Our Feeds

Motto

Etik, Estetik, Puitik

Selamat Mengaji

Mengaji Sepanjang Hari

Kamis, 23 Mei 2024

Syakir NF

Sesesi di Sen-C

Sesi di Sen-C, Kamis (16/5/2024).


Setelah kunjungan ke British Council di bilangan Senopati, pada Kamis (16/5/2024), rekan-rekan mengajak ke Sensi. Saya tak paham apa itu Sensi? Ternyata itu akronim dari Senayan City (Sen-C). Menuju ke sana, kami berjalan kaki sekitar 20 menit, sebagian ibu-ibu menaiki mobil yang dipesan secara daring.


Waktu istirahat tiba, pujasera Sen-C semakin penuh. Sebagai seorang yang masih menantikan cairnya living allowance beasiswa, saya berekspektasi demikian jauh terhadap mereka yang memenuhi ruang dengan warung-warung bermenu makanan luar negeri itu. Tentu saja soal how many sallary did they get from their job? Terlebih malam sebelumnya, saya sempat mengantar rekan dari Timor Leste yang mendapat pekerjaan di Jakarta dan menempati sebuah kosan dengan harga perbulannya di atas Rp2 juta. Apalah hamba yang cuma bayar Rp300 ribu saja untuk kosan satu petak isi berdua.


Saya pribadi lebih memilih untuk menikmati suasananya dengan menatap tab. Bukan saja karena harga makanan yang bisa berkali lipat dari Warteg Bahari yang biasa di Ciputat saya hampiri, tetapi juga karena lidah yang tak selera dengan rasa dari beda negara. Entah karena indra pengecap ini yang kampungan atau karena belum biasa saja mencecap betapa masakan ala-ala Asia Timur itu bisa disebut sebagai kenikmatan. Namun yang pasti, sejumlah makanan yang pernah dicicipi tidak malah masuk ke perut, malah keluar lagi dari mulut.


Wal hasil, sebagaimana disebut di atas, saya memilih untuk menatap tab sembari menahan kantuk yang sudah sedemikian lama mengetuk. Berbeda dengan saya, Bapak dari Air Molek yang duduk di samping saya sudah meletakkan kepalanya di meja. Matanya sempurna terpejam sepertinya. Bedanya lagi, ia tidak makan bukan karena tak selera, tetapi karena memang sedang menikmati puasa.


Setelah hampir 30 menit lepas dari jam dua belas, kami memutuskan kembali ke kelas.

Selasa, 21 Mei 2024

Syakir NF

Bubur Ayam Cirebon di Ciputat: Nikmat Plus Hemat

Bubur Ayam Cirebon di Komplek Dosen UIN Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa (21/5/2024). (Foto: Syakir NF)

Satu dari sekian banyak hal yang dirindukan dan tak ingin dilewatkan saat di Ciputat adalah menikmati bubur ayam Cirebon yang mangkal di pintu Komplek Dosen. Sebetulnya, bukan karena bubur ini dan penjualnya dari Cirebon sebagaimana saya berasal, tetapi lebih karena rasa dan harganya yang tidak ada bandingannya.


Kali pertama saya menikmati bubur ini saat masih tinggal di Ma'had UIN Jakarta yang terletak di Legoso. Saban menuju kampus 1 untuk berkuliah, saya melewati bubur ini. Tahun 2014 saat itu, kali pertama saya menikmati bubur ini harganya Rp6 ribu di saat bubur di bawah Hosen's Culinary, seberang halte UIN, sudah Rp10 ribu. Hari ini, di saat bubur di tempat lain sudah di angka Rp12 ribu ke atas, bubur di pojokan pertigaan Komplek Dosen dan Juanda itu masih seharga Rp10 ribu.


Bukan hanya itu, di bubur tersebut, kita bebas menambah kuah, kecap, kerupuk, dan sambal. Jika Anda suka bubur berkuah, Anda diizinkan untuk membanjiri bubur Anda dengan kuah di botol-botol yang tersedia sesuai selera Anda. Ada dua jenis kuah yang bisa dinikmati, ada yang berwarna kuning yang gurih, ada pula yang berwarna cokelat gelap yang berisi kecap asin. Anda boleh mencampurkan keduanya. Jika ingin menambahkannya, perlu hati-hati karena lubang yang disediakan sempit sehingga ketika mengarahkan lubang itu ke mangkuk dengan cepat akan menimbulkan cipratan ke area yang tidak diinginkan.


Tidak hanya kuah, Anda juga boleh untuk menambah kacang atau daun bawang, misalnya. Tinggal pesan saja. Pun lada dan sambal yang berkuah minyak boleh ditambahkan sebebas-bebasnya, tetapi perlu perhatikan kondisi perut Anda juga yaa. Oh, Anda tidak perlu khawatir soal bayarnya karena harganya akan tetap sama. 


Soal rasa, inilah yang justru akan membuat penikmat bubur excited. Sebab, rasa buburnya sendiri sudah sedemikian nikmat. Ditambah kuahnya pula, kenikmatan itu semakin berlipat-lipat. Sambalnya pun membuat nikmatnya kian melesat. Saya sendiri biasanya menghabiskan 3-5 sendok teh untuk sampai rasa pedasnya menyeluruh. Dan tentu saja harus DIADUK.


Meskipun menu tambahan, sate yang tersedia seakan wajib dihabiskan pula. Betapa tidak, nikmat hati, ampela, usus, dan kulit ayam itu semakin menyatu dengan rasa buburnya. Apalagi kalau ditambah dengan telur puyuhnya yang berwarna kuning itu. Ah, sudah. Soal harga, sila datang sendiri sehingga bisa menikmati rasa dan kemurahannya.


Oh ya, satu hal yang tidak boleh terlewat adalah minuman teh hangatnya. Sebagaimana yang lain, bagian ini juga kita boleh minta tambah.


So, segeralah isi perut Anda sebelum bekerja atau kuliah dengan bubur ayam di pojok Komplek Dosen itu. Jika tak ada waktu untuk makan di tempat, bolehlah dibungkus. Styrofoam sudah disiapkan mamangnya.

Jumat, 17 Mei 2024

Syakir NF

Sampai Ngopi di Luar Negeri

Peserta program persiapan beasiswa Dana Abadi Pesantren Kementerian Agama-LPDP di Pusat Pengembangan Bahasa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (Foto: Maret 2024)


Setiap jumpa pastilah pisah. itulah yang tengah kami hadapi selepas tiga bulan berjuang bersama mengikuti kursus IELTS sebagai persiapan beasiswa luar negeri di Pusat Pengembangan Bahasa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebuah program yang disiapkan Kementerian Agama dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk akademisi dari pesantren.


Ada bendungan yang tak lama lagi pecah di pelupuk sebab sedemikian erat kami saling 'memeluk', tetapi keadaan membuat kami remuk. Meski demikian, kami sudah berkomitmen untuk selalu saling memupuk mimpi-mimpi kami agar tidak lapuk.


Tiga bulan rasanya demikian singkat untuk kami yang sudah menganggap rekan kelas adalah kerabat, bukan lagi sekadar sahabat. Namun waktu tetaplah waktu yang tak dapat diperpanjang ataupun dipersingkat. Ia selalu berjalan sesuai dengan kodrat. Dan sekali lagi, jarak bakal memaksa kita bersekat.


Guna menenangkan diri yang sudah kalut luar biasa, saya mengumpulkan keyakinan sembari membayangkan bahwa akan tiba suatu masa, kami saling berkunjung di negeri dan kampus yang menjadi jawaban ketika orang-orang bertanya hendak lanjut ke mana. Sebuah keyakinan yang diaminkan bersama.


Mengutip senandung Ummi Kultsum dalam "Zekrayat", saya meyakini tiga bulan ini bakal "terngiang sepanjang hayat".


Program kita memang sudah selesai. Namun perjuangan ini belum usai mengingat cita-cita belum kita capai. Yakinkanlah diri kita, bahwa apa yang kita tanam, tak lama lagi akan kita tuai.


Syakir NF, 16 Mei 2024

Rabu, 15 Mei 2024

Syakir NF

Tiga Guru Didin yang Menginspirasi

Bapak Didin Syarifuddin, Bapak Didin Sirojuddin, dan Bapak Didin Nuruddin. (kiri ke kanan)

Ada tiga guru saya yang akrab disapa Pak Didin, yakni (1) Pak Didin yang bernama asli Syarifuddiin, (2) Pak Didin Sirojuddin AR, dan (3) Pak Didin Nuruddin Hidayat.


Nama pertama merupakan guru saya sewaktu menempuh studi di Madrasah Tsanawiyah NU Putra 1 Buntet Pesantren. Ia mengajar saya pelajaran Ke-NU-an, satu mata pelajaran yang hanya ada di madrasah dan sekolah NU saja. Ia mengajari kami dengan sepenuh hati dan kelembutan. Ia mengkhidmahkan seluruh hidupnya untuk mengabdi kepada ilmu sampai akhir hayatnya tiga tahun lalu. Ya, saya tulis demikian mengingat sedari muda mula, ia sudah berkhidmat dengan menjadi staf dan pengajar di MTs NU Buntet Pesantren.


Tak berbeda dengan Pak Didin pertama, Pak Didin kedua juga merupakan guru yang sepenuhnya mendedikasikan kehidupannya untuk ilmu. Ia juga mengabdikan dirinya sejak muda untuk mengajarkan kaligrafi, satu keahlian yang tidak banyak orang memilikinya. Saking ahlinya ia dalam bidang itu dan kiprahnya pada dunia yang ditekuninya tersebut, bukan saja dianggapp sebagai ahli, tetapi orang menyebutnya sebagai maestro. Betapa tidak, ia tidak saja dikenal di dalam negeri, ia pun menjadi dewan hakim (juri) untuk kompetisi kaligrafi tingkat internasional di berbagai penjuru dunia.


Keaktifannya dalam kaligrafi menginspirasinya mendirikan Pesantren Lembaga Kaligrafi Al-Quran (Lemka) di Sukabumi dan Ciputat Tangerang Selatan. Di tempat yang saya sebut terakhir itulah, saya berguru langsung kepadanya. Sebelum itu, saya juga sempat meminta koreksi atas tulisan saya kepada salah seorang santrinya yang pernah menjadi peserta terbaik kaligrafi di dua cabang sekaligus, yaitu Ibu Hj Ery Khaeriyah, yang juga merupakan istri dari guru mengaji Al-Quran saya, KH Muhadditsir Rifai.


Pak Didin tidak saja mencurahkan dunianya untuk kaligrafi, sebagai seorang alumnus Pondok Pesantren Darussalam Gontor dan mengenyam pendidikan tinggi di UIN Syarif HIdayatullah Jakarta, ia juga mengajar di institusi tempat belajarnya itu. Di sana, ia menjadi dosen di program studi Sastra Arab. Bacaannya mengenai sastra sangatlah luas. Dalam suatu video yang dibagikannya, ia menyebutkan sejumlah buku yang sudah ia lahap bahkan tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali.


The last Pak Didin who I want to tell here is a lecturer of English education in Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. I have been taught by him when I got  scholarship preparation from Ministry of Religious Affairs and LPDP for santri or pesantren academics. Although he taught about IELTS, he not only gave me about how to answer IELTS correctly, but also enreaching my confidence and strengthen my mentality to IELTS, applying PhD and it's scholarship, as well as life in general.


When he taught me, he not only gave what we have to learned, but also deliver suggestions, advices, etc. Therefore, I feel that it is unlike learning, but like a chit-chat in Caffee. Moreover, we have been allowed to drink coffee and eat meals. All of participants brought some meals in the class, as well as coffee. That made our class like a caffee perfectly. Not to mention that his character is so calm while due to it, the message which he conveyed always received by all of us and make us more confident.


I always remember he remain us to keep endeavor. "When we felt for twice, we have to wake up three times," said that professor of English education in every meeting.


This week is last meeting in the course. Eventhough he did not have any meeting with us, Pak Didin came to our class for farewell. As before, he ever said that he want to take photo again with us when we all of participants are attend the class. However, unfortunately we can not gathered completely because two of us had a pivotal agenda and got sick.


Prof Didin sedang bersedakap dan Pak Agus Sufyan di sampingnya.

How did he come to the class? At the first, he sent us greetings through the staff, Ms Yatni, in the group. I responded her by remaining him that he had a promise for taking pictures again. I think, Ms Yatni sent my response to him then we meet again on next day. So, alhamdulillah in the last week, we can meet again with him and strengthening our spirit to face the official test on Tuesday next week.


In the end, I am so grateful to learn and study with him. I got a lot of lessons, not only about English, but also values of life due to his reach experience.


You also could hear his great experience and how he build his dreams to become true from great talkshow, Kick Andy, as well as his podcast with Prof Jajang Jahroni. Please check this out below.


Kick Andy Talkshow 1

Kick Andy Talkshow 2

Prof Jajang's Podcast

Senin, 20 Februari 2023

Syakir NF

Rindu


Rindu tidak saja muncul lepas temu. Ia bisa saja menyeruak tanpa sekalipun pernah sua. Ya, bisa. Siapa bilang tidak? Jika perlu bukti, kerinduan kita pada Nabi adalah satu di antaranya. Kita yang tak pernah tahu wujudnya, tak pernah memandang rupanya, tetapi siapa pula Muslim yang tak merindukannya.


Adakah kata selain rindu untuk mengungkapkan rasa seperti itu?


Rasa yang sama juga tumbuh dalam benak calon-calon orang tua yang selalu menanti kapan tibanya garis dua, kapan masanya bahagia melihat tangis bayi sedemikian lama dinanti, kapan waktunya menimang buah cinta yang begitu didamba.


Itulah yang kini aku rasa. Apalagi, orang-orang selalu bertanya tentangnya. Menjawab itu, saya selalu menyampaikan satu permintaan, "Mohon doanya."


Saudara-saudara yang baru menikah sudah dapat kabar kandungan buah hatinya. Apalagi yang H+1 saya mengucap "Qobiltu", putrinya tampak makin lucu.


Menjelang akhir-awal bulan, harap-harap cemas selalu muncul paling depan. Tak ada angin, tak ada hujan, tak ada mendung, tapi halilintar biasanya datang menggelegar. Bidadari yang bernama istri memberi kabar, darah dari alat vitalnya keluar.


Tak ada kata tersiar. Ia hanya mengirim gambar tangkapan layar aplikasi berwarna merah segar. Kami harus kembali merindu lengkap dengan bumbu bernama sabar.


Hampir dua tahun kami mengikat janji suci. Bukan waktu yang lama di hadapan mereka yang sudah puluhan tahun saling berikrar sehidup-semati. Namun, sependek apapun menanti, tetaplah perasaan lama itu terpatri.


Meskipun bukan penyakit, tapi rindu memang selalu berhasil menyakitkan. Tanpa dipaksa, tulisan ini hampir saja dihujani air mata yang saya tahan-tahan agar tak tumpah-ruah.


"Rabbi hab lii minasshalihin" begitu doa Nabi Ibrahim yang tak pernah absen kupanjatkan.


"Duhai Tuhanku, karuaniakanlah daku anak-cucu yang saleh."


Berkat doa itu, lahirlah Nabi Ismail dari rahim Sayyidah Hajar.


"Rabbi hab lii min landunka dzurriyatan thayyibah" demikian doa Nabi Zakariya yang selaku kulangitkan.


"Wahai Tuhanku, anugerahilah hamba dari-Mu, keturunan yang baik."


Berkat doa itu, lahirlah Nabi Yahya as dari rahim ibunya yang kala itu telah berusia 80-90 tahunan dan sudah distempel mandul.


Dengan niat mengikuti doa-doa orang saleh, dengan keberkahan melalui mereka, kami selalu berharap Allah swt mengamini apa yang tak pernah berhenti kami panjatkan saban hari.


Syakir NF

Rabu, 14 September 2022

Syakir NF

Kosanku Rumahku: Edisi Restoran (1)

"Sangat gampang beres-beres pindah kos-kosan, Kekasih, yang susah itu membersihkan kenangannya… " Sudjiwo Tedjo, 24 April 2013


Apa yang ditulis Presiden Jancukers di atas sebetulnya kurang tepat. Apa pasal? Keduanya bagi saya sama-sama susah.

Lepas dari itu, klausa kedua pada twit Mbah Tedjo memang tak bisa terbantahkan. Sudah lebih dari tiga bulan saya angkat kaki dari kosan. Semua barang sudah saya angkut bawa pulang aecara nyicil. Saban minggu selama dua bulan, saya membawa dua kardus berisi barang. Bahkan, pernah saya bawa tiga kardus dan sejumlah tas jinjing atau goodiebag. Isinya sama, kalau tidak buku, ya pakaian. Untuk membawanya, saya dengan sangat terpaksa memesan sewa mobil daring sampai terminal. Barang-barang itu, semuanya dilalap bagasi bus.

Sampai titik akhir semua barang sudah dikemas dan dibawa pulang, ternyata ada yang tidak bisa terangkut dan bahkan berserakan di satu petak kamar yang diisi dua orang itu. Tidak ada lain, yaitu kenangan.

Kosan tempat saya menghabiskan waktu selama 5 tahun terletak di Jalan Solo, Kampung Utan, Kelurahan Cempaka Putih, Kecamatan Ciputat Timur, Tangerang Selatan. Untuk menuju kosan saya, titik patokannya adalah Warteg Jaya, destinasi pengisi perut saya jika malas berjalan jauh untuk menikmati porsi yang lebih banyak.

Kosan saya terletak di pojokan. Meski hanya satu petak kamar berukuran 2x2,5, kosan saya bisa menjadi tempat apa saja yang diinginkan bagi saya yang masih menyandang status mahasiswa, mulai dari kamar tidur yang sudah pasti, perpustakaan berisi koleksi buku saya dan rekan, majelis taklim tempat kami mengaji bersama, masjid tempat kami berjamaah, hingga restoran.

Untuk yang terakhir ini, restoran, kami memang menyediakan aneka minuman dan makanan siap saji. Saban pulang, kami dibawai teh, gula, madu, hingga kopi. Untuk minuman, kami melengkapinya dengan jahe yang dibeli dari pasar atau warung bahan-bahan masakan terdekat. Tak lupa juga susu kental manis cap Bendera dengan dua varian, cokelat dan putih. Hal yang tak tertinggal adalah jeruk nipis atau melon.

So, setiap ada teman yang mampir, kami selalu menawari pilihan minuman itu. Jika teh, kami sajikan secara khusus dengan menggunakan teko dan cangkir poci yang didatangkan langsung dari kota kelahiran roommate saya, Tegal. Teh itu kadang dibiarkan pahit, atau bisa juga langsung dilengkapi gula. Kami gunakan gula batu sehingga manis teh itu terasa beda.

Oh ya, air panas untuk menuangkan itu kami masak secara langsung di kompor gas yang dibawa tetangga kami dan memang disediakan untuk bersama. Secara tidak langsung, kami urunan. Saya dan rekan menyediakan bahan minuman, dia menyediakan peralatan masak. Soal gelas, oleh-oleh dari kondangan memenuhi lemari yang dibuat tetangga kami itu.

Airnya juga bukan dari keran kamar mandi. Untuk minum, kami menggunakan air galon Aqua. Wajib Aqua asli. Kami hampir tak pernah membeli isi ulang. Kami mesti membeli air itu dengan menukar galonnya.

Selain persediaan menu minuman yang lengkap, kami juga menyiapkan mie instan Indomie dengan ragam varian rasa, mulai ayam bawang, ayam spesial, soto ayam, kari ayam, hingga goreng.

Persediaan mie instan ini juga terkadang dilengkapi dengan telur dan sawi. Soal saus, kecap, garam, cabai, hingga merica juga hampir tidak pernah absen.

Beras sudah pasti selalu siap sedia. Ini juga jadi bahan yang kerap kami bawa dari rumah. Orang tua kami yang membawakannya. Bahkan, kami sendiri yang kerap meminta agar beras yang dibawa itu dikurangi agar bawaan tidak terlalu berat.

Senangnya, semua bahan makanan dan minuman itu tersedia di luar kamar. Siapapun boleh mengambilnya tanpa harus meminta izin. Dan, jika habis, setiap penghuni pun langsung inisiatif mengisi tanpa menunggu komando.

"Wah, itu mah masih kelas warkop, bukan restoran."

Mungkin anggapan pembaca demikian karena hanya melihat menu makanan berupa mie dan telur. Namun, saat kami menemukan waktu bersama, langsung saja bagi tugas, ada yang ke warung atau pasar untuk beli bahan masakan, ada yang masak nasi, ada pula yang memasak. Tetangga kami yang lain adalah seorang koki rumah makan. Tentu saja, masakannya sudah terjamin enaknya.

Di saat itulah, kosan mungil kami menjelma menjadi restoran. Setelah makan ikan dan sayuran, kami minum air putih hangat. Setelah itu, dilanjutkan dengan minuman pilihan lain sebagaimana disebut di atas, sembari chit-chat tentang isu terkini, persoalan yang tengah dihadapi, hingga yang tak pernah ketinggalan adalah ledek-ledekan sebagai guyonan kami melepas tawa dan lelah setelah bekerja ataupun studi.

Kedekatan antarpenguni ini yang membuat saya tak ragu menyebut sepetak kamar itu sebagai rumah. Ya, tidak berlebihan jika itu disebut rumah karena kehangatan yang dibangun di dalamnya.

Syakir NF

Selasa, 14 September 2021

Syakir NF

Kiai Ayip Memilih Tidak Dianggap ‘Gila’ oleh Gus Dur

Syakir NF

Selepas shalawatan di Perpustakaan Kiai Ayip Abbas, saya berbincang di salah satu sudut ruangan. Tetiba, saya melihat sebuah buku cukup tua berwarna oranye. Saya ambil buku tersebut dan langsung membuka halaman pertama setelah sampul. Di bagian bawah judul buku terdapat stempel bertuliskan berikut.


PRIVATE COLLECTION OF

Ahmad Syafiq

DEPARTEMENT OF COMMUNITY NUTRITION

AND FAMILY RESOURCES

BOGOR AGRICULTURE UNIVERSITY

No. …. Date: 11/8/90



Stempel itu tentu saja menandai bahwa buku tersebut milik Kang Ahmad Syafiq, yang tak lain adalah keponakan Kiai Ayip. Beliau saat ini merupakan Kepala Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia, pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.


Saya tak mengerti, kapan buku tersebut berada di perpustakaan pribadi Kiai Ayip. Ada berbagai kemungkinan mengenai keberadaan buku itu di sana. Pertama, Kang Syafiq memang menghibahkan buku tersebut ke Kiai Ayip entah karena sedang membangun perpustakaan itu atau karena hal lain.


Kemungkinan kedua, buku tersebut dipinjam Kiai Ayip untuk menambah wawasan pengetahuannya. Keluasan pandangan dan kebijaksanaan dalam bersikap dari beliau tidak lain karena kegemarannya dalam membaca. Ribuan buku yang berjajar di perpustakaannya tidak lain karena kesukaannya tersebut.


Jika kemungkinan kedua itu betul, maka memang Kiai Ayip enggan dianggap ‘gila’ oleh KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Sebab, sebagaimana kita ketahui bersama, dalam kata pengantarnya pada buku Mati Ketawa Cara Rusia (1982), Gus Dur mencatat sebuah adagium sebagai kalimat penutupnya, “Orang yang meminjamkan buku adalah orang bodoh, tetapi mengembalikan buku pinjaman adalah perbuatan orang gila”.


Untuk tidak dianggap ‘gila’ oleh karib ayahnya itu (baca: Gus Dur), Kiai Ayip enggan mengembalikan buku yang ia pinjam dari keponakannya tersebut.


Untuk Kiai Ayip, Al-Fatihah

 

Wallahu a’lam

Twitter