya kita mengetahui terlebih dahulu, asal mula atau penyebab perempuan itu
mengenakan pakaian yang super ketat meski ia menggunakan jilbab. Banyaknya
pakaian yang ketat bagi perempuan di pasaran juga menambah daftar sebab
munculnya fenomena yang kemudian dikenal luas oleh masyarakat dengan sebutan jilboobs.
Kata kunci: Jilbab, etika, dan jiwa.
Jillbab
dan Jilboobs
Jilbab
dalam KBBI berarti kerudung lebar yang dipakai wanita muslim untuk menutupi
kepala dan leher sampai dada. Fadwa El Guindi (2003) menyamakan istilah ini
dengan veil dalam bahasa Inggris. Ia menyebutkan ada empat ungkapan yang
digunakan. Pertama, kain panjang yang dipakai wanita untuk menutup kepala,
bahu, dan kadang-kadang muka. Kedua, rajutan panjang yang ditempelkan pada topi
atau tutup kepala wanita, yang dipakai untuk memperindah atau melindungi kepala
dan wajah. Ketiga, (a) bagian tutup kepala biarawati yang melingkari wajah
terus ke bawah sampai menutupi bahu, (b) kehidupan atau sumpah biarawati.
Keempat, secarik tekstil tipis yang digantung untuk memisahkan atau
menyembunyikan sesuatu yang ada di baliknya; sebuah gorden.
Jilbab
ini pada dasarnya merupakan pakaian yang digunakan oleh kaum bangsawan Yahudi
dan Nasrani sebelum Islam. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi berjilbab telah
berlangsung sekian lama, jauh sebelum Islam mengadopsinya sebagai bagian dari
aspek etik dan estetik berpakaian. Nasaruddin Umar (2003) mengutip dari Kitab
Tafsir Munir, bahwa “sabab nuzul ayat-ayat tentang jilbab
(Al-Ahzab/33:59 dan An-Nur/24:31) adalah karena suasana di kota Madinah sedang
dalam keadaan tidak aman akibat situasi perang yang berkepanjangan. Namun,
bukan berarti tatkala situasi telah aman lantas tidak lagi diwajibkan untuk
mengenakan jilbab. Jilbab dan semacamnya, lanjut Nasaruddin, tetap perlu diindahkan. Setidaknya, jilbab akan
menjadi ajaran etika dan estetika (tahsiniyyah)”. Jilbab dalam KBBI
sudah mengalami perubahan makna dari asalnya. Disebutkan dalam Tafsir
Al-Qurthubiy bahwa jilbab adalah pakaian wanita yang menutupi seluruh badan
kecuali satu matanya untuk melihat.
Jadi,
persoalan jilbab ini sebetulnya tidak begitu fundamental mengarah pada teologi.
Namun, pada akhirnya ia menuju pada aspek etik, norma, dan nilai. Meski tidak
berkait-paut dengan ketuhanan. Jilbab merupakan warisan budaya pra-Islam yang
terus ditradisikan oleh umat Islam sendiri di kawasan Timur Tengah karena
kegunaannya dan keanggunannya. Sebelum Islam masuk di Indonesia, bangsa
Indonesia tidak mengenal adanya pakaian yang sampai menutupi sekujur tubuh kecuali
satu matanya untuk melihat. Akhirnya, Islam masuk di Indonesia dengan
kesantunan para pembawanya, sehingga Islam mudah diterima termasuk jilbab,
tentu dengan makna saat ini, sebagai budaya yang turut serta dibawa oleh
pendakwah Islam zaman dahulu.
Jilboobs
sendiri dilansir dari berbagai media cyber merupakan plesetan dari jilbab yang
artinya telah disebutkan di atas dan boobs yang berarti buah dada.
Entah, pemaknaan itu berasal dari mana. Penulis sendiri menyangka bahwa boobs
itu berasal dari bahasa Inggris. Namun, setelah penulis cek di kamus, ternyata
tidak ada kata tersebut. Bahkan ada seseorang yang menyangsikan istilah Jilboobs
ini melalui tulisannya yang dimuat dalam website pribadinya. Dia menyatakan bahwa
dalam bahasa Slanknya, kata boobs juga tidak ada. Terlepas dari itu
semua, Jilboobs telah mengakar menjadi suatu istilah bagi perempuan yang
mengenakan jilbab namun dengan pakaian yang ketat sehingga lekak-lekuk tubuhnya
dapat terlihat dengan jelas.
Jiwa
Seorang Jilboobs
Salah
satu aspek psikologis dari pubertas yang pasti muncul pada laki-laki dan
perempuan adalah Praokupasi, (perhatian) remaja terhadap tubuhnya (John
W. Santrock, 2007). Banyak remaja yang setiap kali melihat cermin atau kaca, ia
terlihat memandangnya lama-lama. Tentu, ia melihat bagaimana tubuh dan
penampilannya saat itu. Kalau terasa ada yang kurang sesuai, maka sesegera
mungkin ia sesuaikan dengan harapan tampil keren dan sempurna. Bagi perempuan,
tidak sekadar saat melihat cermin. Ke manapun mereka pergi, mayoritas cermin
selalu ada dalam tasnya. Penampilan yang sempurna menuntutnya untuk tak lupa
membawa cermin lengkap dengan make up dan peralatannya. Praokupasi
terhadap citra tubuh ini pada masa remaja cukup kuat, bahkan terkesan akut.
Secara
umum, John W. Santrock (2007) menulis dalam bukunya; Remaja, bahwa “remaja
perempuan lebih merasa kurang puas dengan tubuhnya dan memiliki citra tubuh
yang lebih negatif selama pubertas”. Sering sekali teman-teman perempuan di
jejaring sosial menulis status tentang keadaan tubuhnya. Misal, lagi diet, naik
beratnya sekian kilo, turun beratnya sekian kilo, merasa dirinya jelek dengan
menampilkan fotonya, ada pula yang merasa dirinya cantik. Ini sebagai bukti, bahwa
penampilan di kalangan perempuan itu menjadi hal yang paling utama.
Selain
praokupasi, perempuan-perempuan yang bergaya jilboobs ini (selanjutnya, kita
sebut dengan jilboobs mania) juga memiliki keegosentrisan yang tinggi. Betapa
tidak, ia hanya memandang dari sudut pandang dirinya saja. Menurutnya pantas
untuk dikenakan, maka pantas untuk dilihat orang lain. Padahal ini belum tentu.
Bahkan banyak orang yang melihatnya risih. Ini sesuai dengan teori perkembangan
sosial kognitif yang salah satu dari empat tingkatannya adalah tingkat
egosentris, yakni “anak belum membedakan antara perspektif sendiri dengan
perspektif orang lain. Ia belum merasakan bahwa orang lain yang tidak ada dalam
situasi tertentu akan dapat mempunyai pandangan yang lain” (F.J. Mönks,
A.M.P. Knoers dan Siti Rahayu Haditono, 2006).
Pada
dasarnya, perempuan menuntut untuk diperhatikan dan dipuji. Dalam salah satu
cerpen terbaik Kompas pada tahun 1992, Ratna Indraswari Ibrahim mengisahkan
seorang perempuan cantik yang rela menanggalkan karirnya sebagai pemain film
demi baktinya pada suami. Namun, suaminya tak pernah sekalipun memuji
kecantikannya. Pada suatu ketika, ia diminta suaminya untuk berjalan demi
mendorong perekonomian keluarganya. Mata pelanggan di warungnya sering jatuh
pada tubuhnya, terutama bagian-bagian tertentu yang terlihat lebih menarik.
Saat ia tiduran di kamarnya, ia lebih suka menanggalkan beberapa pakaiannya
sehingga anggota tubuhnya yang seharusnya tertutup itu kelihatan. Ia bahkan
rela mata lelaki yang bukan suaminya untuk menikmati tubuhnya. Ya, ini terjadi
karena suaminya yang enggan memuji sang istri.
Mungkin,
dalam fenomena jilboobs ini demikian. Mereka yang tidak atau belum pernah
mendapat pujian dari orang lain mengenai kecantikannya sangat ingin meraihnya.
Alih-alih ingin mendapat pujian, malah merusak citra etis dan estetisnya
sendiri. Masih sangat banyak yang dengan mudahnya tanpa pikir panjang mengambil
kesimpulan dengan generalisasi. Celakanya, malah justru berpakaian
demikian itu disetujui oleh suaminya bagi yang telah menikah. Bagi perempuan
yang masih dalam masa pencarian, ini tidak ada yang menegur.
Barang
baru dengan harga murah, tentu sangat menarik perhatian. Terlebih bentuk dan
barangnya terlihat baik, semakin menambah ketertarikan peminatnya. Demikianlah
yang mungkin ada dalam benak jilboobs mania. Selain itu, mudahnya menggunakan
dan perawatannya, juga menambah daftar sebab menjamurnya fenomena jilboobs ini.
Terlebih, saat ini di manapun dengan sangat mudahnya menjumpai pakaian
perempuan dengan model yang menimbulkan tonjolan di bagian dadanya. Maka tak
ayal, semakin maraklah pakaian yang sebelumnya dipandang sebelah mata, kini
malah menjadi pandangan utama.
Etika
Berjilboobs
Segala
sesuatu memiliki nilai. Nilai pada mulanya selalu berkonotasi positif atau
baik. Namun, pada perkembangannya nilai beranjak terbelah menjadi
positif-negatif atau baik-buruk. Jilboobs dengan tampilannya yang
memperlihatkan lekak-lekuk tubuh seorang perempuan dengan begitu ketatnya, sangatlah
kurang etis, dipandang sebelah mata oleh banyak kalangan. Tentu, bagi banyak
laki-laki, perbuatan demikian itu sangatlah menggoda. Memang semenjak nenek
moyangnya, perempuan dianggap sebagai penggoda. Hawa menggoda Adam untuk
memakan buah yang sudah jelas-jelas telah Allah haramkan. Namun, karena sudah
terlalu menjamur di mana-mana, jilboobs ini dianggap biasa oleh kalangan
penggunanya sendiri. Bahkan, pernah suatu ketika, ada demo yang dilakukan oleh
kalangan perempuan di bundaran HI yang menyatakan bahwa, pemerkosaan itu
terjadi bukan karena perempuannya yang mengenakan pakaian seksi, seperti
menunjukkan lekukan tubuh atau bahkan rok mini dan baju dengan belahan dada
rendah. Tetapi, karena pikiran kotor lelaki itu sendiri.
Dalam
struktur kepribadian Freud, berjilboobs bisa tergolong dalam struktur superego;
larangan, anjuran, cita-cita, ataupun perintah yang disampaikan oleh orang lain
kemudian terinternalisasi karena faktor-faktor represif. Melihat tidak adanya
larangan, maka perempuan dengan tidak merasa bersalah berjilboobs. Bagi
sebagian yang menerima teguran, mungkin akan tidak berjilboobs. Freud menyebut “superego
ini merupakan dasar bagi fenomena yang kita sebut sebagai ‘hati nurani’” (K.
Bertens, 1993).
Perempuan berjilboobs juga ada kemungkinan merasa dirinya bebas
berekspresi, bergaya, dan berpenampilan. Padahal, bebas bukan berarti
sewenang-wenang ataupun semaunya sendiri. Bebas juga bukan berarti terlepas
dari segala kewajiban dan keterikatan. Bebas yang sebenarnya adalah berlaku
dengan selalu berusaha mengikat diri dengan norma-norma yang berlaku. K.
Bertens (1993) menyatakan dalam bukunya yang berjudul Etika, bahwa “Kebebasan
tidak mungkin lepas dengan tanggung jawab dan tidak mungkin tanggung jawab
tanpa kebebasan”. Bagaimanapun penampilan seseorang, tetap harus bertanggung
jawab atas penampilannya itu. Hal ini senada dengan hadits Nabi Muhammad Saw.,
“Setiap dari kamu sekalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. Tanggung jawab yang diemban oleh
seorang yang berjilboobs ini disebut tanggung jawab retrospektif, yakni
tanggung jawab atas segala perbuatan yang telah dilakukannya dan segala
konsekuensinya. Lawan dari retrospektif adalah prospektif, yakni
tanggung jawab yang diemban atas perbuatan yang akan dilakukannya nanti.
Solusi
Meskipun jilboobs tidak sepenuhnya salah, namun tetap saja norma
kesopanan dalam berpakaian islaminya terpatahkan dan nilai moralnya berkurang.
Karena demikian, maka perlu kita cari bersama solusi pencegahan dan pengurangan
jilboobs ini. Bukan malah mencaci, memaki, mengolok-olok atau membicarakan
tentang keburukannya. Dalam kajian psikologi kepribadian, setiap orang perlu
penguatan. Di antara metode penguatan adalah dengan hukuman. Namun, bila kita
terapkan pada pelaku jilboobs ini sepertinya kurang tepat. Bila kita lihat tadi
bahwa perempuan memiliki rasa ingin dipuji kecantikannya, disanjung
keanggunannya, dan semacamnya, maka memuji merupakan metode yang sangat efektif
sebagai penguatan terhadap perempuan itu. Memuji orang tidak ada yang salah.
Yang salah hanyalah menghina, mencaci, memaki, mengolok-olok dan semodel dengan
itu. Seusai memuji, tentu diberi anjuran untuk tidak lagi menggunakan pakaian
yang ketat itu. Tapi, dengan catatan, gunakanlah bahasa yang sesantun mungkin
agar kiranya yang kita tegur itu tidak merasa tersinggung sedikitpun. Bahasa
yang santun tidak mengandung makna larangan, seperti jangan. Pula tidak
menggunakan kata perintah kewajiban, misal kamu harus, kamu wajib.
Dengan bahasa larangan ataupun perintah kewajiban, seseorang akan merasa tertekan.
Alih-alih berubah lebih baik, malah karena kita salah ucap jadi sebaliknya.
Lebih baik lagi, orang yang mengingatkan adalah orang yang terdekatnya yang
sepertinya perempuan yang akan diingatkan itu tidak memiliki rasa benci ataupun
dendam sama sekali terhadap orang yang akan mengingatkannya. Bahkan jauh lebih
baik lagi jika memiliki rasa cinta, kasih dan sayang yang dalam. Misal, suami,
pacar, ataupun sahabat. Terkadang, orangtua bukan lagi orang terdekatnya yang
setiap perkataanya pasti dituruti.
Sebagai langkah pencegahan untuk tidak mengikuti arus yang tidak
baik, seperti jiboobs, maka dipandang perlu sebagai orangtua terutama ibu yang
bertanggungjawab terhadap putra-putrinya untuk sedari dalam kandungan, anak
telah diberi teladan yang baik. Kenapa saya tulis sedari dalam kandungan?
Karena, bayi di dalam kandungan seorang ibu itu telah merasakan apa yang tengah
dilakukan oleh ibunya. Seorang ibu yang kerap kali mengeluarkan emosinya dengan
berapi-api, maka tak perlu aneh bila anak yang lahirnya nanti mudah tersulut
emosi. Setelah bayi itu mulai hidup di dunia orang tua harus senantiasa
memberikan teladan yang baik. Setiap perilaku orangtua pasti akan diikuti.
Karena, seorang anak belum dapat menyaring mana yang baik dan mana yang buruk.
Semuanya diadopsi dan ditiru menjadi perilakunya.
Selain langkah-langkah psikologis melalui komunikasi, baik dari
orang terdekat maupun komunikasi pencegahan sejak kecil oleh orangtua, langkah
yang paling fundamental sejak dini untuk mencegah penggunaan jilboobs adalah keteladanan.
Faktor inilah yang membentu karakter seorang anak selain sedari dalam kandungan
tadi. Nasihat-nasihat juga baik untuk perkembangan seorang anak. Tetapi, tidak
lebih baik dari keteladana. Nasihat mudah dilupakan, sedang keteladanan karena
selalu ada dalam pandangannya maka sulit untuk lupa bahkan diterapkan oleh diri
seorang anak tersebut.
Pengetahuan agama juga memiliki peran yang cukup penting dalam
mencegah penggunaan dan penyebaran jilboobs. Dasar perilaku dan ucapan
seseorang, salah satu di antara sekian banyak yang mempengaruhinya adalah
pengetahuan agama. Pembekalan pengetahuan agama itu harus diawali sejak kecil.
Islam memerintahkan agar anak yang baru lahir untuk diperdengarkan lantunan
adzan. Inilah bentuk pengenalan terhadap Tuhannya atau langkah awal mengajarkan
pengetahuan agama. Setelah ia mulai tumbuh, barulah dikenalkan dengan
Al-Qur’an, Al-Hadits, dan pengetahuan Islam lainnya. Bila orangtua tidak
memiliki kemampuan yang mumpuni dalam bidang agama, maka tak perlu repot untuk
mengajarinya sendiri. Bisa orangtua tersebut titipkan anaknya pada guru ngaji
di sekitarnya, atau bisa memasukkan putra-putrinya ke sekolah Islam. Di sekolah
Islam, lingkungan akan membentuk wataknya, termasuk cara bagaimana ia
berpakaian. Itulah bentuk tanggung jawab orangtua terhadap anaknya.
Perlu juga pendekatan terhadap produsen untuk mengurangi produksi
pakaian ketat tersebut. Kalaupun tidak mungkin, pendekatan terhadap designer
pakain dan produsennya untuk memperbanyak produksi pakaian yang longgar dan tentu
menarik.
Simpulan
Adanya
jilboobs dipengaruhi karena adanya ____ faktor. Pertama, banyaknya produksi
pakaian ketat yang menimbulkan lekak-lekuk tubuh di pasaran. Kedua, lingkungan
yang banyak perempuan di dalamnya berjilboobs membuat dirinya tertarik untuk
mengenakannya juga. Ketiga, tidak adanya peringatan dan anjuran untuk
senantiasa menggunakan pakaian yang lebih etis, nyaman dipandang orang lain
(tidak untuk dirinya saja). Keempat, kurangnya perhatian dari orang sekitar,
terutama dalam hal memuji penampilan, sehingga perempuan tersebut beralih ke
arah yang kurang dibenarkan oleh agama. Kelima, banyaknya pujian dan pandangan
yang mengalir dari orang-orang meski mereka belum dikenalnya.
Langkah-langkah
strategis untuk membentuk perempuan yang tidak berjilboobs, yaitu pertama,
orangtua yang senantiasa memberi teladan baik untuk putri-putrinya, termasuk
dalam segi berpakaian. Bukan orangtua yang mampu memberi nasihat panjang lebar.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. Etika.(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama). 2011.
El Guindi, Fadwa. Jilbab, Antara Kesalehan, Kesopanan, dan
Perlawanan, (Jakarta: Serambi). 2003.
Mönks, F.J., Knoers, A.M.P. dan
Haditono, Siti Rahayu. Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press). 2006.
Santrock, John Watson. Remaja. (Jakarta: Erlangga). 2007.
Umar, Nasaruddin. Teologi Jender. (Jakarta: Pustaka Cicero).
2003.